Sukarno dan Hobi Nonton Film

Konten dari Pengguna
31 Maret 2017 8:04 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari respati wasesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu hobi Sukarno adalah menonton film. Ia bahkan merasa masa mudanya, saat sekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya, tidak ada yang menarik kecuali menikmati kesenangannya menonton film.
ADVERTISEMENT
"Aku tidak mempunyai kesenangan semasa mudaku. Aku terlalu serius. Aku tidak mengikuti kesenangan seperti yang dialami oleh anak‐anak sekolah yang lain. Kecuali.. film," ceritanya dalam buku otobiografinya.
Jangan dibayangkan film jaman dulu seperti sekarang. Dulu, film tidak ada suaranya, hanya ada gambar dan teks saja.
Sukarno nonton film seminggu sekali di bioskop. Nah, Sukarno punya cara yang sangat unik tiap kali nonton film. Ia nonton dari belakang layar! Ya, ini siasat Sukarno agar bisa membayar murah.
“Kau dengar? Di belakang layar!! Di waktu itu belum ada film bicara, jadi aku harus membaca teksnya dan terbalik dan masih dalam bahasa Belanda!” katanya.
Lama kelamaan Sukarno terbiasa sehingga ia bisa dengan cepat membaca teks itu dari kanan ke kiri. Kocaknya, ia santai saja dengan keadaan itu. Bagi dia, yang penting bisa nonton!
ADVERTISEMENT
“Satu‐satunya yang menyebabkan aku kecewa ialah, bila dipertunjukkan film adu tinju. Aku sama sekali tak dapat menaksir, tangan siapa yang melakukan pukulan,” katanya.
Kegemaran menonton film terbawa sampai Sukarno masuk kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB). Ketika orang-orang di sekelilingnya dirundung kesedihan, ia membawa mereka menonton film.
Salah satu kisah mengharukan yang tak pernah bisa dilupakan Sukarno adalah mengajak anak-anak pemimpin Sarekat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, menonton film. Putri sulung Tjokroaminoto, Utari, saat itu masih menjadi istri Sukarno.
Kisah ini bermula ketika Sukarno mendengar berita buruk dari surat kabar bahwa Tjokroaminoto dipenjara oleh Belanda. Tjokroaminoto dituding sebagai dalang pemberontakan buruh di Garut, Jawa Barat.
Sebagai menantu sekaligus murid, Sukarno merasa bertanggung jawab untuk menjaga anak-anak Tjokroaminoto. Tidak hanya menjaga Utari, tapi juga adik-adik Utari yang masih kecil. Sukarno pun memutuskan untuk cuti kuliah.
ADVERTISEMENT
“Aku mengumpulkan istriku, mengumpulkan segala harapan dan idamanku dan membawa semua pulang ke Surabaya,” katanya. Untuk menghidupi adik-adik Utari, Sukarno pun bekerja sebagai klerk di stasiun kereta api.
"Di waktu mereka patah semangat dan bersusah hati, kubawa mereka menonton film dengan apa yang masih tersisa dari uangku," kisahnya. Ia juga menggambari dinding rumah Tjokroaminoto dengan bintang film kesayangannya, Francis Ford, agar adik-adinya senang.
Kelak, saat menjadi presiden, Sukarno begitu yakin bahwa film bisa menjadi alat propaganda yang dahsyat. Untuk itu, ia memilih memboikot film-film barat. Sebagai gantinya, ia terus mendorong film nasional melalui Festival Film Asia Afrika secara rutin.
"Sikap kita terhadap kebudayaan lama maupun kebudayaan asing adalah sikapnya revolusi nasional-demokratis pula. Dari kebudayaan lama itu kita kikis feodalismenya, dari kebudayaan asing kita punahkan imperialismenya. Maka itu tepat sekali film-film imperialis Inggris dan AS diboikot," katanya.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Sukarno bukanlah orang yang kuper atau tidak tahu sama sekali dunia perfilman internasional. Saat berkunjung ke Amerika, salah satu tempat yang dituju Sukarno adalah studio film Hollywood. Dan, tentu saja, bertemu dengan aktris-aktris ternama seperti Marilyn Monroe.
Ketika Sukarno dikudeta dan akhirnya mati dalam penjara orde baru, nasibnya di dunia film Indonesia teramat tragis. Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI tahun 1984–yang wajib ditonton anak sekolah–menggambarkan betapa PKI sangat kejam. Dan Sukarno, di film itu, berada di pihak PKI.
Belakangan, para sineas muda, bahkan dari luar Indonesia, mulai mempersoalkan cerita dalam film garapan Arifin C. Noer melalui karya mereka. Sebutlah Chris Hilton, sineas Australia yang sempat dibesarkan di Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Hilton merilis film dokumenter berjudul Shadow Play: Indonesia’s Year of Living Dangerously (2003). Film ini menceritakan tahun-tahun yang mencekam dalam rangkaian penjatuhan Sukarno.
Joshua Lincoln Oppenheimer, sineas asal Amerika, meluncurkan Jagal/The Act of Killing (2012) dan Senyap/The Look of Silence (2014). Dua film yang menggambarkan lebih detail tentang kebohongan yang ditampilkan dalam film Arifin C. Noer.
Dan ini yang membanggakan: Sineas muda Indonesia, Rahung Nasution, baru-baru ini membuat Pulau Buru Tanah Air Beta (2016)--sebuah film dokumenter yang mengisahkan kehidupan tahanan politik di Pulau Buru pascatragedi 1965.
Para sineas progresif itu seolah-olah ingin mengatakan lewat karya mereka bahwa ada yang salah dalam historiografi Indonesia setelah 1965.
Bagaimana dengan film populer yang menceritakan kehidupan seorang Sukarno? Sudah ada, misalnya Ketika Bung di Ende (2013) garapan Viva Westi dan Soekarno: Indonesia Merdeka (2013) karya Hanung Bramantyo.
ADVERTISEMENT
Sayang, sejauh ini belum ada film yang khusus menceritakan detik-detik kejatuhan Sukarno.
Selamat Hari Film Nasional, 30 Maret 2017.