Rencana BI Kenakan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Dikritik INDEF

18 September 2017 10:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kartu e-Money untuk belanja (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kartu e-Money untuk belanja (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) berencana mengatur biaya isi ulang (fee top up) uang elektronik (e-money) dalam waktu dekat. Rencana kebijakan ini dikritik oleh Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira.
ADVERTISEMENT
Menurut Bhima, rencana pengenaan biaya isi ulang dianggap tak adil. Dia justru berpendapat langkah BI itu malah akan menghambat upaya Gerakan Nasional Nontunai.
Kartu Uang Elektronik atau e-Money (Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kartu Uang Elektronik atau e-Money (Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan)
"Ini lalu timbul ketidakadilan, belum lagi soal fee top up uang elektronik. Infrastruktur yang harusnya disediakan oleh pemerintah dan perbankan dibebankan ke masyarakat," kata Bhima kepada kumparan (kumparan.com), Senin (18/9).
Selain itu, menurut Bhima, langkah ini bisa saja mengakibatkan daya beli masyarakat turun. Imbasnya pertumbuhan ekonomi rendah.
"Kalau masyarakat resah maka pengaruhnya daya beli bisa turun. Ekonomi pertumbuhannya rendah," imbuhnya.
Sebelumnya, Rencana Bank Indonesia mengenakan biaya tarif isi ulang (fee top up) uang elektronik ditentang para netizen. Petisi penolakan terkait rencana tersebut muncul di situs change.org.
ADVERTISEMENT
Petisi yang ditulis oleh Yudha Basuki dengan judul Tolak Wacana Fee Isi Ulang e-Money tersebut hingga Minggu (17/9) pukul 19.34 WIB sudah ditandatangani 9 orang. Petisi ini ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia Agus Martwardojo, Presiden Joko Widodo, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dalam tulisan yang dibuat 13 September 2017, Yudha mengimbau masyarakat meminta Bank Indonesia untuk membatalkan rencana aturan tersebut. Lantaran, aturan tersebut dirasa memberatkan masyarakat.
"Maka dengan petisi ini, saya mengajak siapapun kamu yang sependapat untuk mendesak Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait untuk membatalkan dan mengkaji ulang wacana biaya tambahan isi ulang uang elektronik. Jangan biarkan pengenaan biaya tambahan ini justru memberatkan masyarakat dan menghambat suksesnya program GNNT," kata Yudha seperti dikutip dalam petisinya yang dilansir kumparan (kumparan.com), Minggu (17/9).
ADVERTISEMENT
Berikut isi petisi tersebut:
Kamis, 14 Agustus 2014, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo secara resmi mencanangkan "Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT)". Pencanangan ini ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah serta Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia.
Mengutip sambutan Bapak Agus pada saat itu, “GNNT ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan instrumen non tunai, sehingga berangsur-angsur terbentuk suatu komunitas atau masyarakat yang lebih menggunakan instrumen non tunai (Less Cash Society/LCS) khususnya dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonominya. Sebagai bentuk komitmen atas perluasan penggunaan instrumen non tunai, kami akan menjadikan GNNT sebagai gerakan tahunan yang didukung dengan berbagai kegiatan untuk mendorong meningkatkan pemahaman masyarakat akan penggunaan instrumen non tunai dalam melakukan transaksi pembayaran.”
ADVERTISEMENT
Namun kini..
Bank Indonesia justru sedang mengkaji rencana pengenaan biaya isi ulang uang elektronik. Dan kabarnya bank-bank komersial juga sedang melakukan kajian berapa besaran biaya isi ulang tersebut.
FYI, berdasarkan data yang dilansir oleh PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR), pengguna jalan tol yang menggunakan uang elektronik hanya 33%. Dengan kata lain, penggunaan uang elektronik belumlah menjadi budaya masyarakat Indonesia, bahkan di kota-kota besar sekalipun.
Apabila wacana biaya isi ulang ini menjadi kenyataan, saya menilai cita-cita mulia Bapak Agus justru akan semakin jauh panggang dari api. Alih-alih membentuk suatu komunitas Less Cash Society, masyarakat akan semakin anti terhadap uang elektronik. Karena untuk memiliki uang elektronik sekarang pun, masyarakat sudah dikenakan biaya pembelian kartu diluar saldo sebesar Rp. 20.000.
ADVERTISEMENT
Maka dengan petisi ini, saya mengajak siapapun kamu yang sependapat untuk mendesak Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait untuk membatalkan dan mengkaji ulang wacana biaya tambahan isi ulang uang elektronik. Jangan biarkan pengenaan biaya tambahan ini justru memberatkan masyarakat dan menghambat suksesnya program GNNT.
Depok, 13 September 2017
Yudha Basuki