Jarak, Nasionalisme, dan Imagined Communities

Everd Scor Rider Daniel
Read and write. Keep in believe. Menulis mengajarkan cara berelasi dengan kenyataan.
Konten dari Pengguna
2 Desember 2017 12:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Everd Scor Rider Daniel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bendera Merah Putih (Foto: Mufidpwt/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Merah Putih (Foto: Mufidpwt/Pixabay)
ADVERTISEMENT
Awal mula manusia mengingat cerita, ibu kandungnya. Kalau tali pusarnya di kubur di belakang rumah. Dan rumah itu Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tanah air Indonesia, tembok pertamanya, dibangun dengan hati-hati karena krisis Jakarta. Tembok itu, untuk sementara pernah berdiri dekat Vredeburg, tapi beberapa waktu, Gulden dari Jogja mengembalikannya: tembok itu kini berdiri di Jakarta.
Tembok sudah dibangun, dinding-dinding itu dianyam dari perasaan anak muda tempo itu. Sampai sekarang, nasionalisme itu sering bergemuruh, juga lewat lirik "Tanah Airku Indonesia". Republik ini pernah punya Saridjah Niung – Ibu Sud, lahir 26 Maret 1908. Dengan teliti meletakan rasanya pada nasionalisme. Lagu itu sering mengundang gemuruh.
Tanah air, di atasnya, proses-proses melengkapi menjadi satu. Barangkali juga tempat pertama, seseorang belajar menginjak bumi dari sudut yang lain.
Tanah air bagi sebagian orang, bisa jadi hadiah cuma-cuma. Adakah tempat yang persis, di bagian sudut lain, yang sama teduh atau dalam Bumi manusia, agaknya kita punya rasa yang mirip, dalam adegan ketika Pram menceritakan Srikandi bernama Minke, kalau dia memang begitu mencintai tanah air.
ADVERTISEMENT
Ternyata, sejarah selalu ada banyak jawaban. Dan tidak selalu menenangkan, atau pun tidak selamanya, kita dijodohkan dengan tanah air yang dibayangkan itu. Agaknya, kalimat barusan perlu dicatat. Terlalu cepat kalau saja, seseorang membayangkan tanah air akan diciptakan untuk dirinya selamanya.
Boleh saja kagum, dan mencintainya. Namun, kenyataan punya banyak jawaban. Bisa saja jawaban itu lain.
Seseorang yang terlanjur percaya, agak sedikit egois. Dan sedikit perlu memikirkan kembali keputusannya. Barangkali, hanya karena, Ia belum memahami apa rencana yang terjadi nanti, dengan pengalaman yang datang bertubi-tubi.
Sekali lagi, kita belum berjodoh dengan tanah air. Membayangkan kisah orang-orang, yang karena perut, lalu Ia mangkat. Pergi ke alamat luar negeri. Pernah Ia menyempatkan niat untuk pulang. Tapi nasib punya jawaban lain.
ADVERTISEMENT
"Kamu haruskah ke luar negeri?" tanya salah seorang suami calon TKW.
“Di sana gaji tinggi, bisa tabung untuk bangun rumah dan usaha kalau kembali nanti,” kata seorang Istri yang menjadi calon TKW. Ia baru saja merayakan pernikahan dan dikaruniai seorang anak laki-laki.
Cukup sebentar, karena ia bersihkeras memilih kerja di luar negeri.
Pintu terbuka, ucapan itu secara singkat terjadi. Tenaga-tenaga kerja murah berhamburan, keluar pintu imigrasi. Sindikat pasar gelap mengalirkan rupiah ke tangan calo. Sengaja dibiarkan. TKI jadi lumbung bisnis. Dan barangkali ada aparat terlibat?
Istri yang pergi ke luar negeri itu, sama persisnya dengan nasib TKW lain yang baru mendengar gaji tinggi, dollar singapura, Hongkong. Siapa bisa menolak.
Mereka bertemu celaka. Diekspor kepada majikan yang ganas. Diperkosa, disetrika, dan dibunuh. Berlarut-larut, suami menunggu balasan pesan pendek, mencemaskan istrinya yang sudah tiga bulan tak ada berita.
ADVERTISEMENT
Kegelisahan itu diangkat ke layar lebar, disutradarai Dedi Setiadi pada 2013. Film Azrax, salah satu dari sedikit film yang meminggirkan konten entertain, dan mengangkat realita tenaga kerja Indonesia. Suasana kebatinan sutradara, nampak jelas dalam film itu.
Lola Amaria “Minggu Pagi di Victoria Park”, sepintas memikat. Ternyata, kenyataan tak sebagaimana judul. Genre ini kembali mengekspos perjuangan TKW di luar negeri. Adegan Sekar, seorang TKI yang bekerja di Hongkong, jadi bulan-bulanan administrasi. Di dicekal tak bisa pulang.
Tokoh Sekar, yang berperan sebagai TKI dalam film itu, bagaimana pun tahu. Dimana rumah Ia harus pulang. Ikatan dengan tanah air sudah terlanjur kuat.
“Tanah air, izinkan sementara kulupakan".
Agak benar Benedict Anderson dengan teliti, sesumbar soal bangsa yang dibayangkan (imagined communities). Nasib nasionalisme seorang TKI telah ditukar dengan jarak. Mereka membayangkan tanah air dari jauh.
ADVERTISEMENT
Di waktu kapan, kita terakhir mengingat Kartini? Atau semua buta, membaca emansipasi yang Ia tulis. Apa perempuan sekarang tidak bisa memanjat pendidikan yang tinggi? Sampai-sampai media ramai memberitakan, kebanyakan TKI hanya lulusan SD.
Tapi, bukankah mereka juga harus merasakan tanah air. Atau tanah air itu sudah tidak ada, karena kurang subsidi negara.
*Everd Scor Rider Daniel, esais dan pegiat literasi (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran, Bandung)