LIPUTAN KHUSUS, Salah Tangkap Pelaku Kriminal, Ilustrasi Dipenjara

Pelanggaran Hak Pengamen Anak Korban Salah Tangkap

Retno Listyarti
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
1 Agustus 2019 13:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dipenjara. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dipenjara. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Kasus ini berawal dari peristiwa pembunuhan di kolong jembatan samping Kali Cipulir, Jakarta Selatan, tahun 2013 silam. Saat itu, Polda Metro menangkap Fi (17), Fa (13), Uk (12), dan P (16). 4 pengamen tersebut ditangkap bersama dua pengamen lainnya, oleh Subdit Jatanras Polda Metro Jaya, atas kasus pembunuhan sesama pengamen akibat rebutan lapak.
ADVERTISEMENT
Semuanya divonis bersalah oleh hakim dan harus mendekam di balik jeruji besi. Namun akhirnya, keempat pengamen dinyatakan tak bersalah atas kasus tersebut. Hal itu diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung nomor registrasi 131 PK/Pid.Sus/2016.
Tidak hanya diduga salah tangkap, polisi juga dituduh melakukan kekerasan terhadap para pengamen tersebut, agar mengaku telah melakukan pembunuhan itu. Atas alasan tersebut, LBH Jakarta mengajukan praperadilan atas salah tangkap tersebut. LBH Jakarta meminta agar Polda Metro Jaya, Kejati DKI, dan Kemenkeu mengakui kesalahan sekaligus memenuhi hak dari para pengamen yang menjadi korban salah tangkap itu.
Keempatnya juga telah menjalani hukuman tiga tahun penjara. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, akhirnya menyatakan keempatnya tidak bersalah. Berbekal putusan MA itu, empat pengamen mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian ke pihak kepolisian, Kejati DKI, dan Kemenkeu sebagai termohon. Total, mereka meminta ganti rugi sebesar Rp 750 juta untuk empat pengamen ini.
ADVERTISEMENT
Adapun rincian besaran ganti rugi materiel (berkaitan dengan penghasilan) yang diminta pemohon sebesar Rp 165,6 juta untuk masing-masing korban. Sedangkan ganti rugi imateriel (berkaitan dengan penyiksaan) yakni senilai Rp 28,5 juta diminta untuk Fi, dan masing-masing Rp 20 juta untuk tiga pemohon lainnya, dengan total Rp 750 juta.
Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya, yang berupa imbalan sejumlah uang, karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan, yang berdasarkan undang-undang, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Gugatan Praperadilan Ditolak

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan 4 pengamen asal Cipulir terkait kasus salah tangkap, dengan alasan gugatan sudah kedaluarsa. Putusan itu dibacakan Hakim Tunggal Elfian, dalam sidang pada Selasa, 30 Juli 2019.
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangannya, hakim menilai permohonan ganti rugi yang diajukan pemohon sudah kedaluarsa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 PP 92 Tahun 2015, yang berbunyi:
“Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud di pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lambat 3 bulan, terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap diterima”.
Hakim juga menyebutkan, pemohon dalam hal ini kuasa hukum, telah menerima petikan atau salinan putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung, yang menyatakan keempat pengamen tersebut tidak bersalah. Dalam putusannya, hakim menyatakan kuasa hukum pemohon telah menerima petikan putusan PK nomor 131/pk/pid.sus/2015 tertanggal 19 Januari 2016 pada 11 Maret 2016. Sementara untuk salinan putusan, kuasa hukum para pemohon telah menerimanya pada 25 Maret 2019.
ADVERTISEMENT
Hakim juga berpendapat, petikan dan salinan putusan kedudukannya sama dalam menentukan waktu untuk mengajukan permohonan ganti rugi, jika dihitung sejak tanggal penerimaan petikan putusan tersebut, yakni 11 Maret 2016 sampai tanggal permohonan ini diajukan oleh para pemohon pada tanggal 21 Juni 2019. Kasus ini sudah melebihi 3 tahun, yang berarti telah melebihi jangka waktu 3 bulan sebagaimana ditentukan pasal 7 ayat 1 PP 92/2015 tersebut.
Ilustrasi pengadilan. Foto: pixabay

Kuasa Hukum Membantah Gugatan Kedaluarsa

Kuasa hukum pemohon dari LBH Jakarta, Oky Wirastama, menilai putusan hakim yang menyatakan tuntutan ganti rugi gugur karena kedaluarsa tidak tepat. Hal ini karena pihaknya menerima salinan atas putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung, yang kemudian menjadi dasar hukum gugatan pada 25 Maret 2019. Sementara gugatan diajukan pada 21 Juni 2019, tiga bulan dari 25 Maret adalah (25) Juni.
ADVERTISEMENT
Kuasa hukum menilai, seharusnya hakim juga mempertimbangkan waktu diterimanya salinan putusan oleh pemohon. Namun kata Oky, hakim malah memilih untuk melihat pada diterimanya petikan putusan PK MA pada 11 Maret 2016, bukan pada diterimanya salin putusan tersebut oleh pihak pemohon.
Menurut kuasa hukum penggugat, hakim menafsirkan sendiri frasa 'atau' yang tertuang dalam Pasal 7 ayat 1 PP nomor 92 tahun 2015, yang berbunyi:
"Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama tiga bulan, terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima".
Kuasa hukum Kementerian Keuangan menolak pembayaran ganti rugi karena dianggap keliru sasaran. Hal ini mengingat kedudukan Menteri Keuangan RI dalam pelaksanaan amanat PP Nomor 27 Tahun 1983 yang telah diubah dengan PP Nomor 92 Tahun 2015, adalah terkait dengan proses penganggaran dan bukan dalam kapasitas untuk ditarik menjadi pihak serta permintaan ganti rugi kepada Turut Termohon. Hal tersebut dianggap tidak berdasar mengingat proses hukum yang dijalani oleh Para Pemohon bukanlah karena perbuatan Turut Termohon.
ADVERTISEMENT

Terjadi Pelanggaran Hak Anak

Mempelajari semua fakta terkait kasus salah tangkap keempat anak pengamen, sebagai anak keempatnya telah kehilangan hak-haknya dan berpotensi kuat terganggu tumbuh kembangnya serta mengalami trauma. Atas dasar tersebut, saya merekomendasikan negara harus hadir, meskipun gugatan praperadilan ditolak oleh hakim. Untuk itu, saya memandang perlu pemenuhan hak-hak keempat anak itu sebagai berikut :
Pertama, keempat anak pengamen kehilangan hak-hak dasarnya berupa hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan.
Kasus salah tangkap yang dialami empat pengamen yang masih berusia anak yaitu Fi (17), Fa (12), Uk (13), dan P(16) merupakan suatu fakta yang jelas melanggar hak-hak anak. Baik sebagai anak sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak (KHA) yang sudah diratifikasi, maupun sebagai warga Negara Indonesia. Oleh karena itu, gugatan praperadilan atas kerugian salah tangkap maupun kekerasan saat pemeriksaan perkara adalah hak keempat anak tersebut.
ADVERTISEMENT
Saat menjalani tahanan selama 3 tahun, keempat pengamen masih berusia sekolah, yaitu antara 9-14 tahun. Maka, ketika berada di tahanan hak atas pendidikan mereka selama 3 tahun itu tidak terpenuhi. Artinya ada pelanggaran hak anak mengakses pendidikan formal, bergaul dengan teman seusianya, dan mengembangkan diri sesuai bakat, minat, dan potensinya.
Kedua, keempat anak wajib mendapatkan hak rehabilitasi psikologis dan medis.
Menurut kuasa hukum penggugat, keempat anak pengamen tersebut ditangkap tanpa bukti yang sah secara hukum. Mereka juga mengalami kekerasan fisik saat pemeriksaan karena dipaksa mengaku, dengan cara disiksa selama berada di dalam tahanan.
Kekerasan fisik dan psikis yang diterima keempat anak pengamen untuk perbuatan yang tidak mereka lakukan, tentu saja bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu dampak dari kekerasan fisik dan psikis yang diterima keempat anak tersebut wajib di rehabilitasi oleh negara, baik rehabilitasi psikologis maupun rehabilitasi medis. Lembaga layanan yang berada di wilayah tempat tinggal keempat anak tersebut harus dipastikan memenuhi hak-hak keempat anak tersebut. Proses penyembuhan trauma pada anak juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Ketiga, harkat dan martabat keempat anak pengamen berhak di rehabilitasi nama baiknya.
Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya, yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan, karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
ADVERTISEMENT
Melihat fakta dalam kasus keempat anak pengamen, maka keempatnya berhak di rehabilitasi nama baiknya sebagaimana diatur dalam KUHAP “Dalam hal seseorang diputus bebas dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (in kracht), Pasal 97 ayat (1) KUHAP secara tegas mengatur hak bagi yang bersangkutan untuk memperoleh rehabilitasi sebagai berikut: Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Apabila dalam amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak sekaligus dicantumkan tentang pemberian rehabilitasinya, maka berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan atau Dilepas dari Segala Tuntutan Hukum (SEMA 11/1985), maka keempat anak pengamen tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama. Setelah Pengadilan Negeri menerima permohonan itu, kemudian memberikan rehabilitasi yang diminta orang tersebut yang dituangkan dalam bentuk Penetapan.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten