Meneliti Bahasa Isyarat Dalam Perspektif Variasi Bahasa

Revanna Dewanti
Saya seorang mahasiswi Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
9 April 2024 15:41 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Revanna Dewanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Foto Bahasa Isyarat (sumber : https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Foto Bahasa Isyarat (sumber : https://pixabay.com/id/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kata Kunci : Bahasa Isyarat, Bisindo, Variasi, Tuli
Bahasa isyarat merupakan bahasa yang digunakan oleh komunitas tuli atau tunarungu untuk berkomunikasi. Tidak hanya itu, bahasa isyarat juga merupakan alat bagi penggunanya untuk mengidentifikasi diri dan memperoleh informasi. Perbedaan mendasar antara bahasa isyarat dan bahasa lisan terletak pada modalitas atau sarana produksi dan persepsinya. Bahasa lisan diproduksi melalui alat ucap (oral) dan dipersepsi melalui alat pendengaran (auditoris), sementara bahasa isyarat diproduksi melalui gerakan tangan (gestur) dan dipersepsi melalui alat penglihatan (visual). Dengan demikian, bahasa lisan bahasa yang bersifat oral-auditoris, sementara bahasa isyarat bersifat visual-gestural.
ADVERTISEMENT
Secara linguistis, bahasa isyarat terdiri dari satuan terkecil hingga terbesar seperti bahasa lisan. Bahasa isyarat juga memiliki fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik tersendiri yang tidak sama dengan sistem bunyi, tata kata, tata kalimat, dan pemaknaan yang sama dengan bahasa lisan. Dengan kata lain, bahasa isyarat merupakan sistem linguistik yang tidak didasarkan pada sistem bahasa lisan. Hal itu disebabkan oleh perbedaan modalitas yang mendasar antara bahasa lisan dan bahasa isyarat.
Pengkajian bahasa isyarat sebagai sebuah kajian linguistik tentunya sangat menarik untuk dilakukan mengingat masih sangat sedikitnya penelitian bahasa isyarat, khususnya di Indonesia. Di antara penelitian bahasa isyarat di Indonesia adalah Palfreyman (2014), Isma (2012), Suwiryo (2013), dan Soejanto (2012). Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa bahasa isyarat di Indonesia terdiri atas berbagai macam variasi bahasa, bahkan bahasa yang berbeda (lihat Isma 2012 dan Suwiryo 2013), di antaranya adalah bahasa isyarat di Jakarta, Yogyakarta, Solo, Makassar, dan Bali. Dengan demikian, penelitian terhadap bahasa isyarat di Indonesia masih sangat terbuka secara cakupan wilayah dan cakupan penelitiannya.
ADVERTISEMENT
1. Perkembangan Studi tentang Bahasa Isyarat
Perhatian akan penggunaan bahasa isyarat dapat ditelusuri sejak Plato (360 SM) dalam karyanya Cratylus menyatakan bahwa jika seseorang tidak mempunyai suara atau lidah seperti orang-orang tuli, buatlah isyarat dengan menggunakan tangan, kepala, dan tubuh (dalam Johnston dan Schembri 2007: 21). Keyakinan terhadap bahasa isyarat sebagai bahasa manusia yang alami pun dinyatakan oleh René Descartes pada abad ke-18 (Johnston dan Schembri 2007: 21).
Studi linguistik bahasa isyarat dapat dikatakan muda jika dibandingkan dengan perkembangan studi bahasa lisan di dunia. Kajian linguistik bahasa isyarat modern dianggap diteroka oleh William Stokoe pada tahun 1960 melalui publikasi buku Sign Language Structure tentang struktur bahasa isyarat Amerika (ASL) (Johnston dan Schembri 2007: 21). Buku tersebut merupakan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa studi linguistik terhadap ASL membuktikan bahwa ASL merupakan bahasa tersendiri yang tidak didasarkan pada struktur bahasa dan kosakata bahasa Inggris. Penelitian linguistik bahasa isyarat terus berkembang hingga saat ini dan mulai dilakukan di kawasan Asia pada tahun 1990-an. Di Indonesia, penelitian linguistik bahasa isyarat baru dimulai pada tahun 2000-an.
ADVERTISEMENT
Penelitian terhadap bahasa isyarat telah membawa dampak signifikan terhadap kedudukan bahasa isyarat, baik di dalam maupun di luar komunitas tuli. Penelitian linguistik bahasa isyarat menunjukkan bahwa bahasa isyarat merupakan bahasa alami yang memiliki properti yang sama dengan bahasa lisan. Bahasa isyarat merupakan sebuah sistem linguistik yang kompleks, unik sekaligus universal, produktif, dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu (lihat Johnston dan Schembri 2007: 26). Bukti-bukti linguistik dari penelitian bahasa isyarat menguatkan bahasa tersebut sebagai sebuah bahasa alami yang dapat digunakan dalam semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, ekonomi, dan sebagainya. Pengakuan terhadap bahasa isyarat sebagai bahasa yang setara dengan bahasa lisan akan membuka akses penggunanya terhadap segala kesempatan dalam kehidupan. Untuk itulah, penelitian terhadap bahasa isyarat serta pengumpulan bukti-bukti linguistik bahasa isyarat perlu terus dikembangkan dan dilakukan.
ADVERTISEMENT
2. Komunitas Tuli dan Variasi Bahasa Isyarat di Indonesia
Di Indonesia terdapat sekitar 10 juta orang tuli, mulai dari yang mengalami ketulian dari lahir sampai yang mengalami ketulian pada usia dewasa. Akan tetapi, kepastian angka tentang anak yang terlahir tuli belum dapat diketahui. Selain itu, jumlah anak-anak tuli yang memiliki orang tua tuli (deaf family) tidak dapat diketahui dengan jelas. Hal ini sangat penting untuk keberlangsungan penelitian terkait proses perkembangan bahasa yang diterima anak-anak tuli secara langsung dari orang tua tuli melalui Bahasa isyarat.
Situasi komunitas tuli, walaupun berjumlah kecil dibandingkan dengan jumlah orang dengar, sangat bervariasi. Hal itu disebabkan oleh perbedaan latar belakang tiap individu, seperti keluarga, sekolah, dan tempat tinggal. Ketiga faktor tersebut dapat memengaruhi kemampuan berbahasa isyarat dan variasi bahasa isyarat yang digunakan. Seorang tuli yang berorangtua dengar, misalnya, biasanya baru mendapatkan kesempatan mengenal bahasa isyarat di atas umur 6 tahun, yaitu ketika ia mulai bersekolah di sebuah sekolah luar biasa. Sebaliknya, anak tuli yang berasal dari orangtua tuli biasanya memperoleh bahasa isyarat sejak dini. Dengan demikian kemampuan berbahasa isyarat yang dimiliki orang tuli tidak sama.
ADVERTISEMENT
Sekolah dan tempat tinggal juga memengaruhi penggunaan bahasa isyarat. Seperti bahasa lisan, bahasa isyarat juga memiliki variasi regional, bahkan memiliki bahasa isyarat yang berbeda di dalam sebuah wilayah (lihat Isma 2012, Suwiryo 2013). Selain itu, latar pendidikan, khususnya sekolah tempat seorang tuli belajar, juga merupakan faktor penting dalam variasi bahasa isyarat yang digunakan (Padden 2011). Hal ini disebabkan oleh sekolah luar biasa merupakan tempat anak-anak tuli bertemu dan berinteraksi sehingga bahasa isyarat banyak tumbuh dan berkembang di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, sangat mungkin tiap sekolah memiliki variasi bahasa isyaratnya masing-masing.
Di Indonesia terdapat dua sistem isyarat, yakni Bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI), tetapi yang merupakan bahasa isyarat alamiah adalah BISINDO. Pada kenyataannya, bahasa isyarat bervariasi. Variasi pada bahasa isyarat di Indonesia sejauh ini telah dikembangkan melalui penelitian-penelitian sejak 2012. Di antara penelitian-penelitian tentang variasi bahasa isyarat tersebut adalah Palfreyman (2013), Isma (2012), Suwiryo (2013), dan Bharoto dkk. (2014). Penelitian terhadap variasi bahasa isyarat merupakan usaha penting untuk dokumentsi bahasa. Selain itu, hasil penelitian terhadap variasi bahasa isyarat membawa manfaat praktis, yaitu sebagai panduan juru bahasa isyarat dan untuk mendukung sarana pengajaran bahasa isyarat.
ADVERTISEMENT
3. Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, studi bahasa isyarat merupakan bidang penelitian linguistik yang masih tergolong muda jika dibandingkan dengan studi linguitik bahasa lisan di dunia. Lebih dari itu, studi bahasa isyarat di Indonesia baru berkembang pada tahun 2000an. Sebelum masa tersebut, bahasa isyarat tidak diakui sebagai bahasa alami yang tumbuh dan berkembang di dalam komunitas Tuli. Oleh karena itu, dibentuk sebuah sistem komunikasi buatan yang ditujukan untuk kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah luar biasa tipe B untuk murid-murid tuli, yaitu sistem isyarat bahasa Indonesia (SIBI).
Pada dasarnya, SIBI merupakan representasi bahasa Indonesia lisan dalam bentuk isyarat. Hal tersebut berarti, struktur bahasa Indonesia lisan dipindahkan ke dalam modalitas isyarat, yaitu ke dalam gerakan dan bentuk tangan. Oleh karena itu, pada SIBI terdapat afiksasi yang merepresentasikan afiksasi dalam bahasa Indonesia. Pola kalimat dalam SIBI pun mengikuti pola kalimat bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
4. Bahasa isyarat sebagai bidang peneliltian
Situasi kebahasaan bahasa isyarat, tentunya, berbeda dengan situasi kebahasaan bahasa lisan, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Bahasa isyarat menghadapi tantangannya tersendiri sebagai sebuah bahasa kelompok Tuli sebagai minoritas. Berbeda dengan bahasa lisan, bahasa isyarat belum mendapat pengakuan dari masyarakat luas sebagai sebuah bahasa. Selain itu, dengan situasi saat ini, yaitu adanya SIBI yang diluncurkan oleh pemerintah sebagai sistem komunikasi di sekolah-sekolah, membuat bahasa isyarat semakin terpinggirkan. Situasi tersebut membuat bahasa isyarat sebagai titik berat identitas komunitas tuli. Perjuangan kaum tuli sebagai sebuah kelompok budaya juga berpusat pada tuntutan agar bahasa isyarat dapat diakui dan digunakan pada berbagai aspek kehidupan kaum Tuli, termasuk dalam bidang pendidikan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan situasi kebahasaan bahasa isyarat tersebut, komunitas Tuli memandang tinggi kemampuan bahasa isyarat seorang anggota komunitas tersebut maupun orang di luar komunitasnya (orang dengar). Kemampuan berbahasa isyarat tersebut menjadi kunci penting dalam melakukan pendekatan kepada komunitas tuli. Oleh karena itu, sangat penting pula bagi seorang peneliti untuk mahir dalam bahasa isyarat.
Kemampuan bahasa isyarat seorang peneliti atau orang lain yang bekerja sama dengan orang tuli dapat mendekatkan jarak sosial dan psikologis di antara keduanya. Penutur sebuah bahasa minoritas yang terpinggirkan biasanya membatasi dirinya dengan orang di luar komunitasnya, sehingga mempelajari bahasa komunitas tersebut dapat menjadikan seseorang sebagai “sekutu” dan bukan lagi sebagai orang asing (Fischer 2009). Bagi seorang peneliti bahasa isyarat, kemahiran berbahasa isyarat dapat memberikan akses ke dalam komunitas tuli sehingga anggota komunitas tersebut dapat menumbuhkan rasa percaya bahwa peneliti mempunyai tujuan positif dalam penelitiannya.
ADVERTISEMENT
1. Memilih konsultan penelitian
2. Memilih informan
3. Pengaturan teknis
4. Timbal balik kepada komunitas tuli
Revanna Dewanti, mahasiswi Akuntansi Universitas Pamulang.