Toleransi dan Teror-Aksi Keseragaman

Reza Ahmad Wildan
Dosen di IBIK Bogor
Konten dari Pengguna
7 November 2020 12:03 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Ahmad Wildan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Toleransi diistilahkan ke dalam bahasa Arab sebagai tasậmuh dari samaha (Kamus Pintar Agama Islam, 2014: 265), dan diserap ke dalam bahasa Indonesia, ‘tasamuh’ yang berarti kelapangan dada; keluasan pikiran; toleransi (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (2013: 1408).
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam Kamus Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia (2016: 749), istilah ‘toleransi’ dipadankan dengan istilah “longgar, lapang dada/hati, dan terbuka”. Artinya, sikap toleran merupakan sikap berlapang hati yang ditunjukkan untuk memberi ruang longgar dan terbuka atas setiap perbedaan pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, keyakinan dan kelakuan.
Seseorang dapat dikatakan toleran, apabila ia menghargai, menghormati dan dapat menerima perbedaan dan keberagaman. Ia tidak merasa benar sendiri dengan memaksakan pandangannya, pendapatnya, kepercayaannya, kebiasaannya, kelakuannya, keyakinannya kepada orang lain.
Toleransi sangat dibutuhkan dalam kehidupan dunia, negara, dan bangsa. Hamengku Bowono X (2008: 75) mengungkapkan bahwa sejarah memberi pelajaran amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar mengenai toleransi dan keterbukaan dalam menerima keberagaman dan perbedaan dalam bernegara dan berbangsa.
ADVERTISEMENT
Dalam kebangsaan, sejak lama Nahdlatul Ulama mendasari semangat kebangsaan dengan ruhut ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan). Sedangkan dalam sikap kemasyarakatan Aswaja an-Nahdliyah, NU selalu menjunjung tinggi tawassuth dan i’tidal (tengah-tengah), tasamuh (toleran), tawazzun (keseimbangan), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran) (PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, 2009: 47-49).
Untuk mendasari cinta tanah air, NU sejak awal menyadari bahwa keberagaman bangsa ini harus dipertahankan. Bagi NU, keberagaman bangsa Indonesia bukanlah penghalang dan kekurangan, melainkan kekayaan dan peluang, sehingga warga Nahdliyin menganggap perlu agar seluruh warganya selalu menjunjung tinggi sikap toleransi.
Jadi, alangkah indahnya bumi manusia ini yang penuh dengan warna-warni, tawa-canda, penuh dengan tutur-sapa yang santun, senyum tulus di antara semua dan sesama manusia. Tiada rasa benci di antara sesama, tiada kekerasan, tiada pertikaian dan peperangan. Semua manusia dapat beraktifitas dan beribadah masing-masing dengan rasa aman, nyaman, tentram, tiada ancaman, dan kecemasan.
ADVERTISEMENT
‘Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing’, cita-cita sebuah masyarakat bangsa dan tatanan dunia untuk hidup dalam keadaan damai, tentram adil dan makmur. Sebuah mimpi pendahulu, nenek moyang bangsa ini yang harus generasi melenial dapat wujudkan saat ini. Mungkin juga mimpi indah semua umat manusia di dunia. Paling tidak mimpi indah sebagian besar umat manusia yang mendambakan hidup berdampingan secara damai. Mimpi Anda dan juga mimpi saya.
Itu bukan mimpi yang berlebihan, bukan angan-angan yang mustahil diwujudkan. Bukan pula sebuah mimpi kosong. Seperti pribahasa ‘di mana tanah berpijak, di situ langit dijunjung’. Keberagaman dan perbedaan sebagai suatu keniscayaan di negeri ini haruslah bisa dihormati dan diterima. Namun, keberagaman tidaklah bisa dipisahkan dari toleransi, yang oleh Quraish Shihab disebutnya ‘kemanusiaan’.
ADVERTISEMENT
Shihab (2019: 237) mengatakan kemanusian mendahului keberagaman. Artinya, dari titik tolak kemanusiaanlah keberagaman dapat diwujudkan. Kemanusiaan akan melahirkan penghormatan terhadap orang lain, walau harus dicatat bahwa penghormatan tidak secara otomatis berarti menerima/membenarkan agama, kepercayaan atau pendapat mereka.
Oleh karenanya, andai saja semua manusia mampu mengedepankan sikap toleransi dalam segala aspek kehidupan. Andai saja semua manusia mampu menghilangkan keegosentrisannya. Sebab, toleransi bukan untuk keseragaman, tetapi untuk keberagaman. Toleransi juga bukan untuk menghargai dan merestui teror-aksi, sebab mimpi umat manusia adalah untuk hidup dalam situasi aman, nyaman, damai, dan lingkungan lestari.
Keberagaman dan perbedaan merupakan suatu keniscayaan yang harus manusia terima. Terlepas dari pro dan kontra, keduanya merupakan hal yang nyata dan ada di depan mata kita. Indonesia berdiri di atas keberagaman. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural, memiliki budaya yang beragam, memiliki agama yang bermacam-macam, terdiri beragam etnis, bahasa, suku dan ras. Keragaman dan perbedaan tersebut akan menjadi pemersatu bangsa apabila sejak dini kesadaran bertoleransi dimapankan.
ADVERTISEMENT
Namun, ada sebuah kegelisahan atas realitas sosial yang menggejolak dewasa ini. Dunia politik semakin mengalami keriuhan dan teror-aksi di mana-mana. Sebuah wajah garang dengan berbagai konflik horizontal yang berbau suku agama, ras, etnis, bahasa, golongan, dan kepentingan-kepentingan politik lainnya. Konflik-konflik ini berawal dari semaraknya pilpres 2020 antara persaingan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto.
Masyarakat Indonesia terpecah menjadi dua kelompok besar. Tumbangnya Prabowo Subianto yang akhirnya memicu meledaknya konflik horizontal ke arah suku, agama, ras, etnis, bahasa, golongan, politik, seakan benih-benih keberagaman berubah menjadi tunas keseragaman. Indonesia mulai memanas, media politik baik televisi dan media sosial bermain perannya. Berita politik dan media sosial menjadi semakin diminati sebagai bentuk instrumen komunikasi politik propaganda atau public relations.
ADVERTISEMENT
Di negara demokrasi seperti Indonesia, situasi ketentraman dan perdamaian selalu melatarbelakangi kegiatan teror-aksi propaganda dan public relations, seperti isu kebangkitan PKI, kriminalisasi ulama, penistaan agama, anti-Islam, tuduhan sesat-kafir-liberal-sekuler, dan isu-isu lainnya, yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok intoleran dan radikal dengan tujuan memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Media sosial disugukan dengan perang narasi, hoaks, ujaran kebencian, caci-maki, hingga fitnah. Media sosial bermain peran sangat kuat untuk membangun opini publik. Di sinilah upaya demokratisasi gagal karena tak ada proses literasi. Budaya ‘dengar-ucap’, bukan budaya ‘baca-tulis’ yang semakin mendominasi adalah penyebab utamanya. Sehingga aksi demo politik berjilid-jilid menghiasi trotoar dan jalan mengatasnamakan agama.
Kita tentu sepakat bahwa teror-aksi merupakan perilaku manusia egois, menghalalkan berbagai cara, licik, atau menggunakan kekerasan terhadap sesama. Aksi koboy pengebom yang mengatasnamakan agama meledakkan tempat ibadah dan menewaskan umat manusia, yang bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh belahan dunia. Teror brutal pria yang menghabisi nyawa manusia yang sedang beribadah di Selandia Baru tercatat sebagai peristiwa yang memilukan.
Di akhir bulan Oktober 2020 lalu, kita sangat terperangah dengan serangkaian teror-aksi di Perancis, menyoroti daftar buruknya toleransi antara paham sekularisme di Perancis dan keterasingan umat muslim Perancis, yang akhirnya memantik kemarahan umat Islam di dunia dan memercikkan konflik-konflik baru di belahan dunia, terutama di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ledakan konflik-konflik tersebut belum bisa ditampung dalam sebuah kesadaran toleransi yang matang. Orang mudah tersulut emosi karena berbeda dalam berbagai hal. Produktivitas tersendat bukan hanya karena krisis literasi, tetapi teror-aksi: mencari-cari kesalahan; menebarkan hoaks; ujaran kebencian; caci-maki; dan fitnah antarsesama.

Tetapi jangan risau, kita selaku anak bangsa tidak boleh pesimis. Kita harus tetap optimis dan yakin bahwa manusia tidak diciptakan hanya memiliki egosentris dan hawa nafsu semata. Seperti satyagraha dan ahimsa yang menjadi ajaran semboyan Gandhi (2013), bahwa hati manusia sejatinya tiada kekerasan, melainkan hanya kasih sayang. Manusia juga diciptakan untuk rasa cinta, kasih dan sayang. Pada manusia ada kasih-sayang; ada hati nurani; peduli; empati kepada sesama yang sedang kesusahan atau kekurangan.

ADVERTISEMENT