Akankah Cinta dan Intelektualitas Bisa Selaras?

Reza Athabi Zayeed
Mahasiswa Manajemen SDM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Konten dari Pengguna
26 November 2023 10:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Athabi Zayeed tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Simbol cinta, gambar diambil dari https://unsplash.com/s/photos/foto
zoom-in-whitePerbesar
Simbol cinta, gambar diambil dari https://unsplash.com/s/photos/foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apa yang pertama kali muncul dalam benak pikiran ketika mendengar kata cinta ? Mungkin bagi orang awam kata tersebut biasa-biasa saja, tetapi ada stereotip yang melekat pada orang-orang yang memiliki daya intelektualitas yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Ketika diperdengarkan kata cinta kepada mereka, sikap yang pertama kali mereka perlihatkan adalah cenderung acuh tak acuh dan terkesan mengabaikan. Ini mungkin tidak berlaku untuk semua orang pintar dengan daya intelektualitas yang tinggi, tetapi pada beberapa orang, stereotip tersebut nampaknya berlaku.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempertentangkan antara cinta dan intelektualitas. Tapi malah justru hendak mencari kesinambungan dan titik temu antara keduanya. Ketika pertama kali mendengar kata cinta, mungkin yang pertama muncul dalam pikiran adalah hal-hal yang sifatnya erat dengan perasaan, hati, dan keterikatan yang sifatnya emosional.
Tidak salah, karena itu juga merupakan pemahaman sebagian besar orang mengenai cinta. Menilik definisi cinta itu sendiri, sebenarnya sampai sekarang tidak ada definisi konkret yang menjadi rujukan utama akan pengertian cinta. Banyak kalangan yang telah mengemukakan pendapat dan pengertiannya mengenai cinta. Mulai dari yang berlatar belakang akademisi, filsuf, budayawan, hingga pemuka agama.
ADVERTISEMENT
Seperti apa yang pernah disampaikan oleh Sudjiwo Tedjo yang merupakan seorang budayawan bahwa tidak ada yang diketahui dari cinta selain kata cinta itu sendiri. Ketika seseorang ditanya mengapa mencintai orang lain dan orang tersebut bisa menjelaskan dengan berbagai alasan, maka itu bukan cinta. Itu adalah kalkulasi.
Begitulah kiranya perkataan yang pernah disampaikan oleh Sudjwo Tedjo dalam perbincangannya dengan seorang perempuan di salah satu podcast. Selain Sudjiwo Tedjo, banyak kalangan lain yang mencoba mendefinisikan cinta dari pendekatan yang berbeda. Beda pendekatan yang digunakan, beda juga maksud dan definisi yang dipahami.
Seperti apa yang pernah didefinisikan oleh para kalangan tasawuf bahwa cinta adalah suatu pengharapan dan penghargaan seorang hamba kepada Tuhan. Cinta berarti hanya dapat ditujukan kepada Tuhan dengan penuh rasa kesadaran. Pendekatan ini lebih menekankan aspek batin ketimbang emosi terhadap pencapaian tujuan cintanya. Yang dapat dipahami dari pendekatan cinta ini adalah keinginan untuk selalu dekat bahkan “bersatu” dengan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Hanya dari dua pendekatan yang berbeda, kita sudah dapat menangkap seberapa abstrak dan samarnya cinta ini hingga membuat kita agaknya kesulitan dalam mencoba mendefinisikan cinta secara konkret. Kenyataannya memang cinta bukanlah sesuatu yang bisa kita rumuskan serta pastikan definisinya. Selain itu, sifat dari cinta itu sendiri yang sangat subjektif antar golongan atau bahkan orang yang mendefinisikannya membuat kita kesulitan untuk dapat mengartikan cinta secara pasti.
Makna cinta bagi sebagian besar orang yang erat kaitannya dengan keterikatan emosional, gambar diambil dari https://unsplash.com/s/photos/foto
Ferry Irwandi, seorang Youtuber yang terkenal dengan pengetahuannya yang luas, pernah membahas mengenai kaitan antara cinta dan rasionalitas seseorang. Ketika seseorang mengalami jatuh cinta maka akan ada satu hormon d ibagian otaknya yang memengaruhi pola pikir dan perilakunya.
Hal itu memberikan pengaruh terhadap daya rasionalitas dan tentunya intelektualitasnya. Ketika seseorang jatuh cinta, yang sering terjadi adalah perasaannya tidak bisa selaras dengan logikanya. Hal ini disebabkan karena ada bagian di otaknya yang memproduksi hormon dopamin secara berlebihan sehingga hal tersebut mengganggu keseimbangan zat kimiawi di otak.
ADVERTISEMENT
Hormon dopamin yang berlebihan, mengganggu bagian otak yang berfungsi untuk melakukan daya nalar dan intelektualitas seseorang. Tak heran, itulah mengapa kebanyakan orang ketika jatuh cinta, maka logikanya akan dikalahkan oleh perasaannya.
Secara sekilas, jika kita pahami dari apa yang dijelaskan oleh Ferry Irwandi mengenai cinta, maka yang dapat kita pahami adalah kontradiksi antara keduanya. Bahwa cinta memang berperan dalam menurunkan tingkat rasionalitas seseorang. Hal itu bisa terjadi karena disebabkan oleh reaksi bio-kimiawi yang ada di dalam tubuh manusia. Dan reaksi tersebut pasti adanya.
Ilustrasi mekanisme biokimiawi yang terjadi pada otak sebagai perangkat intelektualitas seseorang, gambar diambil dari https://unsplash.com/s/photos/foto
Lalu bagaimana kita dapat mencari kesinambungan atau titik tengah antara cinta dan intelektualitas? Banyak yang bilang satu hal yang pasti dan ada dalam sebuah kata cinta adalah keinginan. Entah cintanya kepada pasangan, teman, saudara, benda, pengalaman, ide, atau bahkan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang yang masih awam juga tentang dunia percintaan dan lika-liku di dalamnya, saya cenderung setuju dengan hal tersebut. Mengapa? karena itu yang paling relevan dan realistis kita alami sebagai seorang manusia biasa. Ketika kita mencintai sesuatu, katakanlah seseorang, maka rasa menginginkan terhadap pasangan tersebut akan muncul.
Baik perasaan cinta, maupun intelektualitas memiliki satu hal pasti yang ada di dalamnya. Yaitu adalah keingintahuan atau curiosity. Katakanlah ketika seseorang mulai merasakan jatuh cinta pada pasangannya, maka akan timbul rasa ingin selalu mengetahui seluk beluk dan segala hal tentang pasangannya itu.
Seringkali, rasa keingintahuan itu, menuntunnya pada perasaan cinta yang lebih dalam. Sama halnya ketika seseorang tertarik pada satu bidang keilmuan, maka ketertarikannya itu akan mengantarkannya pada rasa keingintahuan yang mendalam untuk terus menggali dan mencari pengetahuan yang ingin ia dapatkan.
ADVERTISEMENT
Bisa dikatakan bahwa orang yang sedang kasmaran dengan orang yang sedang “puber secara intelektual” sama-sama memiliki kesamaan dengan apa yang menjadi ketertarikannya dalam menggapai yang ingin dia raih. Hanya saja bedanya, orang kasmaran berjuang demi cintanya kepada pasangan sedangkan orang yang intelek berjuang untuk ilmu dan pengetahuan yang hendak digapai.
Kiranya dari penjelasan secara singkat di atas mengenai satu hal yang pasti yang ada dalam cinta dan intelektualitas, kita sudah mulai bisa untuk memetik satu tangkai intisari dari keduanya. Maka dengan sedikit paparan-paparan tersebut, agaknya kita bisa memahami persamaan antara kedua hal yang selama ini sering dipertentangkan dan dianggap tidak bisa selaras oleh beberapa orang.