Perlukah Indonesia Memaksimalkan Bahan Bakar Gas seperti di Pakistan?

Reza Reflusmen Jr
Diplomat. Pernah bertugas di Karachi, Pakistan dan Bucharest, Rumania. Gemar berita olahraga. Sesdilu ke-61. Tidak sabar menanti Asian Games 2018.
Konten dari Pengguna
5 Juli 2018 6:56 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Reflusmen Jr tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perlukah Indonesia Memaksimalkan Bahan Bakar Gas seperti di Pakistan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Stasiun pengisian bahan bakar gas di Pakistan, mcoc.com.pk
Pertamina kembali menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi per tanggal 1 Juli 2018. BBM yang harganya berubah adalah jenis Pertamax, Pertamax Turbo, dan Pertamina Dex. Harga Pertamax berubah dari Rp 8.900 menjadi Rp 9.500. Pertamax Turbo dari Rp 10.100 menjadi Rp 10.700. Sedangkan Pertamina Dex yang harga sebelumnya Rp 10.000 menjadi Rp 10.500.
ADVERTISEMENT
BBM selalu menjadi isu yang sensitif. Perubahan harga BBM kerap diwarnai dengan berbagai pendapat pro dan kontra. Penjelasan Pertamina, penyesuaian harga kali ini adalah imbas naiknya harga minyak dunia.
Biasanya, ide-ide penggunaan bahan bakar alternatif sering muncul di media. Opsi-opsi lain dari bahan bakar minyak (BBM) antara lain bahan bakar gas (BBG), bahan bakar solar, tenaga listrik, atau pun jenis lainnya.
Kali ini, saya tidak hendak menyoroti penyesuaian harga tersebut. Namun, penggunaan bahan bakar alternatif menjadi suatu hal yang menarik.
Kesempatan saya ketika bertugas di Pakistan, tepatnya di kota Karachi, membuat mata saya terbuka mengenai kemampuan suatu negara dalam menyediakan bahan bakar pengganti yang digunakan secara massal untuk menggerakkan kendaraan masyarakat, khususnya mobil dan kendaraan umum seperti bajaj dan taksi, yaitu BBG.
Pengisian bahan bakar gas. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengisian bahan bakar gas. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Barangkali untuk anak millenial Jakarta, BBG hanya dikenal sebagai bahan bakar Bajaj Biru yang hilir mudik di sekitaran Jakarta. Buat orang generasi saya yang sudah mulai melek berita di era-1990an, membicarakan BBG menjadi bahan bakar di mobil pribadi ada rasa sedikit horor.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, dulu di Indonesia saat bahan bakar ini dikenalkan untuk kendaraan pribadi, kerap muncul kasus mobil ber-BBG meledak.
Kasus ini bukan sekali dua terjadi. Hal ini menyebabkan mobil dengan BBG tak populer. Masyarakat seakan takut menggunakan BBG di mobilnya. Ditambah pula informasi orang-orang yang suka utak-atik mobil bahwa BBG ngga bagus untuk performa mobil dan berbagai cerita lainnya.
Di Pakistan, saya mendapati fakta jauh berbeda. Saya terkejut karena Pakistan adalah negara yang cukup sukses mengimplementasikan BBG untuk kendaraan pribadi maupun kendaraan umum seperti taksi atau bajaj. CNG (compressed natural gas) adalah nama yang dikenal di Pakistan untuk BBG.
Mobil berbahan bakar gas  (Foto: classicmotorstt.net)
zoom-in-whitePerbesar
Mobil berbahan bakar gas (Foto: classicmotorstt.net)
Langkanya sumber daya minyak membuat Pakistan harus mengimpor minyak mentah untuk mencukupi kebutuhan energinya, termasuk yang digunakan untuk kendaraan pribadi. Di era 1990-an, Pemerintah Pakistan memutuskan mengenalkan gas untuk mobil dan angkutan umum roda tiga atau empat.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, di tahun 2013, sekitar 2,8 juta kendaraan menggunakan CNG sebagai sumber energi penggerak. Pakistan hanya kalah dari Iran sebagai negara pengguna BBG untuk kendaraan.
Sumber-sumber gas memang ada di negeri tetangga India ini. Didukung subsidi pemerintah, harga BBG tersebut menjadi semakin murah sehingga menjadi pilihan masyarakat.
Berkaca dari pengalaman Pakistan yang mengkonversi BBM ke BBG, apakah kebijakan tersebut juga tepat dilakukan di Indonesia?
Pengisian bahan bakar gas. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengisian bahan bakar gas. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 yang dirujuk katadata.co.id tahun 2017, jumlah kendaraan di Indonesia mencapai 121 juta unit. Sepeda motor menjadi mayoritas dengan 98,9 juta unit, sementara mobil penumpang berjumlah 13,5 juta unit, mobil barang 6,6 juta, dan sisanya bus.
ADVERTISEMENT
Jumlah tersebut angka yang signifikan bila harus menghitung berapa besar konsumsi BBM harian di Indonesia. Dengan kondisi Indonesia yang lebih banyak mengimpor minyak dibandingkan mengekspor, importir menyediakan BBM setiap harinya tentu bukan perkara mudah.
Sudah barang tentu, adanya alternatif bahan bakar, dapat meringankan beban menyediakan BBM. Apalagi BBG, menurut sejumlah penelitian, minim polusi.
Namun, apakah pengalaman Pakistan akan baik diterapkan di Indonesia, atau justru masyarakat berpikir lebih progresif lagi, yaitu dengan kendaraan listrik atau tenaga surya, atau kombinasi berbagai energi?