Ini (Layak Disebut) Pembunuhan

Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi UGM
Konten dari Pengguna
26 September 2018 15:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Indragiri Amriel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah pendukung klub sepak bola Persija melakukan ziarah ke makam Haringga Sirla di Indramayu, Jawa Barat, Senin (24/9).  (Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pendukung klub sepak bola Persija melakukan ziarah ke makam Haringga Sirla di Indramayu, Jawa Barat, Senin (24/9). (Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
ADVERTISEMENT
Persib. Terhitung sudah dua kali tim ini membuat saya sesak napas. Pertama, di tahun 80-an, ketika Persib tumbang dalam drama adu penalti melawan PSMS. Kedua, sesak napas akibat tragedi di luar lapangan yang pecah beberapa hari lalu.
ADVERTISEMENT
Skor akhir 3-2 untuk kemenangan Persib di hari jahanam itu. Tapi mengapa (sebagian) suporternya tetap melakukan aksi kekerasan? Ini menjadi petunjuk bahwa perilaku pendukung sepak bola tidak serta-merta sebangun apalagi ditentukan oleh performa tim yang mereka dukung.
Namun apabila dirunut ke belakang, boleh jadi kekesalan para pendukung Persib memang masih menumpuk dan siap sewaktu-waktu meletup. Pasalnya, mengacu data pertandingan Persib dan Persija, sejak Liga Indonesia dimulai pada musim 1994/1995 hingga 2017, Persib keteteran jauh dari Persija.
Tim Maung baru mengumpulkan 6 kemenangan atas kesebelasan Macan Kemayoran. Sebaliknya, tim oranye sudah menikmati 15 kali kejayaan atas tim biru. Selisih jauh itu yang meletakkan dasar bagi spekulasi bahwa Teori Frustrasi Agresi terpancar pada kejadian memilukan yang berujung pada tewasnya pendukung Persija, almarhum Haringga Sirla.
ADVERTISEMENT
Pemahaman yang terbangun dari teori itu adalah menganiaya orang yang terasosiasi dengan tim lawan merupakan satu-satunya bentuk 'kemenangan' yang bisa dicapai sebagian pendukung tim Maung, karena kesebelasan yang mereka elu-elukan itu ternyata secara total jenderal masih belum kuasa berjaya di lapangan hijau atas Persija.
Kendati demikian, perlu kehati-hatian agar tidak memukul rata seluruh suporter Persib dalam simpulan negatif. Realitasnya, pasti tidak semua pendukung Persib masuk ke dalam barisan para pendukung fanatik. Juga, pasti tidak semua Viking garis keras menampilkan tingkah-polah agresif.
Dengan melakukan penyisiran sedemikian rupa, muncul alasan kuat untuk menduga bahwa ada sebagian orang yang cuma berkostum pendukung Persib. Pada diri sekelompok pendukung itu, brutalitas boleh jadi sudah memunculkan efek candu. Bahkan perasaan ketagihan akan kekerasan itu lebih kuat ketimbang ketagihan untuk menonton laga sepak bola itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Bagi mereka, benturan fisik terasa menyenangkan. Keadaan semrawut adalah menggairahkan. Dicederai dan mencederai dianggap membanggakan. Mencari sensasi yang mengantar mereka ke keadaan mendidih, demikianlah yang terus-menerus sebagian pendukung itu cari.
Tinggal lagi satu pertanyaan: adiksi akan kekerasan itu bersumber dari sono-nya (faktor bawaan) atau dikondisikan oleh lingkungan, yaitu oleh sesama anggota kelompok pendukung sepak bola?
Jika faktor bawaan adalah penyebab dominannya, maka langkah mengatasinya terbilang mudah. Setidaknya di atas kertas. Isolasi saja para pendukung yang diketahui memiliki sumbu pendek.
Marah (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Marah (Foto: Unsplash)
Lebih mengerikan seandainya penyebab kedua, yaitu pengaruh sosial, yang menjadi penentu. Pada ranah itu, kekerasan sudah naik kelas menjadi kultur (bukan lagi kepribadian) menjadi jati diri kelompok (bukan sebatas individu), menjadi alasan untuk meng-ada. Semakin dia terlestarikan, semakin keberadannya mapan.
ADVERTISEMENT
Peniadaan terhadap kultur tersebut, penghapusan jati diri dimaksud, berkonsekuensi pahit: hilangnya keberadaan kelompok pendukung tim sepak bola. Dan ini tentu saja harus dielakkan! Perilaku kekerasan harus terwariskan dari satu generasi ke generasi supporter berikutnya agar mereka tetap eksis.
Tapi sekarang masalah kekerasan terhadap almarhum Haringga Sirla sudah naik ke pidana. Pertanggungjawaban perorangan di hadapan hukum harus dikedepankan. Tak cukup dengan umpatan ataupun kutukan terhadap standar moral nan buruk para pelaku. Tak adil jika kelakuan jahat disimpangkan apalagi dikecilkan maknanya hanya dengan sebutan "perilaku massa".
Di pidana, alih-alih membingkai kejadian ini sebatas sebagai perkelahian atau bahkan penganiayaan yang mengakibatkan orang kehilangan nyawa, patut dipertimbangkan untuk menjerat para pelaku dengan pasal yang jauh lebih serius. Apalagi, hampir bisa dipastikan, gelombang kekerasan antarpendukung tim sepak bola tidak akan surut dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Nah, pasal apa gerangan yang lebih pas (baca: buas) dipakai untuk menjerat leher orang-orang yang telah menjahati almarhum Haringga Sirla?
Para pelaku tahu siapa saja yang harus diincar. Mereka membangun kekompakan untuk melancarkan serangan. Kemudian, mereka sengaja melancarkan kekerasan fatal ke bagian vital pada tubuh korban. Apalagi sekiranya para pelaku membawa alat untuk menjahati sasaran. Tidakkah itu serupa dengan rangkaian tindak-tanduk pelaku pembunuhan berencana?
Allahu a'lam.