Tidak Pernah Berbohong? Pasti Bohong!

Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi UGM
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2018 13:54 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Indragiri Amriel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hoax (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hoax (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Coba jawab, ya.
Hingga detik ini, sudah berapa jam Anda memegang gawai? Bandingkan, mana yang lebih lama: bersentuhan dengan smartphone atau dengan anak-anak dan istri/suami Anda?
ADVERTISEMENT
Bisa dipastikan: 99,99 persen Anda berbohong kalau menjawab bahwa Anda seharian ini menghabiskan waktu lebih lama bersama keluarga! Kok saya bisa tahu? Ya, karena saya senasib dengan Anda. Padahal, klaim kita adalah kita amat-sangat sayang buah hati dan belahan jiwa kita.
Lagi: Semua orang niscaya menyebut dirinya peduli pada kebersihan. Tapi faktanya, seberapa sering Anda buang hajat di peturasan umum, lalu keluar dari situ tanpa cuci tangan. Atau, andai cuci tangan, sangat mungkin sekadar cari basah doang.
Contoh di jalanan juga banyak. Ambil misal, dua ratusan juta orang Indonesia mengaku sebagai warga negara yang baik. Warga negara dengan tabiat seperti itu seharusnya taat hukum. Kenyataannya, pengemudi mana yang tidak pernah melanggar Undang-Undang Lalu Lintas? Ngaku saja, kalau ada.
ADVERTISEMENT
Bangku-bangku di pojokan gerbong commuter line adalah pasar grosir kebohongan. Penumpang perempuan mendadak kena selesma parah, padahal sesaat sebelumnya fasih bergosip ria, agar bisa duduk di kursi prioritas. Atau penumpang pura-pura rabun, padahal di depannya berdiri penumpang usia lanjut.
Di kantor, karyawan mana yang seumur-umur tidak pernah mengelabui atasan? Jangankan bawahan ke atasan. Atasan pun pasti pernah mengibuli bawahan.
Ini contoh universal. Bisa dijumpai dari Sabang sampai Merauke. Ketika ada yang bertanya "apa kabar?", jawaban kita tak lain adalah "baik". Tidak satu orang pun yang mau menjawab pertanyaan itu dengan keluh-kesah. Padahal, hidup penuh sesak dengan masalah.
Pun tatkala ditanya dalam bahasa Inggris, "How are you?" Persis seperti robot, tua-muda spontan menjawab, "Fine." Lebih sopan sedikit, "Fine", lalu "thank you." Lebih santun lagi adalah dengan balik bertanya, "Fine, thank you. And how are you?"
ADVERTISEMENT
Ada beberapa penjelasan mengapa ritual kebohongan itu kita lestarikan. Pertama, karena di sekolah gaya bertutur tipikal sedemikian rupa yang berulang kali diajarkan. Kedua, menjawab "fine" adalah kamuflase mulia. Mulia karena toh lawan bicara alias si penanya sepertinya juga tidak akan siap mendengar respons jujur bahwa hidup kita ramai dengan problematika. Nah, betapa pun untuk kebaikan, tetap saja itu kebohongan. White lie tetap saja lie.
Jangan bermimpi dunia olahraga yang semestinya identik dengan sportivitas selamanya sepenuhnya imun dari rekayasa. Sepak bola gajah, pengaturan skor, adalah dua contoh bagaimana akal bulus juga hadir di lapangan.
Penyanyi lip sync pun sejatinya mengelabui penonton. Tambahan lagi, kecanggihan teknologi rekaman memungkinkan orang bersuara rusak parah seketika menjadi sekelas diva. Serunya lagi, betapa pun tahu bahwa yang dipajang adalah CD musik bajakan, tetap saja laris bak kacang goreng.
ADVERTISEMENT
Begitu pun di ranah hukum. Terdakwa 'boleh' berdusta, mengingkari perbuatan jahatnya. Itu sebabnya terdakwa tidak disumpah sebagaimana saksi. Toh pembuktian lebih krusial ketimbang pengakuan.
Tipa-tipu bukan hanya mainan orang rendahan. Kepala negara sekali pun banyak yang ketahuan berdusta. Supaya 'aman', ilustrasinya pakai beberapa presiden asing saja.
Bill Clinton (Foto: AFP/Saul Loeb)
zoom-in-whitePerbesar
Bill Clinton (Foto: AFP/Saul Loeb)
Sebut saja Bill Clinton. Sempat melintir sana-sini, Clinton akhirnya mengakui skandal seks yang ia lakukan bersama karyawan magang Gedung Putih. Juga ada George Bush Jr. Supaya bisa masuk ke Irak laksana pahlawan, sehingga tidak dianggap sebagai penjajah, dia pakai dalih bahwa Saddam Hussein membangun senjata pemusnah massal. Sampai hari ini, tak ada satu bukti pun akan kebohongan Bush Jr. tersebut.
Yang paling ekstrem tiada banding adalah Firaun. Dia membohongi rakyatnya dengan mengaku sebagai Tuhan. Mirip-mirip itu ada sekian banyak orang yang mengklaim sebagai nabi. Nabi palsu, pastinya.
ADVERTISEMENT
Alkisah, kebohongan hari ini juga dikemas lebih canggih. Konon, tidak semua lembaga survei bisa dipercaya. Kabar burung, sebagian lembaga survei bekerja bukan berdasarkan metode ilmiah, tapi berdasarkan pesanan siapa. Jadi, angka, statistik, grafik, dan sejenisnya bisa dinaikkan-diturunkan suka-suka hati si pembayar lembaga survei.
Terus terang, jangankan sebatas hingga alinea ini. Saya masih sanggup menulis setimbun contoh lagi mengenai perilaku penuh dusta umat manusia. Ini saya sedang berbohong.
Sejujurnya, saya sudah bosan melanjutkan celoteh tentang kecerdasan manusia. Kecerdasan manusia? Ya, kemampuan berbohong sesungguhnya merupakan bentuk kecerdasan. Bisa dimaknakan sebagai kecerdasan kognitif karena menyangkut daya imajinasi manusia. Bisa juga diartikan sebagai kecerdasan sosial karena merupakan salah satu bentuk adaptasi manusia terhadap sesama.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini, saya ingin katakan bahwa hidup manusia tak lepas dari kebohongan. Masuk akallah manakala Robert Hare menjuluki masyarakat dunia sebagai camouflage society. Masyarakat yang selalu bertopeng.
Dari situ, kita dapat contoh nyata pada sosok Ratna Sarumpaet. Dia salah. Tapi camouflage society tidak hanya beranggotakan Ratna Sarumpaet. Kita-kita yang tergelak menertawakan Ratna Sarumpaet, kita-kita yang terpingkal-pingkal menyaksikan sekian banyak orang berhasil dikadali Ratna Sarumpaet, sesungguhnya adalah juga bagian dari keluarga besar camouflage society itu.
Tak percaya?
Coba jawab jujur: Sesuci apa kita sampai bisa-bisanya meludahi mereka? Tak etislah, tak tahu dirilah, kalau para pembohong malah mem-bully pembohong.
Percayalah. Saya tidak bohong kali ini.