Dispereert Niet, Jangan Putus Asa Hadapi Banjir Jakarta

Atourin
Layanan Informasi Wisata, Itinerary Creator, Virtual Traveling, dan Academy
Konten dari Pengguna
2 Januari 2020 22:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atourin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Coat of arms Batavia Jakarta Dutch East Nederlands. Sumber: Wikipedia common
zoom-in-whitePerbesar
Coat of arms Batavia Jakarta Dutch East Nederlands. Sumber: Wikipedia common
ADVERTISEMENT
Disasterchannel.co, Jakarta- Malam pergantian tahun 2019 ke 2020 harusnya penuh dengan suka cita, kembang api dan bunyi terompet menyambut tahun baru. Tetapi hujan yang mengguyur hampir seluruh wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi) mengakibatkan banjir di beberapa tempat. Beberapa jalan yang direncanakan akan ditutup untuk merayakan pergantian tahun, tidak diberlakukan, karena tahun baru tampaknya banyak dirayakan warga di rumah dan beberapa warga bersiaga banjir.
ADVERTISEMENT
Banjir tampaknya masih tetap menjadi “trade mark” bagi Jakarta karena sampai saat ini masalah tahunan yang selalu dihadapi oleh Pemprov. DKI Jakarta masih terus “menghantui”.
Banjir di Jakarta memang bukan terjadi di masa sekarang saja, tetapi sejak zaman Kerajaan Purnawarman, Belanda, banjir sudah kerap dialami oleh pemerintahan saat itu. Bahkan Jakarta mendapat sebutan "Dispereert Niet".
"Dispereert Niet" artinya jangan berputus asa, ini adalah julukan untuk Batavia yang sering mengalami banjir, sehingga kata-kata ini merupakan pemberi semangat bagi Gubernur Jenderal yang memerintah Batavia.
Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) di abad ke-17 telah merancang Batavia sebagai kota air, sebagai kota pelabuhan, JP Coen berencana untuk membangun kanal-kanal yang membelah kota-kotanya. JP Coen, tampaknya terinspirasi dengan kota Amsterdam.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat, banjir di Batavia sempat membuat Pemerintah jaman Belanda frustrasi, karena mengalami kesulitan untuk menanganinya, tercatat banjir cukup parah pernah dihadapi Batavia, pada tahun 1621, 1654, 1873, 1918 dan 1909. Banjir ini menggenangi rumah-rumah, karena meluapnya sungai Ciliwung, Cisadane, Angke dan Bekasi.
Banjir yang pernah terjadi tahun 1918, bahkan melumpuhkan Batavia. Sarana transportasi, termasuk lintasan trem listrik terendam air, Pemerintah saat itu sampai mengerahkan 2 trem tambahan untuk membantu trem-trem yang mogok karena terendam banjir. Sejarah mencatat, banjir tahun 1918 ini adalah banjir terparah pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Mulai dari JP Coen, sampai Gubernur Jenderal yang terkahir menguasai Batavia, AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer, tidak pernah berhasil menjinakkan banjir di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Raja Purnawarman dan Banjir
Tidak hanya saat Belanda menjajah, banjir menjadi persoalan, pada masa kekuasaan Raja Purnawarman, banjir juga menjadi masalah, bahkan sang raja pernah memerintahkan untuk melakukan penggalian terhadap Kali Chandrabagha (Sekarang Bekasi) dan Kali Gomati (Sekarang Tangerang) sepanjang 12 km untuk mengatasi persoalan banjir. Peristiwa ini tercatat dalam Prasasti Tugu di Jakarta Utara yang kini disimpan dalam Museum Sejarah Jakarta.
Ketika itu, wilayah Jakarta merupakan bagian dari kerajaan Tarumanegara. Catatan dari Prasasti itu setidaknya menunjukkan bahwa Jakarta sudah mengalami persoalan banjir sejak 15 abad yang lalu
Pascahengkang Belanda
Setelah Belanda hengkang, banjir juga masih terjadi, tercatat tahun 1979, 1999, 2002, 2007. Catatan pemerintah provinsi pada 2002, banjir menewaskan 2 orang dan 40.000 orang mengungsi, sementara tahun 2007, 80 orang tewas terseret arus air. Hingga saat ini banjir masih terus menjadi persoalan yang belum bisa diselesaikan. Berbagai upaya dilakukan untuk menangani persoalan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan, Belanda pernah membenahi system pengendali banjir di Batavia, berdasarkan buku yang ditulis oleh Restu Gunawan, Selain membangun beberapa infrastruktur baru, mereka juga membangun Kali Grogol, dan Pintu Air Manggarai lengkap dengan Saluran Banjir Kanal.
Banjir Kanal barat yang dulu dibangun oleh Herman Van Breen, seorang arsitek Belanda ini selesai, banjir di Batavia tetap saja terjadi, bahkan siklus 5 tahunan tetap saja terjadi. Menurut Herman, bila hanya mengandalkan BKB dan Pintu Air Manggarai, maka sebetulnya yang terjadi hanya pengalihan wilayah banjir ke wilayah lebih rendah. Bila sebelumnya limpahan air menggenangi Weltevreden (permukiman orang Eropa) dan kawasan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air justru mengalir ke tempat lebih rendah, misalnya Manggarai dan Jatinegara.
ADVERTISEMENT
Prediksi Herman itu ternyata benar. Banjir hebat di Manggarai dan Jatinegara pertama kali ditulis majalah Bintang Hindia (De Maleisce Revue) pada 1923, edisi 17 Februari, Tahun II, Nomor 7.
Sebetulnya Herman van Breen tidak hanya menggagas sistem kanal, tetapi juga menyodorkan perlunya sistem polder. Kawasan rawa di sepanjang pantai utara Jakarta mesti dikelilingi tanggul, kemudian airnya dipompa keluar melalui parit-parit sampai kering. Namun cara ini sepertinya juga gagal.
Hingga kini, sudah banyak cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi banjir Jakarta ini, baik era Gubernur Batavia Jan Pieterszoon Coen, maupun era gubernur-gubernur Jakarta setelahnya, misalnya pembangunan kanal, pengerukan sungai, normalisasi waduk, dan perbaikan drainase. Namun upaya itu belum berhasil.
Teks oleh: Trinirmalaningrum
ADVERTISEMENT