Keberpihakan Presiden, Dilema Sosial dan Keluasan Demokrasi

Rully Raki
Pengajar Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula
Konten dari Pengguna
30 Januari 2024 13:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rully Raki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo ketika sedang menyampaikan statement tentang presiden boleh berkampaye. Sumber: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo ketika sedang menyampaikan statement tentang presiden boleh berkampaye. Sumber: kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernyataan Joko Widodo tentang Presiden yang boleh melakukan kampanye pada 24 Januari 2024 sontak membuat masyarakat Indonesia kaget. Kekagetan itu bukan hanya karena pernyataan itu keluar dari mulut seorang Presiden yang diharapkan mengambil sikap netral dalam Pemilu.
ADVERTISEMENT
Tanggapan dari berbagai elemen masyarakat pun muncul atas pernyataan itu. Di kalangan akademisi misalnya, ada yang menyebutnya sebagai bagian dari abuse power atau penyalahgunaan penguasa (Setyowati, 2024). Di kalangan masyarakat, terutama di kalangan warga netizen, mereka menyebut ini sebagai tindakan pembelaan atau keberpihakan terhadap pasangan tertentu karena ikatan hubungan tertentu yang menjurus pada pencederaan demokrasi nusantara.
Apakah situasi ini kemudian membawa Indonesia berada di zona bahaya demokrasi atau darurat demokrasi ketika presiden bisa memihak dan berkampanye?
Cerita Rezim Lama
Dalam situasi ini, publik di tanah air menilai bahwa, tindakan presiden merupakan satu dari rangkaian tindakan yang cukup identik dengan situasi saat Indonesia masih dalam cengkraman rezim Orde Baru. Perlakuan yang dialami oleh seniman Butet Kertaredjasa dan Agus Noor pada Desember 2023 yang lalu, di mana mereka menandatangi surat berisi larangan menyampaikan sindiran politis ketika hendak menampilkan drama berjudul Musuh Bebuyutan yang dinilai sebagai bentuk intimidasi yang penguasa layaknya rezim Orde Baru (tempo.co 5/12/23).
ADVERTISEMENT
Anggapan ini juga disampaikan oleh Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDIP Perjuangan, dalam Rakornas di Jakarta, 27 November 2023. Apakah fakta dan pernyataan tadi dapat membenarkan bahwa rezim ini kembali mengulangi episode-episode pola pengaturan dan pelanggengan kekuasaan di masa Orde Baru? Sunggukah cerita rezim lama terulang lagi di masa kini?
Menjawab situasi ini, pihak Istana kemudian menanggapi bahwa statement yang diungkapkan Presiden Jokowi bukanlah merupakan statement yang tidak berdasar. Pihak Istana Negara menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Presiden berada dalam koridor Pasal 281 di UU Nomor 7 Tahun 2017, yang menyatakan bahwa kampanye boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, kepala daerah, dan wakil kepala daerah namun dengan persyaratan tertentu seperti tidak menggunakan fasilitas negara atau menjalankan cuti di luar tanggungan (kumparan.com, 25/1/23).
ADVERTISEMENT
Namun demikian, publik di Indonesia terlanjur melihat bahwa tindakan yang dibuat oleh presiden ini, merupakan salah satu bentuk tindakan yang dapat mencederai demokrasi. Penilaian ini lantas mengantar pada hipotesis bahwa kondisi bangsa Indonesia kembali ke masa Orde Lama.
Ada dua anggapan yang paling kurang bisa mendasari penilaian ini. Pertama, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, bahwa tindakan yang dibuat Presiden Jokowi, menyatakan presiden boleh memihak, meskipun belum benar-benar mengikuti kampanye pasangan tertentu merupakan tindakan yang hampir selama ini tidak pernah dibuat oleh para presiden di Indonesia pasca reformasi.
Kedua, trauma panjang yang disebabkan oleh pola pengaturan kekuasaan rezim Orde Baru cukup membuat bangsa Indonesia sensitif dengan segala bentuk tindakan penguasa. Entahkah itu berkaitan dengan kebijakan maupun yang berkaitan dengan politik, di mana ketika pola-pola pengaturan itu berkaitan dengan pelanggengan status quo, yang termanifestasi dalam bentuk politik dinasti, merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi di Indonesia lagi.
Presiden Joko Widodo sedang memberikan klarifikasi tentang UU Nomor 7 Tahun 2017. Sumber: kumparan.com
Keluasan Demokrasi
ADVERTISEMENT
Kondisi yang mengantar Indonesia dalam anggapan-anggapan bahwa adanya dinasti politik dan pencederaan demokrasi, sungguh membuat sebagai elemen bangsa masuk dalam situasi kecewa. bahkan ada yang menganggap bahwa situasi ini mengantar Indonesia pada bahaya atau darurat demokrasi.
Berhadapan dalam jeratan anggapan bahwa Indonesia berada pada ambang bahaya demokrasi akibat tindakan penguasa tentu banyak pihak merasa cemas. Namun pada sisi lain, di tengah situasi ini, bangsa Indonesia mestinya bisa melihat segala situasi ini berada dalam konteks demokrasi yang lebih luas. Pertama, bahwasanya tidak ada demokrasi yang berjalan dalam rel yang mulus atau dengan kata lain kenetralannya bisa selalu terjaga.
Dikatakan demikian karena demokrasi adalah salah satu proses politik, atau pengelolaan kekuasaan yang selalu berkaitan dengan faktor sosial budaya yang terdapat di dalam masyarakat. Tindakan yang dibuat oleh Jokowi, selain kemungkinan besar punya kepentingan politik, tetapi unsur sosialnya juga cukup kental. Kekentalan ini terlihat dalam dilema sosial yang paling mungkin sedang dialami.
ADVERTISEMENT
Dilema sosial itu sendiri merupakan situasi yang menempatkan kepentingan pribadi berhadapan dengan kepentingan bersama (van Vugt, 2002). Di satu sisi, kondisi yang tidak bisa terelakan bahwa salah satu calon wakil pemimpin negara memiliki hubungan yang erat dengan presiden, namun di sisi lain, kepentingan untuk penyelenggaraan demokrasi secara jujur dan adil merupakan tanggungjawab yang tidak bisa dilepaskan oleh presiden sebagai mandataris rakyat.
Dalam konteks ini, dilemma sosial bisa terjadi pada siapa saja dan menimpa siapa saja, dan itu bisa terjadi pada pemimpin sekalipun. Meskipun begitu, sikap dewasa rakyat sebagai pelaksana demokrasi sangat bisa diharapkan untuk melihat situasi ini secara lebih tenang dan lebih bijak, yang mana situasi-situasi demikian bisa sangat mungkin muncul dalam kondisi atau suasana tahun politik seperti ini.
ADVERTISEMENT
Kedua, dalam konteks kekuasaan demokrasi, hal penting bagi rakyat ialah bahwa paradigma berpikir tentang kekuasaan itu tidak berada terutama dan dipengaruhi oleh satu orang atau sekelompok orang saja. Dalam perspektif Michel Foucault pada ulasannya Power/Knowledge, kekuasaan itu berada di mana-mana, ia terdistribusi dan hidup dalam jaringan relasi, termasuk relasi sosial budaya.
Oleh kerana itu, politik dan pengaruh kekuasaan itu sangat bergantung pada relasi sosial, seperti penjelasan di atas, tetapi juga kekuasan itu terdistribusi ke masing-masing individu. Artinya, kekuasaan itu tetap berada di tangan rakyat dan rakyat itulah yang menentukan bagaimana dan ke mana arah biduk negara ini akan berlayar. Kesadaran ini harus mengakar dan terus ditanam di dalam diri setiap rakyat sebagai bagian dari proses meluaskan dan mematangkan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Hak ketiga sebagai lanjutan dari poin di atas adalah bahwa kekuasaan yang terdistribusi itu mestinya membuat rakyat tidak cepat terpengaruh dan tetap berpegang pada hati nurani untuk melihat pasangan calon pemimpin mana dan pada kelompok partai mana rakyat akhirnya menaruh pilihan hati.
Bangsa Indonesia mungkin banyak terganggu atau pun kecewa dengan situasi-situasi yang akhir-akhir ini terjadi, namun perlu tetap diperhatikan bahwa yang menentukan bukanlah hal-hal eksternal, seperti pengaruh propaganda partai pengusung, performance dalam debat atau tindakan penguasa sekalipun, sebab semua itu merupakan hal situasional yang tidak akan bertahan dan dapat berubah setelah masa pemilu ini.
Rakyatlah yang menjadi penentu untuk memilih dalam proses Pemihan Presiden (Pilpres) dan Pemilu 2024 nanti bagaimana nasib bangsa dan negara ini ke depan. Namun demikian, pengalaman-pengalaman mengenai segala tindak tanduk rezim yang berkuasa patut direkam untuk dijadikan pelajaran bahwa hendaklah kita memilih pemimpin yang bisa lebih bijak ketika berhadapan dengan dilema-dilema sosial demikian untuk kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT