Wajah Politik Indonesia Masa Kini

Rianto Harpendi
Chemical Engineer
Konten dari Pengguna
8 September 2020 7:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rianto Harpendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber : jawapos.com
Sumber utama masalah di Indonesia berasal dari politik. Hampir tidak ada aspek yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang tidak ditentukan oleh keputusan politik. Dalam sistem demokrasi, melalui politik, orang yang terpilih diberi kekuasaan untuk mengelola negara. Baik atau buruk suatu negara sedikit banyak ditentukan oleh kualitas orang- orang yang mengurus negara. Sayangnya, teori- teori indah dan mulia tentang politik banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak bisa dipungkiri, hampir semua aspek kehidupan sudah dipolitisasi. Agama, ekonomi, investasi, bencana alam, kesehatan, sosial, olahraga, pendidikan, hukum dan lainnya sudah menjadi komoditas politik. Politisasi dilakukan hanya untuk kepentingan politik belaka.
ADVERTISEMENT
Kepentingan politik baik partai politik (parpol) dan politisi hanya tiga, yaitu kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran. Bisa dikatakan, parpol – baik parpol lama atau baru, progresif atau konservatif, nasionalis atau relijius- tidak lagi memiliki ideologi. Ideologi dan nilai- nilai idealis yang dimiliki parpol cuma diatas kertas. Untuk menang dalam pemilu, tidak sedikit parpol mengusung calon hanya dari aspek popularitas daripada kualitasnya. Kualitas politisi juga tidak berbeda jauh dengan parpol. Sangat sulit menemukan politisi yang kompeten, negarawan dan berintegritas. Hitungan politiknya sebatas kalau ikut parpol A atau tokoh B, nanti dapat ini dan jadi itu. Sama seperti parpol, politisi juga lebih mengutamakan elektabilitas daripada kredibilitas. Politisi yang merampok uang negara untuk menambah pundi- pundi kekayaannya adalah hal yang lumrah dan kerap terjadi. Sikap tamak dan keinginan untuk memperkaya diri adalah godaan yang sulit ditaklukkan.
ADVERTISEMENT
Parpol dan politisi tidak keberatan melakukan apa saja demi memenuhi ambisinya. Politik uang marak terjadi untuk membeli suara rakyat. Ongkos politik yang mahal membuat sebagian besar parpol dan politisi mengucurkan uang yang tidak sedikit. Mungkin, setelah menang dalam pemilu atau berkuasa, parpol dan politisi memakai cara apapun untuk mengembalikan modal politik yang telah mereka keluarkan. Tidaklah heran bila hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek politik uang di Indonesia adalah yang terbanyak nomor tiga di dunia. Oleh karena itu, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang masih terjadi, tidak lain dan tidak bukan bersumber dari politik.
Kebiasaan lain yang rutin parpol dan politisi lakukan adalah melakukan pembodohan dan kebohongan. Dua hal tersebut dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Bagi parpol dan politisi, rakyat hanya sebagai alat untuk memainkan praktek politisasi. Tagline, jargon, slogan, kampanye atau apapun bentuknya - seperti partai wong cilik, setia bersama rakyat, katakan tidak pada korupsi, mengabdi demi bangsa dan negara- adalah mitos. Banyak rakyat yang percaya dan menjadi korban mitos tersebut.
ADVERTISEMENT
Parpol dan politisi juga membutuhkan panggung untuk mencari ketenaran, menyebarkan mitos politik dan mencari simpati rakyat. Saat butuh, mereka berteman mesra dengan media. Komunikasi politik yang sering dilakukan cenderung normatif, penuh retorika dan bualan. Politik bahasa dipakai politisi dan parpol untuk mengelabui lawan dan mengibuli rakyat. Mereka lihai memainkan kata- kata bahkan memonopoli bahasa untuk kepentingan politik. Kunjungan ke tokoh agama yang berpengaruhpun menjadi panggung indah bagi parpol atau politisi untuk menjaga image dan mendapatkan dukungan. Bagi mereka, adalah suatu keuntungan bila dicitrakan sebagai sosok atau parpol yang alim, relijius dan baik dimata rakyat.
Di era digital saat ini, parpol dan politisi suka menggunakan jasa buzzer untuk memanipulasi rakyat agar percaya pada mitos politik. Lewat peran pendengung bayaran, kebohongan direkayasa menjadi “kebenaran”. Buzzer dipekerjakan oleh politisi yang sedang berkuasa maupun oposisi. Jasa buzzerpun mereka gunakan untuk mengadu domba rakyat, menggerakkan rakyat untuk memuja atau membenci tokoh dan parpol tertentu. Persatuan bangsa dan keberagaman telah rusak oleh karena perbedaan politik. Masalah makin runyam taktala mereka cuci tangan dengan polarisasi dan perpecahan yang sampai sekarang masih terasa. Ini merupakan pembodohan yang mereka perbuat kepada bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Persaingan untuk memenuhi kepentingan politik antar parpol dan politisi, baik penguasa maupun oposisi, menjadi tontonan politik yang sering menghiasi media. Ada kalanya mereka saling berseberangan dan menyerang. Mungkin pada saat itu, ada ketidakpuasan dengan keuntungan yang didapat dari deal/janji politik. Parpol dan politisi mencari simpati dengan melancarkan serangan kepada lawan politiknya. Saat berperan sebagai oposisi, parpol dan politisi mendadak menjadi idealis. Namun, sikap idealis itu ditanggalkan ketika mereka berkuasa. Kekuasaan telah membutakan hati nurani dan akal sehat. Tetapi, ada kalanya mereka saling mendukung. Bisa jadi karena ada kesepakatan politik yang cukup memuaskan antara parpol dan politisi yang berkuasa dengan parpol dan politisi yang oposisi. Semuanya itu dilakukan sebagai bagian dari gimmik dan akting sinetron politik yang dilakoni oleh aktor politik. Itulah seni dalam berpolitik.
ADVERTISEMENT
Sumber : geotimes.co.id
Memiliki kekuasaan atau setidaknya menjadi bagian kekuasaan sudah menjadi DNA dalam politisi dan parpol. Tidak cukup untuk dirinya sendiri, para politisi berlomba- lomba untuk meneruskan kekuasaannya lewat dinasti politik. Bagi beberapa politisi, parpol sudah seperti perusahaan milik pribadi. Parpol dikelola untuk kepentingan keluarga atau kroninya. Proses kaderisasi dan pemilihan ketua parpol hanya sebatas formalitas belaka. Malah, ada partai yang memiliki ketua umum abadi, tak tergantikan. Kondisi yang membuat parpol tidak sehat dan ini merupakan cerminan bagaimana mereka dalam mengelola negara. Akibat perebutan kekuasaan di parpol, sering terjadi perpecahan dalam tubuh partai hanya untuk mendapatkan kursi nomor satu di partai. Bila kalah dalam perebutan, membentuk parpol baru adalah jalan yang cukup sering dipilih. Jika tidak memungkinkan, yang kalah “hanya” menggugat lewat jalur hukum.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan membangun dinasti politik di parpol akan membantu politisi memuluskan niatnya untuk tetap menikmati kue kekuasaan. Ketika berkuasa, politisi memberikan pengaruh yang besar untuk memudahkan keluarga atau kroninya untuk melanjutkan estafet kekuasaan. Atau, pengaruhnya saat berkuasa memberikan nilai tambah bagi keluarga atau kroninya yang akan bertarung dalam memperebutkan kekuasaan. Hal ini sulit dilarang karena sistem politik yang sekarang, memungkinkan untuk terbentuknya dinasti politik. Akibat praktek dinasti politik yang marak terjadi, semakin menyuburkan perilaku KKN.
Bagaimanapun buruknya kondisi politik yang dilakoni oleh parpol dan politisi saat ini, politik tetap penting dan dibutuhkan. Karena politik adalah jalan yang harus ditempuh bila ingin mengelola negara. Parpol adalah kendaraannya. Hal yang mendesak, penting dan utama adalah perbaikan struktur dan sistem politik itu sendiri. Agenda ini belum sama sekali mengalami perbaikan yang signifikan. Hanya jumlah parpol yang terus bertambah tetapi tidak dengan kualitasnya. Parpol dan para politisi harus mengalami pembaharuan yang revolusioner secara terstruktur dan holistik. Dan itu dimulai dari manusia- manusia Indonesia itu sendiri. Jika tidak demikian, maka benar apa yang dikatakan Karl Marx, bahwa negara adalah milik orang- orang kelas tertentu dan sebagai alat untuk kekuasaan.
ADVERTISEMENT