Mendongkrak Gairah Publik untuk Berfikir Subversif

Ricad Saka
Great mind will bring you to the glorious things
Konten dari Pengguna
15 Desember 2017 22:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ricad Saka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah era reformasi 1998, Indonesia mencoba untuk membangun pondasi demokrasi. Ketika itu, para tokoh reformasi memutuskan untuk lepas dari kondisi nyaman (comfort zone) yang ditebar oleh rezim Soeharto. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa atau setelah meletusnya tragedi pembantaian sipil yang dikenal sebagai G30SPKI.
ADVERTISEMENT
Sejarah politik bangsa Indonesia begitu pelik. Sebagian besar masyarakat telah termakan oleh kebohongan sejarah yang dibuat oleh rezim otoriter.
Namun, fakta sejarah saat ini mulai terang benderang. Pemerintah tak lagi menutupinya. Sekolah-sekolah mulai menerapkan kurikulum yang membenarkan. Tidak ada larangan bagi orang-orang yang ingin membuka catatan kelam bangsa Indonesia.
Tapi, ternyata masih ada oknum yang ingin menutupinya. Adanya buku mata pelajaran sekolah dasar (SD) yang menyebutkan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel sungguh menyesatkan. Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) fenomena itu menunjukan bahwa masih ada sejumlah penyusup di dunia profesionalitas akademisi.
Tentu persoalan buku IPS SD itu menuai protes dan menjadi isu nasionalis. Selain itu, peristiwa persekusi kepada salah satu tokoh ulama nasional di Bali menjadi viral. Memprihatinkan, ulama nasionalis dianggap tidak ber-Pancasilais.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukan, bahwa negara demokrasi memang terus memunculkan isu-isu strategis dan dinamis yang bisa mengancam keutuhan bangsa. Masyarakat ikut terbentuk dan sejajar dengan pola-pola pergerakan yang dibuat oleh segelintir orang tak bertanggungjawab.
Penulis buku Sejarah Pemikiran Reformasi, Alister E McGrath pernah berkata, bangsa yang maju adalah bangsa yang mau menerima perkembangan zaman.
Dalam tulisannya, Alister mengatakan masyarakat reformatif akan selalu mencari celah untuk bisa mencari tahu kebenaran dibalik fakta. Pemikiran subversif akan selalu menjadi awal dari pengungkapan fakta-fakta yang sebenarnya.
Lalu, apakah kebenaran dalam fenomena politik itu dapat dikupas secara positif. Tentu tidak selalu iya, karena kebenaran dalam politik akan dijadikan alat untuk memalsukan kebenaran yang hakiki. Inilah hebatnya manusia dari mahkluk hidup lainnya.
ADVERTISEMENT
Berfikir secara aktif menyikapi fenomena atau kejadian sekelilingnya dengan cara imajinatif. Bangsa millennial kini tak lagi menutup mata atas keanehan-keanehan yang terjadi disetiap tingkatan kelas sosial. Termasuk para petinggi negara yang semakin hari kian memantapkan diri dan mengaku bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar.
Dari sudut pandang ekonomi, paham demokrasi tentu berhimpitan denan investasi. Penanaman modal asing untuk Indonesia bisa sejahtera dan terbangun infrastruktur secara merata itu tidak dapat dibendung lagi.
Isu-isu nasionalisasi aset bangsa pun digaungkan karena dinilai telah menjual sumber daya potensial nargara kepada asing. Paham demokrasi saat ini dianggap sebagai sebagai alat penyedia tiang. Sehingga, sejumlah kalangan menganggap bahwa bendera Merah Putih tak lagi berkibar lantang.
ADVERTISEMENT
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indikator Politik berpendapat, isu terkait turunyabdaya beli masyarakat yang menurun drastis bisa dijadikan bomerang politik kepada penguasa saat ini. Angka inflasi tercatat hampir mencapai empat persen. Pergerakan ekonomi menengah ke bawah melesu.
Biarpun APBN meningkat, tetapi masyarakat tetap tak benar-benar menikmati. 260 juta warga Indonesia, dimana setengahnya adalah angkatan pekerja dan dari setengah itu diisi oleh kaum-kaum miskin.
Jadi, apakah benar pernyataan presiden bahwa negara bisa bersaing ketika infrastruktur memadai. Tetapi, hutang negara tetap membengkak ditambah bunga-bunga yang semerbak.
Apalagi, sepanjang tahun 2017 publik dikagetkan oleh fenomena korupsi yang menjaring para kepala daerah hingga ketua lembaga parlemen Indonesia yakni DPR RI.
Lalu, dimanakah komitmen dan integritas para pemimpin saat ini? Lagi-lagi tergerus oleh materi. Eksekutif tak lagi dapat merevitalisasi secara kuat terkait kerja-kerja bawahannya didaerah.
ADVERTISEMENT
Martabat bangsa jatuh akibat perbuatan kotor para oknum yang berorientasi pada harta dan tahta semata. Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab. Mereka hanya bisa dihukum dan dimasukan ke penjara tanpa diadili oleh masyrakat yang telah dirugikannya.
Tak ada pihak yang berani berkata bahwa itu sebuah kesalahan dalam proses bernegara. Praktisi bangsa hanya bisa memberikan kritik dan saran tanpa penindakan atas solusi yang dihasilkan. Politik praktis membuat petinggi negara dan cendikiawan tak lagi ikut berkontribusi memberikan solusi. Melainkan hanya sekada onani intelektualitas semata.
Apa yang salah dari tanah air ini. Kekayaan alam dari ujung Timur hingga Barat sungguh berlimpa. Tetapi, putra putri pertiwi dianggap tak mampu mengelola itu semua. Lalu dimana pesan-pesan sejarah bangsa untuk bisa mengeksploitasi sumber daya alamnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Masyarakat tidak dijamin kesejahteraan. Hanya segelintir orang yang peduli akan wawasan. Uang dijadikan interpretasi wujud tuhan di bumi. Uang menjadikan pemerintahan berjalan dengan oligarki yang mengatasnamakan demokrasi.
Jati diri bangsa saat ini tergadaikan atas nilai-nilai investasi. Bahwa materi memang dibutuhkan. Tetapi, tanpa wawasan materi hanya akan dipuja sesaat tanpa hasil yang memuliakan.
Paham atas kemajuan zaman tidak hanya dilihat dari perspektif teknologi. Wawasan kebangsaan perlu ditingkatkan untuk bisa meyesuaikan diri dalam peradaban. Wujud kesejahteraan akan tercipta ketika seseorang mau bertanya apakah kebenaran itu adalah fakta.
Lalu, bagaimana dengan istilah bahwa sejarah dibuat oleh pemenang. Kritisi selagi ada celah untuk bisa mengungkap fakta sebenarnya. Perlu ditelaah lebih dalam secara langsung apa yang menguntungkan dan merugikan bukan hanya untuk individu, tapi juga untuk bangsa.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya sepasang kekasih yang sama-sama menaruh curiga atas apa yang dilakukan setelah tidak bersama kembali. Kewaspadaan akan fakta patut diperjuangkan untuk melihat sejauh mana kebenaran itu memihak.
Harus disikapi secara detail atas isu-isu yang dibangun oleh penguasa. Karena isu dibangun atas pesanan. Isu dibentuk untuk menjatuhkan atau memperkokoh kedudukan. Jangan lagi mudah termakan oleh berita ringan tapi memanaskan.
Tak sedikit individu yang menjadi korban atas pemberitaan yang dibenarkan padahal itu bukan fakta. Dari era revolusi, hingga reformasi media dijadikan partisi bagi para penguasa untuk memaksa publik membenarkan kebenaran yang bukan fakta.
Mulai dari tokoh nasional, aktivis, dan masyarakat bawah kerap menjadi korban atas kokohnya demokrasi yang samar kedaulatannya. Ajang pemilu hanya tertuju bagi mereka yang memiliki modal besar.
ADVERTISEMENT
Maka, seluruh Informasi perlu di konfirmasi dengan pemikiran kognitif. Gunakan sarana media sosial sebagai perbincangan positif. Karena, sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna untuk manusia lainnya.
Jadi, seburuk-buruknya manusia adalah yang menebarkan keburukan kepada manusia lainnya. Pahami dengan seksama atas fenomena atas isu yang menguat ditengah publik.
Karena, kebenaran dalam fakta pasti samar bentuknya. Seperti halnya melukis awan ditengah gelapnya malam.