Pidana Anak Pelaku Perundungan

Petrus Richard Sianturi
Menulis seputar hukum, literasi dan perlindungan lingkungan hidup.
Konten dari Pengguna
21 Februari 2020 1:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak jadi korban bully. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak jadi korban bully. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan dengan korban anak terjadi lagi. Baru-baru ini, di Purworejo tiga anak membully temannya hingga trauma. Di Malang, seorang anak laki-laki sampai harus dirawat karena kelakuan bullying teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Pernah kita dihebohkan dengan kasus Audrey di Pontianak, seorang siswi SMP, setelah dikelabuhi, dikeroyok oleh 3 orang siswi SMA sambil ditonton oleh 9 anak lainnya. Kekerasan itu, seperti diketahui bersama, dilakukan dengan cukup kejam: korban dipukuli, kepalanya dibenturkan ke aspal dan alat kelaminnya dicoba dilukai.
Yang jelas kasus ini adalah kasus pidana murni dan mengingat, seringkali korban dan pelaku secara umur masih tergolong belum dewasa, maka saya ingin membahas kasus-kasus semacam itu dalam kerangka sistem peradilan pidana anak dan mengapa penyelesaian secara pidana menjadi pilihan yang masuk akal.
Meskipun pelaku masih tergolong anak, tetapi fakta masing-masing kasus memperlihatkan bahwa mereka telah sadar untuk melakukan perundungan. Dalam fakta yang terungkap kasus Audrey tahun lalu misalnya bahwa 12 pelaku memang sudah berniat untuk melakukan tindakan kasar mereka. Mereka menjemput dan kemudian penganiayaan terjadi (bahkan di dua tempat!). Dalam hukum pidana, harus ada minimal dua alat bukti untuk menilai dan melanjutkan sebuah kasus.
ADVERTISEMENT
Karena kasus ini murni pidana, artinya tidak menutup kemungkinan bahwa kepada para pelaku dapat dilakukan penangkapan dan penahanan. Meskipun para pelaku masih dibawah umur, UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memungkinkan hal itu terjadi (meski sebagai ultimum remedium, upaya paling terakhir). Yang jelas, pertanggungjawaban pidana anak tidak mengharamkan penangkapan dan penahanan bagi pelaku anak.
Memang perlu ditekankan bahwa semangat dalam UU SPPA adalah memperbaiki keadaan dengan melibatkan semua pihak baik yang secara langsung terkait dengan kasus maupun yang tidak langsung. Penyelesaian kasus yang melibatkan anak dalam regulasi ini menekankan konsep restorative justice, keadilan restoratif: bukan untuk balas dendam. Itulah mengapa dalam sistem peradilan pidana anak dikenal dengan diversi, bahwa dalam kasus-kasus tertentu harus dikedepankan penyelesaian di luar meja pengadilan.
ADVERTISEMENT
Konsep "keadilan restoratif" sering menimbulkan perdebatan, karena membawa kasus-kasus pidana anak banyak yang "selesai" tanpa kejelasan apalagi kepastian hukum dengan dalih "penyelesaian di luar meja pengadilan" alias berdamai. Dan perdebatan ini penting untuk dimasukan dalam kerangka mengawal kasus-kasus perundungan. Mengingat atensi publik sangat besar, sebagian mengatakan bahwa para pelaku harus segera ditahan sebab begitulah hukum pidana bisa kelihatan gunanya.
Sementara yang lain berpendapat, karena alasan di bawah umur, para pelaku tidak bisa serta-merta diperlakukan seperti penjahat dewasa selain karena secara psikologis, mereka juga akan terganggu. Kedua pendapat ini punya bobot yang sama besar, tetapi yang jelas solusi untuk "diselesaikan secara damai" sama sekali bukan pilihan.
Perdebatan di atas muncul karena bersinggungan dengan hak pelaku, hak mereka sebagai seorang anak. Maka pertanyaannya adalah bagaimana melihat sebuah penegakkan hukum pidana dijalankan dengan konsisten tanpa melanggar hak anak?
ADVERTISEMENT
Untuk sampai sana, yang tidak diragukan adalah bahwa para pelaku memang punya niat untuk melakukan pidana (penganiayaan). Jika para pelaku ini lepas, yang otomatis terlanggar adalah hak korban atas keadilan. Karena hukum selalu terkait dengan hak dan kewajiban, maka sekali lagi, penyelesaian kasus pidana dengan cara damai hanya akan menginjak hak salah satu pihak dalam hal ini korban.
Argumentasi ini terasa keras, tetapi dalam kasus di Purworejo dan Malang, termasuk semua kasus pidana anak khususnya anak sebagai pelaku, penghukuman memang harus dilakukan dengan semangat membenahi, memperbaiki, membimbing para pelaku ini untuk sadar akan tindakannya sekaligus segala konsekuensi yang ditimbulkannya. Di sinilah, keadilan restoratif dalam sistem peradilan anak di Indonesia harus dimaknai.
ADVERTISEMENT
Paradigma menghukum anak yang melakukan pidana tidak bisa dipandang melulu soal balas dendam. Saya mengajukan beberapa diskursus. Pertama, pidana adalah tetap pidana, itu berarti setiap delik biasa akan tetap diselesaikan sekalipun korban telah memaafkan. Pertanggungjawaban pidana tetap melekat pada pelaku (siapa saja) dan karenanya, jika hukum mau ditempatkan sebagai alat kontrol sosial di masyarakat, pelaku perundungan harus "dihukum" secara proporsional (berdasarkan regulasi, bukan cemooh, ejekan atau hinaan)!
Kedua, yang sangat perlu ditekankan adalah semangat penghukuman tidak boleh untuk balas dendam tetapi untuk "memperbaiki" mereka agar harapannya mereka dapat menjadi lebih baik. Maka penegak hukum harus memastikan bahwa penjatuhan hukum tidak berlebihan dan melanggar hak-hak dasar mereka seperti pendampingan secara psikologi, fasilitas pendidikan meski terbatas, kesehatan dan lingkungan yang sehat dan tidak menekan. UU SPPA mengakomodir adanya penghukuman berupa pelatihan dalam waktu tertentu di instansi pemerintah atau LPKS dan ini juga bisa dijadikan alternatif.
ADVERTISEMENT
Ketiga, masyarakat harus melihat kasus-kasus perundungan secara lebih jernih. Pemulihan hak dan kondisi baik psikis maupun fisik korban memang harus serius. Korban perlu dibela atas apa yang telah menimpanya. Para pelaku, yang masih anak-anak, tetap harus ditempatkan sebagai anak-anak dan itu artinya memastikan mereka menyadari setiap tindakan yang telah dilakukan (yang adalah kejahatan) bukan serta merta meminta mereka dilepaskan begitu saja.
Membiarkan anak-anak yang telah melakukan kejahatan tanpa membuat mereka sadar atas apa yang telah dibuat hanya akan membuat mereka melihat tindakan itu lumrah saja. Ini akan menjadi contoh paling buruk bagi anak-anak lain, yang dalam dunia digital saat ini, sangat mudah mengakses informasi-informasi. Saya tidak berharap ada celoteh seorang anak: mereka keroyok temannya tidak dihukum kok, besok saya juga mau.
ADVERTISEMENT
Kasus Audrey, kasus di Malang dan Purworejo adalah sekian kasus yang penyelesaiannya bisa menunjukkan apakah hukum dapat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial di masyarakat atau tidak. Dan satu lagi, menghukum para pelaku kriminal, khususnya mereka yang masih anak-anak, bukan bermaksud untuk menghancurkan masa depannya, tapi justru untuk menyelamatkannya. Jika penghukumannya berjalan benar maka kemudian mereka akan sadar dan tidak akan mengulangi tindakannya di kemudian hari.
Semoga para korban perundungan segera pulih.
Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana, FH UGM.