kebaikan lebih penting daripada kecerdasan

Ricky Suwarno
CEO dan Pendiri Karoomba Asia. Anggota Asosiasi untuk Kecerdasan Buatan China (CAAI)
Konten dari Pengguna
31 Maret 2019 20:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ricky Suwarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Ricky Suwarno
31 maret 2019
kognitif atau cara pandang menentukan nasib seseorang, sehingga bagaimana cara mengoptimalkan kognitif kita sangatlah penting
ADVERTISEMENT
Pada saat masih kecil, nenek Jeff Bezos pernah berkata, kebaikan lebih penting daripada kepintaran. It’s harder to be kind than clever. Perkataan itu teringat sangat dalam. Jeff Bezos, pendiri Amazon, dan orang terkaya di jagad raya, menekankan dalam menghadapi ketidakpastian, kecerdasan tidak cukup untuk membuat keputusan. Atau pilihan yang tepat. Tetapi justru, jenis sifat yang tampaknya tidak ada hubungannya dengan kognisi, dapat membantu kita membuat keputusan yang tepat.
Mungkin banyak yang berpikir ini hanya semacam khotbah moralnya Bezos. Kebaikan dan kecerdasan adalah dua hal yang tidak relevan. Bila seseorang kurang cerdas, tampaknya kebaikan tidak dapat membantu apa-apa. Terutama dalam dunia bisnis.
Namun, dilain pihak mereka secara intrinsik terhubung. Artinya, kebaikan adalah suatu sikap. dan kenyataan adalah bentuk khusus dari kognisi.
ADVERTISEMENT
Kepintaran sering jatuh ke dalam pandangan visi. Maksud Bezos, Ketika kita melakukan sesuatu yang baik untuk perusahaan dengan kepintaran kita, kita sudah jatuh ke dalam tatapan atau keserakahan.
Dalam dunia bisnis, Terkadang hal yang baik bagi perusahaan,sering kali tidak menguntungkan pelanggan. Jika Anda mengabaikan pelanggan, Anda mungkin terlihat pintar. Tetapi kenyataanya, suatu kebodohan.
Bezos tetap bersikeras pada aturan, tepatnya ketika perusahaan membuka rapat dewan direksi. Dimana posisi dewan direksi dikosongkan. Karena posisi itu adalah pelanggan. Dan ketika membuat keputusan, dia harus melihat apa yang dipikirkan 'dewan direksi' yang tidak dalam posisi tersebut." Singkatnya, "customer-centric"
Filsafat Immanuel Kant menilai "moralitas" dari dua kriteria. Pertama, apakah hal itu universal. Kedua, apakah hal itu berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Seperti contohnya, meminjam uang apakah suatu hal universal. Pada saat Anda tidak membayar uang yang saya pinjamkan, saya mungkin bisa menerima kenyataannya. Tetapi kalau orang lain yang tidak mengembalikan uang pinjaman ke saya, saya mungkin tidak bisa menerima. Ini berarti logika tersebut tidak universal. Atau saya tidak mengembalikan uang yang saya pinjam, apakah bisa berkelanjutan? Jelas, itu tidak mungkin terjadi lagi di waktu berikutnya.
Atau misalnya lagi, Seorang anak lelaki melihat bayi kura-kura yang baru lahir di pantai. Merangkak dengan susah payah. Dan ingin menuju ke laut. Demi kebaikan, Bocah kecil mengambil kura-kura itu. Dan melemparkannya ke laut. Membantu kura-kura sesuai tujuannya. Tetapi selanjutnya, mungkin mengubah persepsi kita.
Sebenarnya, Ada ratusan kura-kura kecil lagi menunggu di pantai juga. Di dalam dunia mereka, musuh alami mereka adalah burung laut. Yang akan datang memakannya setiap saat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sebelum kura-kura lainnya menuju kelaut laut dalam skala besar, mereka akan mengutus beberapa kura-kura dulu. Jika mereka bisa tiba dengan aman, mereka akan mengirimkan sinyal. Sehingga kura-kura lain bisa segera menuju kelaut. Atau sebaliknya, jika mereka tidak menerima sinyal ini, berarti beberapa kura-kura didepan telah dikorbankan. Sehingga mereka akan menangguhkan perjalanan kali ini.
Jadi, Bocah kecil itu secara tidak sengaja telah melakukan kejahatan. Dengan mengirimkan sinyal yang salah. Bahwa kura-kura telah aman menuju kelaut. Sehingga ratusan kura-kura kecil dibelakangnya akan segera beraksi. Dimana, akhirnya tercegat dan dimakan oleh gerombolan burung laut yang telah menunggu didepannya.
Motif bocah kecil itu adalah berbuat baik. Tetapi di sisi lain, ia telah membuat kejahatan besar. Kejahatan besar yang disebabkan oleh kebaikannya. Mengapa ?
ADVERTISEMENT
Masalah kebaikan, atau kejahatan tampaknya menjadi masalah moral. Tetapi, sebenarnya adalah masalah kognitif. Kuncinya, terletak pada kognisi sebagian. Atau kognisi keseluruhan.
"Kognisi sebagian" dapat mengarah pada kejahatan. Dan kebaikan sejati didasarkan pada persepsi atau kognisi keseluruhan.
Tetapi, Jika ada kekaguman dalam ketidakpastian di balik kepastian, maka itu kemungkinan besar adalah suatu kejahatan.
Just like grandma says, Tindakan kita sering diprakarsai dengan informasi yang tidak lengkap. Selain kognisi yang mengarahkan kita untuk bertindak, kebaikan atau moralitas juga memprakarsai keputusan kita. Kebaikan sebagian, cenderung menjadi kejahatan keseluruhan. Dan kejahatan parsial, kemungkinan adalah kebaikan secara keseluruhan. Di balik semua masalah moral adalah masalah kognitif. Jadi Untuk menjadi orang yang beretika baik, intinya adalah mengoptimalkan kognisi kita sendiri. Dan optimasi ini harus selalu waspada untuk tidak jatuh ke dalam sebagian kognisi.
ADVERTISEMENT
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang perkembangan teknologi terkini, bisa menelusuri: https://artificialintelligenceindonesia.com/