Mengapa Industri 4.0 Tidak Cocok untuk Indonesia?

Ricky Suwarno
CEO dan Pendiri Karoomba Asia. Anggota Asosiasi untuk Kecerdasan Buatan China (CAAI)
Konten dari Pengguna
12 Juni 2019 18:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ricky Suwarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Ricky Suwarno
12 Juni 2019
Dalam beberapa tahun terakhir ini, konsep “Industri 4.0” yang ditawarkan Jerman menjadi sangat populer di dunia. Banyak pengusaha atau investor China mengatakan bahwa mereka juga harus mengembangkan industri 4.0.
Kita harus mengetahui keunggulan dan kelemahan kita sendiri, bukannya langsung mengadopsi teknologi industri 4.0
Namun, Dennis Wang, pendiri Haiyin Capital, pernah memperingatkan; jangan mudah mabuk dengan “industri 4.0”.
ADVERTISEMENT
“Industri 4.0” adalah konsep yang dikemukakan oleh Pemerintah Jerman yang menganjurkan peningkatan tingkat produksi dengan cara yang lebih sistematis dan terintegrasi. Industri jerman, yang dicirikan dengan kualitas yang tinggi dan terintegrasi, dapat meningkatkan kualitas industri Jerman.
China kurang cocok untuk penerapan industri 4.0, demikian juga Indonesia. Keunggulan manufaktur China tidak sama dengan Jerman. Kedua, karena tren di masa depan adalah inovasi teknologi dan peningkatan cara manufaktur Jerman juga harus diterapkan melalui inovasi teknologi.
Kita semua tahu bahwa industri Jerman adalah salah satu yang terkuat di dunia. Produksi mereka adalah lambang “kualitas”. Namun masalahnya, Jerman hanya memanufaktur produk untuk merek negara mereka sendiri. Tidak ada OEM (original equipment manufacturer atau produsen peralatan asli).
ADVERTISEMENT
Sebagai pabrik dunia, banyak perusahaan negara maju telah memilih pabrik China untuk menggantikan pabrik di negara mereka sendiri. Contohnya, iPhone yang kita kenal hari ini semua dibuat oleh Foxconn. Sampai beberapa tahun yang lalu, “Leica”, merek kamera kelas paling atas, juga mulai bekerja sama dengan pabrik di China.
Banyak orang mengira karena upah buruh yang murah. Orang yang mengatakan demikian mungkin karena tingkat pengetahuan yang dangkal, sehingga tidak bisa melihat inti dasar suatu masalah.
Menurut pengamatan saya puluhan tahun, keuntungan utama dari barang buatan China bukan karena murah. Melainkan sangat fleksibel.
Misalnya, dulu mantan Presiden AS, Barrack Obama, pernah meminta pendiri Apple, almarhum Steve Jobs, untuk memindahkan pabrik iPhone kembali ke AS.
ADVERTISEMENT
Steve Jobs langsung berkata, “Tentu saja boleh”. Akan tetapi, ia mengajukan persyaratan, yakni jika iPhone perlu membuat perubahan desain atau apa pun, tidak peduli jam berapa pun, maka perubahan ini harus bisa langsung mencapai ke pekerja pabrik. Dalam dua jam, perubahan baru ini juga harus bisa langsung di manufaktur menjadi produk terbaru dan bisa dikirim dalam 24 jam.
Jika pekerja pabrik AS bisa melakukan hal yang sama, Steve Jobs akan langsung memindahkan pabrik iphone kembali ke AS. Ketika mendengar jawaban tersebut, Obama tidak pernah bertanya lagi.
Perusahaan besar seperti Apple maupun perusahaan besar lainnya pasti memiliki sistem “Enterprise Resource Planning” atau ERP, alias Program Sumber Daya Perusahaan. Keuntungannya, menghemat sumber daya. Sebaliknya, kelemahannya sangat tidak fleksibel.
ADVERTISEMENT
Jika ada perubahan untuk suatu program yang telah disetujui sebelumnya, kita harus menghubungi berbagai departemen yang berbeda terlebih dahulu, menjelaskan situasi dan mengevaluasi kembali. Hanya untuk mencapai persetujuan saja memerlukan waktu paling tidak 10 hari sampai setengah bulan. Buatan Jerman (Made in German) sama seperti sistem ERP.
Perusahaan China maupun perusahaan Indonesia lebih menjurus ke perusahaan modern yang dikelola secara horizontal. Jadi, kita tidak boleh belajar dari cara Jerman.
Contoh lainnya lagi, mesin pemotong kayu Jerman yang jauh lebih mahal daripada yang lain, tetapi tingkat kerusakannya sangat rendah. Jadi, masih banyak orang yang bersedia membeli walaupun mahal sekali.
Masalahnya, pemotongan kayu dilakukan di dalam hutan pedalaman. Kalau mesin pemotong kayunya mudah rusak, perlu diangkut keluar kota untuk perbaikan. Jika sudah, kemudian diangkut kembali ke dalam hutan. Ini sangat membuang waktu. Lebih baik, membeli mesin pemotong kayu Jerman yang mahal daripada membuang waktu.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, bagi China maupun Indonesia, kita bisa menggunakan pesawat tak berawak atau drones besar yang bisa mengangkut mesin pemotong kayu ini untuk diperbaiki. Kemudian, diterbangkan kembali ke hutan pada hari yang sama.
Jadi, tantangan sebenarnya yang dihadapi China maupun Indonesia bukanlah industri Jerman 4.0. Sebab, jika mempelajari cara mereka, maka tidak akan menyelesaikan masalah.
Tantangan yang dihadapi manufaktur China maupun Indonesia adalah peningkatan sains dan teknologi. Jadi, yang harus kita pelajari adalah teknologi inti AI dari AS. Dan, teknologi AI aplikasi robot dari China.
Kemungkinan yang bisa menyebabkan pekerja buruh Indonesia kehilangan pekerjaan, bukanlah robot yang sangat canggih dari Jerman. Melainkan sebuah perusahaan AS yang telah mengembangkan robot untuk memiliki fleksibilitas yang kuat dan mampu belajar dan melatih sendiri. Namanya “Alpha Go”, milik Deep Mind, yang diakuisisi Google pada tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Just like grandma says, jalan keluar untuk meningkatkan daya manufaktur Indonesia adalah menggunakan robot sebagai peralatan garis produksi. Meminta Pakar yang berpengalaman melatih robot-robot ini. Sebab, seberapa rumit barang elektronik apapun, pasti akan bisa di produksinya.
Dengan demikian, Indonesia sangat berpeluang menjadi pusat manufaktur baru yang jauh lebih terbuka dan fleksibel di dunia. Untuk belajar produktivitas dunia paling modern, terlebih dahulu kita harus mengerti keunggulan dan kelemahan kita sendiri. Dan kemudian, memilih objek belajar yang tepat, sehingga keberhasilan kita bisa jauh lebih cepat dan lebih besar.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang perkembangan teknologi terkini, bisa menelusuri: https://artificialintelligenceindonesia.com/