Perempuan Indonesia dan Jarak Sosial

Konten dari Pengguna
2 Juli 2019 14:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ridahestiratnasari Ridwan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
dalam Perjuangan Komnas Perempuan (KP)
Rida Hesti Ratnasari
Doktor, Ilmu Kesejahteraan Sosial
ADVERTISEMENT
Mencermati undangan Seleksi Anggota KOMNAS Perempuan (KP) tahun 2020-2024 yang dibuka hingga 30 Juli 2019, tercantum sejumlah kriteria, termasuk "tidak melakukan poligami" dan "menghormati keberagaman orientasi seksual". Tulisan ini ingin turut serta bersama sejumlah tulisan lain, menjadi pengingat agar KP lebih sensitif terhadap pengalaman, perasaan dan perspektif perempuan yang diperjuangkan. Khususnya terkait kriteria “tidak melakukan poligami”.
Poligami bagi perempuan Indonesia bukan hal asing. Sebagian perempuan Indonesia mengalaminya, memilihnya atau dipilih untuk menjalaninya, kemudian tulus dalam memupuk kasih sayang seraya berjuang agar fungsi-fungsi keluarga tetap kokoh ditegakkan. Perempuan yang pejuang, meletakkan kepentingan terbaik anak dan generasi mendatang agar menikmati proses tumbuh kembang dalam suasana kondusif sebuah institusi keluarga. Seorang ibu, sekolahan pertama dan utama bagi mereka, dengan bahagia memberikan rasa aman nyaman bagi putra-putrinya, bukan melarutkan mereka dengan ratap tangisan.
ADVERTISEMENT
Kekuatan ini lahir, tumbuh dan kokoh dalam jiwa para ibu penjaga dan pendidik generasi. Pikiran negatif yang dihembuskan dari segala arah tak harus menggerus ketegaran dalam pengasuhan terbaik, demi masa depan putra-putrinya, masa depan generasi yang akan datang, masa depan calon pemegang estafet penyelenggaraan negeri ini. Perhatian dan perjuangan besar mendidik generasi tak harus dikerdilkan dengan stigma negatif terhadap keluarga poligami.
Bukankah, KP memiliki tujuan antara lain mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan? Stigma negatif terhadap keluarga poligami sesungguhnya, tanpa disadari, telah mengkonstruksi kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam keluarga poligami. Anak-anak dalam keluarga poligami sering mengalami cemoohan lingkungan. Ejekan terhadap ayah dan ibunya tak memandang secara arif terhadap perasaan anak-anak tak bersalah yang lahir dari keluarga poligami ini. Konsep diri, self esteem dan kepercayaan diri mereka terkerangkeng oleh stigma lingkungan seperti “ayah tukang kawin”, “ibu yang bodoh mau jadi korban poligami”, atau hinaan lainnya. Tanpa disadari, gangguan terhadap ketahanan keluarga beserta fungsinya menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan dan anak-anak dalam keluarga poligami. Haruskah KP turut menguatkan dan mengarusutamakan stigma negatif ini?
ADVERTISEMENT
Tantangan berat semakin melelahkan bagi perempuan dalam keluarga poligami, dengan stigma negatif yang mensejajarkan poligami dengan korupsi, pelaku kekerasan dan kejahatan lingkungan (kriteria nomor 2 pada undangan seleksi terbuka). Penyetaraan ini seakan memberi label poligami sebagai tindak pidana, setingkat dengan tindak pidana korupsi. Poligami memang pernah dilarang bagi ASN dengan Peraturan Pemerintah yang terbit pada era orde baru. Namun sudah direvisi aturan tersebut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Sehingga kini ASN telah dapat memiliki istri lebih dari satu, dengan ketentuan tertentu. Ini memastikan bahwa poligami di negeri ini bukanlah terkategori kejahatan pidana.
Jarak sosial dibentangkan oleh KP telah merentang jarak antara KP dengan perempuan Indonesia, bukan hanya akan menjauhkan KP dari perempuan Indonesia, namun juga akan membuatnya terasa asing dan justru berhadapan dengan perempuan yang seharusnya diperjuangkan. Pada saat yang sama, mengapa pelaku perzinahan, baik menurut definisi KUHP maupun dalam pemahaman awam, tidak dijadikan kriteria? Apakah pilihan kebebasan menjadi penentunya? Bagaimana jika perempuan yang juga seorang ibu memilih menjalani dengan bahagia, kehidupan poligaminya? Jarak sosial makin lebar dengan kriteria komisioner KP yang ternyata sejalan dengan draft RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Ditambah lagi dengan kriteria "menghormati keberagaman orientasi seksual" Penghormatan ini benarkah merupakan nilai-nilai milik perempuan Indonesia sebagai bangsa beragama? Bukankah ini menunjukkan semakin nyata bahwa KP sejatinya merentang jarak sosial antara perjuangannya dengan perempuan yang diperjuangkan.
ADVERTISEMENT
Alangkah baiknya KP berupaya mengokohkan perempuan Indonesia, meningkatkan kapasitasnya dalam mendidik generasi, pengasuhan terarah, pembentukan karakter problem solver. Baik perempuan lajang, perempuan bersuami maupun perempuan dalam keluarga poligami. Menjunjung kepentingan terbaik anak adalah kunci sukses pembentukan generasi emas Indonesia dengan bonus demografinya. Semangat KP hendaknya memberikan suasana kondusif bagi perempuan, anak dan keluarga Indonesia untuk kokoh berperan sebagai pilar kemajuan bangsa.