Bumbu Mistis Pelaris Dagangan

Susahnya Jadi Wartawan Kuliner

Ridho
First and foremost, I am just a writer. Plain and simple, like Dennis Bergkamp dribbling a ball.
18 Oktober 2019 16:21 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi wartawan. Foto: Mustafa Husnii/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wartawan. Foto: Mustafa Husnii/Pexels
Politik, hukum, dan kriminal. Itulah tiga hal yang terbayang oleh saya kala diterima magang di Tim Liputan Khusus kumparan. Pikir saya, pastilah saya bakal mendapat tugas untuk mendalami isu-isu berat yang membuat kening berlipat-lipat.
Namun setelah lebih dari tiga bulan magang, saya tahu bahwa Lipsus kumparan tak melulu mengangkat isu berat alias hard news. Memang sih mereka selalu membahas tema “gawat” pada hari Senin, tapi semua jadi lebih asyik di hari Jumat.
Jumat semacam waktu untuk mendinginkan kepala dan menyambut akhir pekan bahagia—setidaknya buat sebagian orang. Maka tema soal gaya hidup, urban, milenial, dan segala hal kekinian, hampir selalu jadi pilihan.
Kali ini, misalnya, mereka mengambil topik MRT Food Guide alias makanan di sekitar stasiun-stasiun MRT. Dan saya diminta ikut membantu makan.
Kuliner Jakarta. Foto: Dok. Shutterstock
Saya sebetulnya agak kaget ketika diberi tahu untuk ikut turun ke lapangan. Soalnya yaa... saya nggak ngerti apa-apa. Buat saya, semua makanan itu sama saja. Pokoknya, kalau lapar ya makan. Habis perkara. Soal rasa dan estetika, tak pernah saya pedulikan.
Tapi namanya juga anak magang, saya kan tak bisa pilih-pilih topik. Terlebih, kalau dipikir-pikir, tema makan-makan itu sebetulnya “boleh juga”.
Begini, sebelumnya saya telah membantu meliput isu kebakaran hutan, penggembosan KPK, sampai RUU ngawur yang bikin saya pengin gabung anak STM buat “lempar jumroh.” Singkatnya, sebagian besar tema itu penuh huru-hara. Nah, jadi tugas makan-makan sambil naik MRT terdengar cukup asyik.
Tapi tunggu dulu... saya tak lantas langsung berangkat naik MRT lanjut makan enak. Oh, tidak semudah itu, kawan. Sebab, saya dan kakak-kakak di Lipsus harus riset lebih dulu. Ya, riset. Itu semacam aturan di sini. Riset, riset, riset. Bahkan hanya untuk urusan makan.
Jadi, saya dan kakak-kakak yang kebagian Lipsus Jumat wajib mencari tahu dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya tentang tempat makan mana saja yang akan kami datangi.
Memilihnya tak boleh asal hitung kancing. Kami harus punya alasan kuat untuk ke sana. Semisal, dalam hal liputan MRT Food Guide ini, adalah berdasarkan kedekatan jarak restoran/kedai/warung/kafe ke stasiun MRT; berdasarkan rating resto itu di Google reviews dan berbagai aplikasi makanan; serta berdasarkan popularitasnya di jagat maya.
Hemm... lumayan rumit ternyata. Ini sih makan tak sekadar makan.
Iga bakar di kedai Lilie Singkawang di sekitar Stasiun MRT Bundaran HI. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Setidaknya, pengetahuan saya soal khazanah makanan Indonesia jadi bertambah. Misalnya begini, semua tahu masakan Indonesia tak terkira banyaknya. Tapi coba sebutkan kuliner khas nusantara apa saja yang terlintas di kepala? Kalau saya sih paling-paling rendang lagi, sate lagi, masakan padang lagi, rawon lagi...
Padahal masih banyak makanan lain yang punya rasa dan cerita tak kalah menarik. Dari satu hidangan saja, kita bisa belajar banyak soal perjalanan sejarah suatu bangsa.
Dari mi bangka, saya jadi tahu bahwa migrasi penduduk Tiongkok sekian abad lalu telah mengubah peta kuliner di Indonesia secara signifikan. Varian soto di Indonesia tak terkecuali. Semua itu berasal dari daerah-daerah yang bersinggungan dengan pengaruh Tiongkok lewat perdagangan.
Soto Bangkong Semarang. Foto: Kartika Pamujiningtyas/kumparan
Dari roti canai, saya juga jadi tahu bahwa nun di Sumatera Utara sana terdapat kampung India yang leluhur penghuninya dibawa oleh Belanda ke Indonesia pada zaman penjajahan untuk dijadikan pekerja kasar dalam membangun perkebunan di Medan.
Mereka datang ke Indonesia membawa budaya makan roti dari India selatan. Kultur itu lantas bercampur dengan tradisi Indonesia menjadi roti canai.
Roti canai. Foto: Azalia Amadea/Kumparan
Sayangnya, kemajuan saya belajar sejarah makanan berbanding terbalik dengan hasrat saya untuk berkuliner. Musababnya, lidah saya tak dapat dipercaya soal mengecap rasa. Buat saya, semua masakan terasa enak-enak saja. Nah, loh!
Rasa adalah segala. Desainer: Argy Pradipta/ kumparan
Kembali ke tugas liputan kuliner saya. Selama seminggu, bersama tiga orang kakak di Tim Lipsus kumparan, kami berpencar dalam dua tim untuk mencoba beberapa kedai makanan. Saya antara lain kebagian menyambangi Bakmi Jhon, Kedai Lilie Singkawang, Sunyi House Coffee and Hope, dan Warung Boma.
Saya yang sejatinya tak begitu tertarik dengan konsep pelesiran sambil icip-icip makanan—yang katanya enak—akhirnya bermetamorfosis jadi jurnalis kuliner dadakan.
Berikut review singkat saya ala-ala wartawan Food:
Bakmi Jhon
Bakmi Jhon. Foto: Ridho Rakhmatullah
Dari luar kedai, suara rebusan mi sudah terdengar. Asap terlihat mengepul saat mi dituangkan ke delapan mangkuk yang tersusun di atas meja.
Kedai Bakmi Jhon sudah berdiri sejak 1995. Ukuran kedai boleh kecil, tapi reputasinya cukup mentereng. Ia dikenal sebagai pelopor mi ayam jamur di Jakarta.
Tak heran kedai itu selalu ramai oleh pengunjung. Saat saya tiba, misal, kedai penuh sesak oleh pekerja yang hendak sarapan sebelum melanjutkan perjalanan ke kantor masing-masing. Mau-tak mau saya harus antre untuk menyantap semangkok bakmi.
Posisi Bakmi Jhon pun strategis. Ia berlokasi 300 meter dari Stasiun MRT Blok M. Tinggal jalan kaki lima menit dari stasiun, sudah bisa menikmati bakmi legendaris. Not bad-lah ya.
Bakmi Jhon. Foto: Ratmia Dewi/kumparan
“Mau pesen bakmi ayam bakso, pangsit, apa komplet, Bang?” tanya seorang pramusaji menghampiri saya yang mungkin terlihat kebingungan di antara keramaian pengunjung. Saya pun memesan bakmi komplet dan segelas es teh tawar.
Harga bakmi ini, buat saya, lumayan mahal. Bakmi ukuran biasa sekitar Rp 20.000 tergantung kelengkapan isinya, sedangkan ukuran jumbo berkisar Rp 30.000. Tapi kalau mengingat sejarah panjang dan reputasi Bakmi Jhon, rasa-rasanya harga tersebut memang masuk akal.
Tapi bukan harga yang jadi masalah, melainkan lidah saya seperti yang saya khawatirkan di awal liputan. Soalnya, lidah saya tetap saja tak mampu membedakan rasa legendaris Bakmi John dengan bakmi-bakmi lain yang pernah saya makan. Celaka betul, kan?!
Kedai Lilie Singkawang
Bu Lilie di depan kedainya yang populer di kalangan karyawan mal sekitaran Bundaran HI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Kedai Lilie Singkawang berjarak 600 meter dari Stasiun MRT Bundaran HI atau sekitar 9 menit jalan kaki. Siang ketika saya singgah, restoran yang berawal dari gerobakan itu penuh sesak oleh pekerja yang tengah makan siang.
Kedai ini memang terkenal di kalangan karyawan mal di sekitaran Bundaran HI. Saking populernya, Ibu Lilie sempat ditawari untuk membuka kedai di dalam mal Grand Indonesia. Namun ia menolak.
“Kalau masuk ke mal, karyawan (yang kerja di sana) kasihan. Mereka gimana kalau mau makan (di sini)? Harganya pasti jadi mahal,” kata Bu Lilie.
Sop iga di Kedai Lilie Singkawang. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Di Kedai Lilie, saya memesan iga bakar dan sop iga yang jadi ciri khas tempat makan ini. Saya lalu bertanya soal bumbu yang dipakai Bu Lilie untuk meracik menu andalannya itu. Tapi Bu Lilie tak mau buka rahasia.
Ia cuma bilang, bumbu yang ia pakai sebetulnya ada di pasar mana saja. Kalaupun ada cita rasa khas yang tak bisa ditiru kedai lain, ujar Bu Lilie, itu karena ia memasak dengan hati. So sweet...
“Beda tangan, rasa pun beda. Kuncinya di hati,” kata Bu Lilie, begitu filosofis.
Sunyi House Coffee and Hope
Suasana Sunyi Cafe. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Jalan-jalan tak lengkap rasanya kalau nggak nongkrong-nongkrong cantik sembari ngopi khas anak muda Jakarta. Nah, soal ini, Sunyi House Coffee and Hope jadi pilihan. Ia memiliki keunikan di tengah kedai kopi yang menjamur.
Untuk ke Sunyi, tinggal jalan kaki 13 menit dari Stasiun MRT Cipete Raya. Dari depan, kedai itu terlihat biasa saja. Tapi ketika masuk ke dalam, suasana istimewa jelas kentara. Sunyi House mempekerjakan teman-teman difabel.
“Selama ini kan mungkin susah bagi mereka untuk komunikasi atau mencari pekerjaan. Jadi gue seneng ada kafe ini,” kata Saskya, salah satu pengunjung yang sedang berkumpul dengan teman-temannya di sana.
Pelayan di Sunyi Cafe menyapa pengunjung dengan bahasa isyarat. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Awalnya saya canggung ketika pertama kali bertanya tentang minuman apa yang paling spesial di Sunyi House, soalnya saya kurang paham bahasa isyarat. Tapi akhirnya saya bisa paham berkat penjelasan di buku menu, juga dari teman-teman difabel di meja kasir.
Kecanggungan serupa dialami Adam, pelanggan yang sudah sering mampir ke Sunyi House. “Awal-awal gue mesen, gue kagok. Tapi makin sering ke sini, gue makin kenal sama baristanya dan jadi belajar (bahasa isyarat) juga.”
Barista Sunyi House. Foto: Azalia Amadea/Kumparan
Saya menghabiskan sore dengan menenggak Lemon Zist Coldbrew, salah satu minuman andalan Sunyi yang mencampurkan cold brew coffee dengan lemon, membuat kerongkongan terasa segar.
Mendadak saya merasa tertohok. Saya teringat ketika dulu kerap meledek seorang kawan dengan kalimat, “Mana ada kopi ngasih inspirasi? Ada juga kebanyakan ngopi bikin hipertensi.”
Tapi kali ini saya beneran terinspirasi dari kedai kopi di Jalan RS Fatmawati ini. Sunyi yang sungguh berarti.
Warung Boma
Saya menutup perjalanan kuliner ber-MRT hari itu dengan santap malam di Warung Boma. Berjarak 500 meter dari Stasiun MRT Cipete Raya, tak sulit untuk menemukan warung pecel pincuk itu. Cukup menelusuri Jalan RS Fatmawati ke arah Stasiun MRT Haji Nawi, kita bisa menemukannya di sebelah kiri jalan.
Tapi ya Tuhan... antrean sepanjang 10 meter menyambut saya malam itu. Kalau bukan karena pekerjaan, saya sudah pasti akan angkat kaki dan memilih tempat makan lain yang lebih sepi pengunjung.
Akhirnya setelah 20 menit menanti, saya bisa memesan. Tapi, (lagi-lagi) menurut saya yang pakai parameter mahasiswa hemat, harga Rp 28.000 untuk makanan yang tak ada dagingnya kelewat mahal.
Pecel di Warung Boma. Foto: Fauzan Dwi Anangga/ kumparan
Wisata kuliner saya pun resmi berakhir dengan sepiring pecel Madiun di Warung Boma yang berdiri sejak lima tahun lalu itu. Oh, tapi bumbu kacangnya terlalu pedas di lidah saya.
Iga Warung Boma Foto: Fauzan Dwi Anangga/ kumparan
Jadi wartawan kuliner ternyata susah
Dulu, saya pikir enak sekali jadi Bondan Winarno. Tiap hari kerjanya makan-makan enak, sudah begitu dibayari pula. Meski saya tidak pernah tertarik dengan konsep kulineran, membayangkan bekerja seperti itu rasanya menyenangkan dan bebas beban.
Nyatanya, jalan-jalan kulineran tak seindah yang dibayangkan. Kegiatan makan-makan yang sebenarnya simpel itu bisa jadi amat ribet. Mendeskripsikan rasa, menjelaskan isi dari sepiring hidangan, memilih rekomendasi tempat kuliner yang tepat, ternyata semua itu tak semudah yang dibayangkan.
Saya lalu ngobrol-ngobrol dengan Toshiko Potoboda, editor kumparanFOOD yang jelas menguasai soal kuliner. Menurut Kak Tosh, ada tiga hal penting ketika hendak meliput soal makanan.
Pertama, tempatnya tuh seperti apa. Ini bukan cuma ngomongin soal ambience resto, tapi juga lihat apakah tempat itu gampang diakses atau tidak, punya histori atau enggak,” kata Toshiko.
Kedua, menilai melalui makanan dan minuman terbaik versi tempat makan tersebut. “Biasanya untuk menentukan the best food sama the best drink, gue pasti tanya ke pramusaji, karena makanan utama atau makanan terbaik itulah yang sebenernya jadi alasan orang buat dateng ke situ,” ujar Kak Tosh.
Ketiga, soal harga. Penulis kuliner harus bisa menaruh ekspektasi tepat terhadap harga dari suatu hidangan. “Kalau lu punya kesempatan nyobain all you can eat Rp 99 ribu, jangan kira rasanya bakal sama dengan yang Rp 200 ribu,” ucap Toshiko.
Selain itu, bagi Kak Tosh yang sehari-hari berkecimpung di dunia kuliner, amatlah penting untuk melatih indra pengecap. Sebab, mengetahui tekstur dan rasa dasar makanan adalah faktor utama dalam menilai masakan tersebut.
“Kalau lu tahu daging ini segar atau enggak, itu bisa jadi pertimbangan lu untuk bilang makanan ini enak atau enggak,” kata Kak Tosh lagi.
Iga Bakar Kedai Lilie Singkawang. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Pokoknya, perbincangan dengan Toshiko semakin menguatkan asumsi baru saya bahwa untuk menjadi wartawan kuliner ternyata tak mudah. Sebab, bicara soal makanan bukan sekadar apa yang lezat di lidah.
Kini, saya berani bilang konsep wisata kuliner ternyata tak seburuk yang semula saya pikirkan—setidaknya pada hari-hari saat saya bertugas sebagai jurnalis kuliner dadakan; saat makanan yang masuk ke tubuh saya lebih banyak dibanding volume asap rokok; dan semua itu dibayarin pula. Ah, sedap.
***
Mentor: Tio Ridwan, Salmah Muslimah, Anggi Kusumadewi, Toshiko Potoboda
PS: Hasil keliling saya dan kakak-kakak Lipsus kumparan bisa dilihat di sini ya > MRT Food Guide
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten