Emansipasi Perempuan: Dilema Bebas dari Kekerasan Pasangan

Rifaa Khairunnisa
Mahasiswi Jurusan Sistem Informasi, Universitas Pembangunan Jaya.
Konten dari Pengguna
25 Juni 2023 14:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifaa Khairunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

“Kekerasan terhadap perempuan bukanlah budaya, itu kriminal,” —Samantha Power.

Sumber: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam bayang-bayang rumah tangga yang sudah seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kasih sayang, terhampar sebuah fenomena domestic violence yang telah menghantui jutaan perempuan di seluruh dunia. Kendati kita sudah berada di era global yang maju, namun, kekerasan rumah tangga terhadap perempuan masih menjadi lukisan kelam yang belum sepenuhnya terhapus.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tidak hanya menjadi sebuah isu individu. Tetapi, itu juga mencerminkan ketidaksetaraan yang terakar dalam struktur sosial sehingga praktik budaya patriarki masih terus melekat penuh pada paradigma setiap masyarakat.
Budaya patriarki memberikan prioritas pada laki-laki dalam hal kekuasaan dan dominasi sehingga menciptakan lingkungan di mana perempuan sering kali menghadapi ketidakberdayaan dan penindasan. Bahkan, dalam rumah tangga sekali pun yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi mereka.
Selain itu, dalam tradisi Yunani Kuno, perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak mempunyai independensi. Dan, mereka hanya diabdikan untuk kepentingan laki-laki.
Ketimpangan penempatan posisi perempuan dan laki-laki akibat ideologi gender tersebut mengakibatkan terciptanya ketidakadilan dalam bentuk subordinasi, marginalisasi, dominan, serta stereotipe, yang merupakan sumber utama dari seluruh tindakan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut dengan “Gen-der-Related-Violence”.
ADVERTISEMENT
Namun, dari banyaknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan, sebagian penelitian menyatakan bahwa terdapat sebuah dilema besar ketika perempuan dihadapkan pilihan harus melakukan perceraian dengan pasangannya masing-masing. Apakah demikian adanya? Lantas, bagaimana perempuan dapat membebaskan diri dari belenggu kekerasan yang terus menghantuinya?

Dilema Memilih Opsi Perceraian pada Kekerasan Rumah Tangga

Sumber: pexels
Selama ini, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah banyak menimpa pihak perempuan. Menurut data dari KemenPPPA hingga Oktober tahun 2022, telah terdapat 18.261 kasus kekerasan rumah tangga di seluruh Indonesia sehingga 79,5 persen atau 16.745 korban di antaranya adalah perempuan.
Dengan demikian, perbandingan kasus kekerasan dalam rumah tangga antara perempuan dan laki-laki menunjukkan bahwa jumlah korban perempuan lebih banyak atau dominan. Lalu, mengapa masih terdapat kedilemaan ketika perempuan dihadapkan opsi perceraian dan bersuara?
ADVERTISEMENT
Dikutip pernyataan dari Astuti (2021), selaku korban kekerasan rumah tangga, bahwa realitas kehidupan pada saat ini sungguh mengkhawatirkan. Hal tersebut ditandai masih banyak perempuan yang terjebak dalam pernikahan tidak membahagiakan dan penuh dengan kekerasan.
Mereka mungkin merasa terjebak dalam lingkaran yang sulit dipecahkan, tanpa tahu langkah apa yang harus mereka ambil untuk keluar dari situasi tersebut. Rasa ketidakpastian dan kebingungan mengenai langkah-langkah yang tepat dapat membuat mereka merasa terjebak dalam lingkaran kekerasan yang terus berulang.
Menurur Dr. Ida Rochmawati, selaku psikiater, mengatakan bahwa seseorang yang mengalami kasus kekerasan, umumnya akan merasakan hunjaman guncangan emosional, seperti marah, kecewa, sedih, serta tidak berdaya. Akibatnya para korban cenderung mengekspresikan emosinya dengan cara yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat sejumlah faktor dan pertimbangan yang membebani psikologis para perempuan korban kasus kekerasan rumah tangga. Hal tersebut menjadikan refleksi bahwa betapa sulitnya korban untuk memutuskan keluar dari lingkaran setan tersebut.
Mirisnya lagi, perempuan yang mengambil keputusan untuk melakukan perceraian malah mendapat stereotipe negatif. Tak ayal, bahwa adanya labelling dari masyarakat terhadap perempuan bercerai, yaitu seperti “istri tidak setia” bahkan “gagal dalam berumah tangga”.

Faktor Apa Saja yang Membuat Korban Terjebak dalam Siklus Kasus Kekerasan?

Sumber: pexels

1. Tekanan norma sosial dan stigmatisasi

Tekanan norma sosial dan stigmatisasi tentunya akan menciptakan rasa takut pada setiap perempuan untuk melawan kekerasan atau meninggalkan hubungan yang tidak sehat. Mereka khawatir akan reaksi masyarakat, penolakan, atau konsekuensi sosial yang lebih lanjut jika mereka mengambil langkah-langkah untuk keluar dari situasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, banyak perempuan yang terjebak dalam siklus kekerasan berusaha menyembunyikan pengalaman mereka. Dan, mereka menahan diri dari mengambil tindakan yang mungkin membantu mereka keluar dari situasi berbahaya.
Selain itu, stigma sosial juga memengaruhi persepsi dan sikap terhadap perempuan yang mengungkapkan pengalaman kekerasan. Perempuan mungkin menghadapi persepsi negatif dan dicap sebagai lemah, gagal dalam menjaga hubungan, atau dianggap bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka alami.
Stigmatisasi ini dapat memperburuk situasi perempuan. Selain itu juga membuat mereka merasa malu, terisolasi, dan enggan untuk mencari bantuan.

2. Ketergantungan secara psikologis, ekonomi, dan sosial

Nuryati Dewi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), menekankan bahwa keputusan untuk berpisah atau tidak, sering kali dipengaruhi oleh keraguan yang muncul terkait kondisi ekonomi setelah perceraian. Perceraian dapat menghadirkan tantangan ekonomi cukup besar bagi perempuan yang telah lama bergantung pada pasangan mereka secara finansial.
ADVERTISEMENT

3. Keterbatasan dukungan interpersonal

Keterbatasan dukungan interpersonal menjadi salah satu alasan kuat mengapa perempuan yang menjadi korban kekerasan rumah tangga enggan untuk bersuara dan tetap bertahan dalam situasi yang berbahaya. Mereka merasa bahwa tidak ada jaringan dukungan sosial memadai yang dapat mereka andalkan.
Dalam banyak kasus, perempuan yang mengalami kekerasan sering kali merasa terisolasi. Mereka tidak memiliki tempat untuk berbagi pengalaman.
Mungkin mereka merasa cemas, malu, atau takut bahwa mereka tidak akan dipercaya atau dipahami oleh orang lain. Dukungan sosial yang kurang dapat membuat perempuan merasa terjebak dalam kesendirian sehingga memperkuat perasaan ketidakberdayaan dan kebingungan pada diri mereka.

4. Kekhawatiran terhadap kesejahteraan anak

Kekhawatiran terhadap kesejahteraan anak menjadi salah satu pertimbangan penting bagi perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Nuryati, selaku LBH APIK NTB, mengungkapkan bahwa ketika perempuan tersebut sudah memiliki anak dan terus menerima kekerasan dalam pernikahan secara berulang, lebih baik untuk mereka berpisah.
ADVERTISEMENT
Alasannya, karena situasi tersebut akan berpotensi menimbulkan risiko yang merugikan bagi anak-anak mereka. Nuryati dengan tegas menyatakan, "Banyak yang diminta bertahan demi anak, tetapi justru anak akan mendapatkan pola pengasuhan yang salah karena kekerasan yang diterima oleh orang tuanya."
Dalam konteks ini, penting bagi perempuan untuk mempertimbangkan kesejahteraan anak-anak saat mereka berada dalam situasi kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun memutuskan untuk berpisah bukanlah keputusan yang mudah, namun keputusan tersebut dapat melindungi anak-anak dari kerugian lebih lanjut.

Upaya Penanggulangan Kekerasan Rumah Tangga

Sumber: pexels
Melalui hal ini, penting untuk menciptakan lingkungan mendukung dan melindungi perempuan yang mengalami kekerasan. Diperlukan kesadaran dan penghapusan stigma sosial terkait dengan membuka suara dan melawan kekerasan dalam rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan budaya yang menghargai dan mendukung perempuan dalam situasi tersebut. Dukungan psikologis dan sosial yang memadai harus tersedia, baik dalam bentuk konseling individu, grup dukungan, atau lembaga bantuan hukum yang dapat memberikan perlindungan dan advokasi bagi setiap perempuan yang membutuhkan.
Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan dan memperkuat perlindungan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Sistem hukum harus beroperasi dengan efektif dalam menindak pelaku kekerasan dan memberikan perlindungan memadai bagi perempuan yang melapor kekerasan.
Pendidikan dan kampanye mengenai kekerasan dalam rumah tangga perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah persepsi masyarakat terhadap peran dan hak perempuan dalam hubungan. Jika bukan kita, siapa lagi?
ADVERTISEMENT