Ucapan Selamat Natal: Pelajaran, Intropeksi, Dan Toleransi

Media Satu
Real Media
Konten dari Pengguna
25 Desember 2020 14:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Media Satu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Oleh : Rifky Khairy

Ilustrasi Foto Tribunjabar.Id
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Foto Tribunjabar.Id
ADVERTISEMENT
Akhir tahun tentu menjadi moment untuk berlibur. Libur yang cukup panjang justru bukan menjadikan kita rileks, akan tetapi justru kita disibukkan dengan melihat banyaknya orang yang mempersoalkan ucapan hari natal yang dari kurun tahun-ketahun belakangan ini diperbincangkan oleh sebagian besar netizen.
ADVERTISEMENT
Mungkin karena waktu berlibur, kita lebih banyak waktu luang untuk beristirahat menjadikan kita mempunyai waktu luang pula untuk mengurusi hal tersebut.
Terlebih bukan hanya persoalan hukum boleh atau tidaknya mengucapkan. Banyaknya dari kita untuk saling membenci, mencaci, dan sumpah kebenaran. Menjadikan bahan objek nafsu ketidak toleransiannya.
Padahal, seseorang yang tidak ingin memberikan ucapan selamat kepada yang lainnya, dia berhak untuk tidak melakukannya karena tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ini wajib. Akan tetapi jika kita menolak orang yang melakukannya, mengancamnya dan meragukan agamanya, maka ini adalah bentuk tindakan sia-sia terhadap agama Allah SWT, bahkan ini adalah pengkerdilan terhadap keagungan syariat yang luhur.
Dalam kumpulan “Fatwa Mustafa az-Zarqa” yang dihimpun oleh Majed Ahmad Makky dan diantar oleh ulama besar Mesir Yusuf al-Qardhawy, ulama kenamaan Suriah, Mustafa az-Zarqa’ berpendapat bahwa ucapan Selamat Natal dari seorang muslim kepada saudaranya yang Nasrani adalah perbuatan budi pekerti yang baik.
ADVERTISEMENT
Seperti Ulama yang memperbolehkan: Syekh ali jum'ah, syekh rasyid ridla, syekh yusuf qaradhawi, syekh al syurbasyi, syekh abdullah bin bayyah dan lainnya. Berdasarkan kepada Alqur'an Surah Al Mumtahanah ayat 8, Hadist Riwayat Bukhari No 1356, 5657
Sedangkan yang tidak memperbolehkan: Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Syekh abdul aziz bin baz, syekh utsaimin, syekh ibrahim al haqil dan lainnya. Berdasarkan kepada Alqur'an surah Al Furqon ayat 72, HR. abu daud No 4031
Dari sini jelas kita bisa ambil pendapat dan dasar yang sesuai dengan keyakinan mengenai hukum tersebut. Akan tetapi walaupun sudah banyak pendapat dari ulama dan para ahli pun sebagian dari kita memang tipikal orang-orang yang lebih senang beradu jempol dan debat kusir.
ADVERTISEMENT
Alhasil bukan menjadi persoalan boleh atau tidaknya kembali, tetapi lebih kepada tentang keegoisan mempertahankan argumen yang berlebihan yang akan menjadi buah masalah, sehingga pada akhirnya tidak bisa bertoleransi dan menghargai perbedaan walaupun dari hal sepele sekalipun. Seharusnya, kita bisa lebih toleransi walaupun hanya sebatas dari hal terkecil terlebih dahulu.
Bukankah kita setiap hari berkaca? memperhatikan bagian luar diri kita. Akan tetapi kenapa kita tidak dengan berkaca memperhatikan bagian dalamnya juga? Karena dengan begitu, titik hitam yang menghalangi kita akan muncul untuk bertoleransi akan perbedaan.
Coba lebih baik kebenaran yang kita percaya itu ditaburkan seperti garam: meresap, menyebar, dan memberi manfaat dimana-mana, tanpa diperlihatkan namun sangat terasa keberadaannya.
Kita terlalu kreatif untuk menyalahkan orang lain yang tidak sependapat dengan kita dan terlalu egois untuk menerima pendapatnya. Padahal, keilmuan dan dengan hati yang terbukalah yang akan menunjang akidah kita untuk tetap terus bertoleransi terhadap sesama.
ADVERTISEMENT
Kita harus terbiasa menanamkan sifat Respect kepada sesama yang tidak sependapat dengan kita dan jangan terlalu memuaskan nafsu kesenangan beradu jempol dan debat kusir yang tidak akan menyelesaikan masalah. Seharusnya kita bisa lebih bijak menyikapi segala persoalan dengan keilmuan dan hati yang besar.
(Dari Berbagai Sumber)