UU Cipta Kerja dan Perluasan Konsep Diskresi

Rilo Pambudi S
Pegiat Hukum dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
9 Oktober 2021 17:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rilo Pambudi S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pengesahan UU Cipta Kerja. Sumber: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengesahan UU Cipta Kerja. Sumber: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan menerapkan metode omnibus law telah menyita atensi publik. Bahkan menjadi diskursus serius sejak metode tersebut diwacanakan pada Pidato Presiden Joko Widodo di hadapan Sidang Paripurna MPR pada tanggal 20 Oktober 2019.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, setidaknya terdapat tiga persoalan mendasar yang ingin dijawab dengan adanya UU ini. Pertama, persoalan daya saing rendah. Kedua, perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, pertumbuhan ekonomi antardaerah kurang merata.
Ketiganya terjadi sebagai akibat iklim berusaha yang tidak kondusif dan investasi yang rendah dan tidak merata. Dengan kata lain, eksistensi UU Cipta Kerja menghendaki adanya pembangunan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja, kemudahan berusaha, dan terbukanya iklim investasi secara luas.
Fakta di lapangan menunjukkan tidak semua pihak sepakat dengan UU Cipta Kerja. Ada begitu banyak penolakan dari berbagai kalangan, baik dari mahasiswa, buruh, akademisi, hingga tokoh agama.
Persoalan yang dikritisi tidak hanya pada substansi, tetapi juga aspek formil penyusunan. Seperti dikatakan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, proses pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan secara cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik. Lebih lanjut dikatakan, pembentukan UU Cipta Kerja tersebut mengandung cacat formil dan materiil (PUKAT UGM, 2020).
ADVERTISEMENT
Hal senada diungkapkan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Menurut laporannya, terdapat empat bentuk cacat formil dalam penyusunan UU Cipta Kerja. Pertama, terabaikannya partisipasi publik. Kedua, DPR melakukan pemotongan tahapan dalam proses pembahasan, di mana terdapat pengabaian terhadap prinsip keterwakilan frasi.
Lalu yang ketiga, pembahasan dilakukan pada masa reses. Keempat, dimasukkannya materi yang tidak pernah dibahas, yang mencakup UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, dan UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
Namun di balik berbagai kontroversi yang dihadirkan, ibarat nasi sudah menjadi bubur. UU Cipta Kerja telah diundangkan dan berlaku sebagai ius constitutum. Kini, pengharapan beralih pada penilaian Mahkamah Konstitusi.
Menarik ditunggu apa jawaban Mahkamah atas UU ini, khususnya terkait aspek formil. Apakah berupa terobosan hukum atau tetap melanggengkan sikap pesimis atas uji formil UU. Pasalnya, sampai detik ini belum ada uji formil yang dikabulkan, sekalipun cacat formil itu telah dipertontonkan secara nyata.
ADVERTISEMENT

Perluasan Konsep Diskresi

Salah satu materi yang diatur dalam UU Cipta Kerja adalah diskresi. Hal itu sebagaimana termuat pada Pasal 175 angka 2. Eksistensi pasal tersebut telah mengubah ketentuan sebelumnya, yakni Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP).
Perbedaan mendasar keduanya terletak pada syarat penggunaan diskresi. Pasca UU Cipta Kerja terbit, penggunaan diskresi tidak lagi mensyaratkan "tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Sebab, syarat tersebut telah dihilangkan.
Alasan penghapusan karena dianggap membatasi keleluasaan pejabat pemerintah dalam mewujudkan pelayanan publik. Hal ini senada dengan kritik H.M. Laica Marzuki (2017), bahwa syarat tersebut melucuti esensi kebebasan diskresi. Baginya, diskresi tanpa esensi kebebasan adalah diskresi tanpa diskresi.
Harus diakui, secara prinsipil, diskresi merupakan against the law. Artinya sebagai kebebasan pejabat administrasi negara untuk bertindak atau membuat keputusan tanpa perlu terikat sepenuhnya dengan hukum positif (Riyanto, et al., 2020). Namun, dihapuskannya syarat di atas membuka ruang yang terlalu luas terhadap keberadaan diskresi.
ADVERTISEMENT
Walaupun merupakan suatu kebebasan bertindak, tentunya diperlukan rambu-rambu pembatas yang jelas. Itulah mengapa, Hans J. Wolf (1956) menyebutnya sebagai tindakan yang berdasarkan kebijaksanaan. Tindakan itu mestinya tidak boleh melanggar batas-batas yang ditentukan hukum dan harus sesuai dengan tujuan pemberian wewenang.
Maka dapat dikatakan, keberadaan Pasal 175 angka 2 UU Cipta Kerja ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, melepaskan pejabat pemerintah dari keterpasungan hukum dalam menggunakan diskresi—atau diistilahkan H.M. Laica Marzuki dengan contradiction in adjekto. Akan tetapi di sisi lain, pasal a quo dapat menjadi pintu masuk penyalahgunaan kewenangan oleh penggunanya.

Implikasi yang Ditimbulkan

Pengaturan Pasal 175 angka 2 UU Cipta Kerja telah membuka ruang untuk munculnya diskresi yang menegasikan asas legalitas. Lebih jauh berpotensi terjadinya diskresi yang inkonstitusional.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian? Ya, seperti yang kita ketahui, Indonesia sebagai negara hukum menghendaki setiap kebijakan dilandaskan pada aturan hukum. Ejawantahnya berupa keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan.
Mengulik Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdapat 7 jenis dan hierarki peraturan, di antaranya: UUD NRI 1945; Ketetapan MPR RI; UU/Perpu; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Perda Provinsi; dan Perda Kabupaten.
Oleh karenanya tidak menutup kemungkinan, hapusnya syarat "tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" dapat menyampingkan segala jenis peraturan di atas. Termasuk pula UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi di negeri ini (Riyanto, et al., 2020).
Kritik hukumnya adalah sejauh mana diskresi itu dapat menyimpangi peraturan perundang-undangan? Apakah boleh melakukan diskresi yang bertentangan dengan ketentuan hukum?
ADVERTISEMENT
Padahal telah ditegaskan, salah satu batu uji untuk menilai tepat tidaknya penggunaan diskresi adalah asas kepastian hukum. Asas ini menghendaki adanya pengutamaan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan [vide Pasal 10 ayat (1) huruf a UU AP].
Pada akhirnya tercipta ketidakpastian hukum di sini. Alih-alih menghilangkan hambatan dalam penyelenggaraan pemerintahan, bisa saja maladministrasi yang terjadi. Akibat buruknya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dasar warga negara.
Sudah sepantasnya, aturan mengenai diskresi dikembalikan pada khitahnya. Ukuran atas tepat tidaknya penggunaan diskresi tidak semata-mata dimaknai ada tidaknya dasar kewenangan melakukan. Lebih jauh, tujuan kepentingan umum yang hendak dicapai harus dapat diukur dan dinilai secara objektif.
Bisa jadi, kepentingan umum yang dimaksud pejabat pemerintah berbeda dengan yang dimaksudkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangannya. Dengan demikian, penyalahgunaan wewenang tidak sekadar perbuatan melawan hukum tetapi juga perbuatan melawan kepentingan umum. Inilah jawaban atas esensi syarat "tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" wajib ada dalam penggunaan diskresi.
ADVERTISEMENT