50 Tahun Berebut Masjidil Aqsa

24 Juli 2017 8:52 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Infografis 50 Tahun Perebutan Masjid Al Aqsa (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis 50 Tahun Perebutan Masjid Al Aqsa (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
ADVERTISEMENT
50 tahun sudah Masjidil Aqsa menjadi arena pertikaian. Situs suci bagi tiga agama monoteis ini terus-menerus panas oleh gelombang protes dan basah oleh darah yang terpaksa tumpah.
ADVERTISEMENT
Dalam seminggu terakhir, sejak penutupan akses ibadah pada Jumat (14/7), 7 orang Palestina tewas diterjang peluru tentara Israel. Penutupan akses atas Al-Aqsa, menurut pihak Israel, bagian dari pengamanan setelah bentrokan yang menewaskan 3 orang Palestina dan 2 orang polisi Israel terjadi sebelumnya.
Israel kemudian menutup sementara area Masjidil Aqsa yang berada Kota Tua Yerusalem. Ketika kembali dibuka, Israel memasang detektor logam di semua pintu masuk kompleks Masjidil Aqsa.
Israel berdalih bahwa pemasangan detektor logam untuk mencegah masuknya senjata ke dalam area kompleks Masjidil Aqsa. Namun pemasangan detektor itu memicu kembali bentrokan yang meletus pada Selasa (18/7). Setidaknya 50 orang warga Palestina terluka akibat bentrokan tersebut.
Israel kemudian membatasi akses masuk kompleks Masjidil Aqsa. Hanya pria di atas 50 tahun dan perempuan yang diperbolehkan masuk dan beribadah di dalam kompleks masjid itu.
ADVERTISEMENT
"Pintu masuk ke Kota Tua dan Mount Temple akan dibatasi hanya untuk pria berusia 50 tahun atau lebih. Wanita semua umur diizinkan masuk," ujar kepolisian Israel.
Para polisi Israel tak segan menembakkan gas air mata bahkan peluru karet bagi siapa saja yang melempar batu dan berupaya menerobos barikade polisi.
Pada Jumat (21/7), ribuan muslim yang biasa menunaikan ibadah salat Jumat di Masjidil Aqsa terpaksa melaksanakan ibadah di pinggir jalan perbatasan pintu masuk Kota Tua, dengan ujung senapan di hadapan mata.
Jamaah salat jumat di luar Masjid Al Aqsa (Foto: AP Photo/Mahmoud Illean)
zoom-in-whitePerbesar
Jamaah salat jumat di luar Masjid Al Aqsa (Foto: AP Photo/Mahmoud Illean)
Tindakan Israel memicu protes, bukan hanya --dan tentu saja-- dari rakyat Palestina, tapi juga dari berbagai negara. Tindakan sewenang-wenang Israel dengan memasang detektor logam, pembatasan akses beribadah, dan meningkatkan kontrol atas kompleks Masjidil Aqsa melanggar status quo.
ADVERTISEMENT
"Indonesia mengecam keras. Sekali lagi, Indonesia mengecam keras pembatasan beribadah di Masjid Al-Aqsa, dan Indonesia juga mengecam keras jatuhnya korban jiwa," tegas Presiden Joko Widodo, Sabtu (22/7).
Penutupan kompleks Masjid Al-Aqsa oleh Israel dikhawatirkan memiliki agenda tersembunyi: mengambil bukti-bukti sejarah Islam, baik berupa manuskrip atau arsip yang tersimpan di museum di dalam kompleks Masjid Al Aqsa.
Semua kunci pintu-pintu masuk area bangunan suci kini berada di tangan polisi Israel. Padahal sebelumnya, hanya kunci satu pintu yang dimiliki polisi Israel, yakni pintu Al Mughrabi.
Penutupan ini, selain merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama, juga dikhawatirkan mengubah status quo Masjidil Aqsa. Pasalnya, wilayah kompleks Masjidil Aqsa yang disebut juga Haram al Syarif atau Temple Mount bagi umat Yahudi, disepakati menjadi kewenangan Jerusalem Islamic Waqf, organisasi muslim independen yang bebas dari campur tangan otoritas Israel.
ADVERTISEMENT
Tentara Israel hanya boleh melakukan patroli, namun kegiatan yang berlangsung di kompleks bangunan diatur oleh Waqf.
Akan tetapi kelompok fanatik Israel dan beberapa politisi meminta pemerintah Israel memanfaatkan kesempatan kali ini untuk mengendalikan kompleks masjid secara penuh dan mengubahnya menjadi kuil Yahudi.
Masjid Al Aqsa (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Al Aqsa (Foto: Pixabay)
Apakah keinginan Israel untuk menguasai Masjidil Aqsa dan membangun kuil di dalamnya semata karena agama?
Al Jazeera menganalisa bahwa apa yang dilakukan oleh Israel jelas merupakan bentuk kolonialisme. Dogma agama hanya menjadi kedok untuk membalut wujud kolonialisme yang beringas dan pengurangan populasi rakyat Palestina di Yerusalem secara bertahap, yang tentu saja bertentangan dengan hukum internasional.
Zionisme, gerakan untuk membangun kembali dan kini mengembangkan negara Yahudi (Israel), dirancang sejak 1897 di bawah Theodor Herzl. Gerakan ini dipercaya merupakan proyek kolonisasi untuk melayani kepentingan Yahudi Eropa yang kaya raya dan mendanai kolonialisme Eropa pada abad 19.
ADVERTISEMENT
Pada mulanya gerakan ini bersifat sekuler, namun kemudian dalih agama digunakan untuk meraih simpati pengikut. Hal itu dilakukan setelah pada 1898, dalam kunjungan satu-satunya ke Yerusalem, Herzl menemukan bahwa kaum Yahudi di Yerusalem tampak menyedihkan: percaya takhyul dan fanatis.
Maka doktrin Yerusalem sebagai "tanah yang dijanjikan" bagi kaum Yahudi dengan lantang diteguhkan.
Tujuan utama Zionis diuraikan dengan jelas: memperoleh lahan untuk menjadi daerah jajahan Yahudi. Wilayah Palestina lah kemudian yang menjadi sasaran.
Pada Juli 1924, Kerajaan Inggris --yang bias Yahudi-- mengeluarkan aturan yang menjamin status quo situs keagamaan yang telah ada berabad-abad sebelumnya.
Ketika kaum fanatik Yahudi melanggar dan menyerang Western Wall (Tembok Tepi Barat) pada 1929, komite internasional menyelidiki dan menetapkan bahwa Tembok Tepi Barat bukanlah milik Yahudi namun mereka diizinkan untuk beribadah.
ADVERTISEMENT
Pada Desember 1948, pasca Perang Dunia II, Persatuan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang menyatakan, "Tempat suci, bangunan keagamaan, dan situs bersejarah di Palestina harus dilindungi dan terbuka untuk umum, mengingat nilai sejarah dan keberadaannya".
Namun Israel melanggar aturan tersebut.
Dalam Perang Enam Hari pada 1967, Israel menduduki paksa wilayah Yerusalem Timur hingga Tembok Tepi Barat. Israel ingin menguasai Kompleks Masjidil Aqsa atau Temple Mount bagi mereka. Berbagai upaya gencar dilaksanakan.
Pembakaran mimbar Salahuddin pada Agustus 1969 hingga berbagai serangan terhadap jemaah yang tengah beribadah, berulang kali terjadi. Hampir 500 serangan dan bentrokan terjadi di Kompleks Masjidil Aqsa dalam kurun waktu 50 tahun sejak pendudukan Kota Tua di Yerusalem Timur oleh Israel.
ADVERTISEMENT
Dengan membingkai konflik berkepanjangan sebagai konflik agama, Israel akan berdebat di panggung dunia bahwa orang-orang Yahudi sekali lagi diancam dengan bencana --tapi kali ini di tangan kaum Muslim dan di Timur Tengah, bukan di Eropa.
Namun jika konflik ini dipandang sebagai penjajahan baik secara politis ataupun teritori, maka solusinya jelas: dekolonisasi dan pemulihan hak-hak rakyat yang terjajah. Itu, tentu saja, adalah hal terakhir yang diinginkan Israel. Itulah sebabnya barangkali mengapa perselisihan agama di Al-Aqsa terus dipicu.
Bagi sastrawan Israel yang kontra dengan pendudukan ini, Amos Oz, konflik antara Israel dan Palestina merupakan tragedi yang paling tragis di mana hanya ada dua cara penyelesaian: ala Shakespeare atau Chekov. Model Shakespeare dengan duel tak berujung, atau model Chekov dengan resolusi bersama.
ADVERTISEMENT
Infografis 50 Tahun Perebutan Masjidil Aqsa (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis 50 Tahun Perebutan Masjidil Aqsa (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)