Film Horor Indonesia: Dulu, Kini, dan Kelak

26 Oktober 2017 15:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ada sekian subgenre dalam film horor seperti kisah-kisah paranormal, zombie, monster, pembunuhan, atau psikologi. Dari beragam subgenre itu, barangkali kita banyak berkutat di cerita paranormal dan zombi.
Selain kisah-kisah klenik dan mistis seperti Nyi Roro Kidul yang ramai di tahun 1980-an, pocong, kuntilanak, dan sundel bolong sering menjadi primadona.
Film horor pertama yang tayang di Nusantara berjudul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item atau Ouw Peh Tjoa yang dirilis pada 1934. Film ini berkisah tentang dua siluman ular yang bersemadi hingga bisa hidup sebagai manusia.
Keduanya, yang berubah menjadi perempuan, hidup berlomba demi mendapat cinta kasih si pria, Khouw Han Boen. Nasib malang menimpa ketika si ular putih dikejar-kejar pendeta yang hendak membunuhnya.
ADVERTISEMENT
Namun, karena hamil, ia berhasil diselamatkan meski akhirnya harus berpisah dengan anak yang ia lahirkan.
Suzana Gombel (Foto: Youtube/filem klasik)
Setelah lebih dari 30 tahun, film horor baru kembali muncul melalui kisah Beranak Dalam Kubur yang melejitkan nama Suzanna sebagai Ratu Horor Indonesia. Film ini menceritakan pertarungan antara dua perempuan bersaudara, Lila dan Dhora.
Lila yang lembut dan baik hati, dicelakai oleh saudaranya sendiri, Dhora, yang mendorongnya masuk ke danau, menyiram air keras, hingga menguburnya hidup-hidup ketika hamil besar. Lila pun menjadi hantu yang bergentayangan di seluruh kampung.
Seolah, seluruh kekacauan di kampung bernama Ciganyar itu disebabkan oleh perempuan.
Pada film-film berikutnya seperti Sundel Bolong (1981), karakter perempuan selalu ditampilkan sebagai korban lalu menjadi setan. Dalam film Sundel Bolong, Suzanna memerankan Alissa, perempuan yang berasal dari dunia prostitusi yang termarginalkan.
ADVERTISEMENT
Hingga kemudian datang Hendarto, laki-laki yang kemudian menikahinya. Pernikahan tersebut seakan menjadi jalan selamat bagi Alissa untuk menjalani hidup normal. Alissa pun bertransformasi sebagaimana tuntutan perempuan pada umumnya, patuh pada laki-laki.
Namun nasib nahas datang ketika Hendarto pergi bertugas selama sembilan bulan. Alissa diperkosa beramai-ramai oleh segerombolan laki-laki. Ketika ia hendak menuntut keadilan, hukum tak memihaknya karena latar belakang dirinya sebagai pelacur, perempuan sundel.
Poster Suzanna "Sundel Bolong". (Foto: Dok. filmindonesia.or.id)
Ketika Alissa diketahui hamil dan hendak menggugurkannya, ia ditentang semua orang. Kegamangan muncul. Alissa yang tengah berupaya menjadi istri yang patuh justru dihajar bertubi-tubi oleh nasib.
Alissa sendirian. Ia sedang tidak bersama suaminya, tidak pula dilindungi hukum yang justru mencemoohnya ketika menuntut para pemerkosa itu diadili. Maka ia pun memilih bunuh diri lalu kembali menuntut balas setelah mati.
ADVERTISEMENT
Film-film horor pada masa itu sering kali memadukan seksualitas perempuan dan komedi di dalamnya. Suzanna yang cantik dan bertubuh molek nyaris kerap ditemani oleh karakter Bokir yang konyol di setiap filmnya.
Viriya Paramita dalam artikel berjudul Jejak Film Horor Nusantara menulis, “Menurut Freud, masyarakat berusaha mendorong jauh-jauh naluri seksual dan agresif dari kesadaran. Pemikiran-pemikiran akannya baru bisa diterima bila terlontar dalam keadaan tidak serius.”
Maka, humor menjadi alat untuk lepas dari tertib sosial yang telah diatur. Selain itu, nilai-nilai anti-kota dan modernitas kerap hadir dalam film horor dan dipertentangkan dengan mitos daerah yang kental dipercaya.
Salah satu yang tidak bisa kita lupa dari film-film horor di era Orde Baru adalah kewajiban adanya pesan moral agar konflik antara protagonis dan antagonis mengarah pada ketakwaan. Berdasar Kode Etik Produksi Film pada 1981 itulah semua setan selalu berakhir kalah oleh kiai atau tokoh agama.
Film Horor Indonesia dari Masa ke Masa (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Setelah lebih dari 20 tahun, kisah perempuan teraniaya lalu menuntut balas setelah mati karena hukum dan negara tak bisa melindungi, masih direproduksi. Mulai dari kuntilanak, sundel bolong, suster ngesot, hingga suster keramas.
ADVERTISEMENT
“Ada kesamaan, itu benang merahnya. Mereka punya organ reproduksi, ada rahim, dan organ seksual juga, kemudian (mati) karena kekerasan,” kata Gita Putri Damayana, peneliti di PSHK, kepada kumparan, Selasa (17/10).
Namun film yang diproduksi tidak membuat penonton bersimpati pada perempuan sebagai korban. Jika cerita-cerita tersebut, yang diproduksi baik sebagai fiksi lalu diperkuat melalui medium film, lahir dari konteks sosial atau realita yang terjadi, bukankah lebih menyeramkan?
“Budaya-budaya populer, dari film-film Suzanna zaman dulu sampai sekarang itu, enggak ada simpatinya terhadap perempuan-perempuannya sebagai si korban,” ujar Gita.
Pasalnya yang di-copy-paste dari film-film horor Suzanna adalah jurus penggunaan seks dan komedi dalam film horor. Jurus itulah yang kembali digunakan pasca-Reformasi dengan menyandingkan aktris-aktris cantik seperti Dewi Persik, Uli Auliani, hingga aktris porno dengan komedian-komedian pencair suasana.
ADVERTISEMENT
Penonton seolah datang menonton film horor hanya untuk tertawa atau terangsang.
Bagi Joko Anwar, sutradara sekaligus penulis skenario dan aktor ini, film-film yang banyak mengedepankan sensualitas perempuan itu tidak bisa disebut sebagai film.
“Kalau kita ngomongin film-film seperti itu, agak susah karena dibuat sama orang yang juga tidak tahu film dan tidak punya latar belakang apa-apa. Mereka berpikir bahwa film horor, nggak bisa bikin film yang bagus (kalau nggak) ada tambahan perempuan seksi misalnya. Agak susah, karena nggak bisa dianggap film juga. It just special segment film exploitation,” paparnya kepada kumparan, (20/10).
Tak heran jika di masa-masa ramainya film horor mengundang aktris porno, jumlah penonton film horor terus berkurang. Filmindonesia.or.id dalam artikel berjudul Risalah 2012: Menjaga Momentum Film Indonesia menuliskan, “19 film horor tahun 2012 hanya mampu mengumpulkan 2,99 juta penonton, yang berarti setiap film horor rata-rata meraup 157.575 penonton.”
ADVERTISEMENT
Angka tersebut menjadi catatan terburuk sejarah film horor Indonesia yang biasanya mampu meraih penonton lebih dari 200 ribu orang per film. Pada tahun itu judul-judul film yang beredar di antaranya Tali Pocong Perawan, Mr. Bean Kesurupan Depe, Kuntilanak-kuntilanak, Mama Minta Pulsa, hingga 3 Pocong Idiot.
Perempuan dalam Film Horor Indonesia (Foto: Dok. IMDB dan filmindonesia.or.id)
“When a horror movie fails, it often fails into painful absurdity or squalid porno-violence,” tulis Stephen King dalam Danse Macabre. Kalimat tersebut mungkin cukup tepat menggambarkan apa yang terjadi pada masa itu.
Tentu kita tidak lupa, bahwa Indonesia pernah juga menghasilkan film-film horor berkualitas seperti Jelangkung (2001), Bangsal 13 (2004), Mirror (2005), Lentera Merah (2006), hingga Rumah Dara (2010). Film-film tersebut lahir di masa bangkitnya perfilman Indonesia sebelum pasar jenuh dengan jurus komedi dan seks yang membombardir mereka.
ADVERTISEMENT
Dan tahun-tahun ini, harapan akan film horor Indonesia kembali lahir setelah Danur (2016) dan Pengabdi Setan (2017) menyuguhkan cerita yang baru. Tanpa embel-embel perempuan seksi ataupun komedi yang tak lucu.
Film Pengabdi Setan garapan Joko Anwar bahkan telah mampu menembus jumlah 3.468.792 penonton. Angka yang jauh lebih besar dari jumlah penonton 19 film horor yang diproduksi pada 2012.
Film Horor Indonesia dari Masa ke Masa (Foto: Bagus Permadi/kumparan)