Melawan Obesitas pada Anak

2 November 2017 10:23 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Anaknya gemuk banget, lucu!” ujar saya spontan melihat batita berusia sekitar dua tahun dengan pipi tembemnya. Sangat menggemaskan.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, dan mungkin banyak orang, anak gemuk itu pertanda si anak tersebut sehat. Usia anak-anak menjadi satu-satunya waktu yang tepat untuk bisa gemuk dan tetap dipuji. Lain hal jika kegemukan itu terjadi di usia dewasa yang sering berujung pada ledekan dan bahan candaan.
Namun kegemukan pada anak ternyata tetap perlu dikontrol. Seperti kata orang bijak, sesuatu yang berlebihan itu tak baik, termasuk kegemukan yang kemudian berubah menjadi obesitas alias penimbunan lemak berlebih.
Arya Permana (Foto: ANTARA/M. Ali Khumaini)
Tahun lalu kita dikejutkan dengan berita Arya Permana yang memiliki bobot hingga 192 kilogram di usianya yang baru menginjak 10 tahun. Timbunan lemak di hampir seluruh tubuhnya bahkan sempat membuat ia tidak mampu berjalan ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Demi mengembalikan kehidupan normalnya untuk bisa kembali bermain bola bersama teman-temannya, Arya harus menjalani bedah bariatric gastric sleeve. Operasi tersebut dilakukan untuk mengecilkan ukuran lambungnya, sehingga Arya akan merasa cepat kenyang.
Dua minggu setelah operasi dilakukan pada April 2017, Arya berhasil menurunkan berat badan hingga 17 kilogram.
“Dulu kalau tidur pasti ngorok. Setelah operasi sudah tidak lagi,” kata Ade Soemantri, ayah Arya. “Sekarang juga sudah bisa tidur telentang, dulu tidak bisa sama sekali.”
Gangguan tidur, termasuk ngorok, memang salah satu imbas obesitas.
Kasus obesitas ekstrem pada Arya barangkali adalah tanda peringatan setelah banyak laporan menyatakan bagaimana angka obesitas di Indonesia terus meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak usia 5-12 tahun mencapai 18,8 persen, naik hingga 4 persen dalam tiga tahun.
Tingkat Obesitas Anak Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Indonesia bahkan termasuk salah satu dari tiga negara yang mengalami peningkatan angka obesitas pada anak-anak hingga tiga kali lipat dalam 30 tahun terakhir berdasar hasil penelitian University of Washington. Selain itu, laporan WHO dan UNICEF mencatat Indonesia sebagai negara dengan prevalensi anak obesitas tertinggi di Asia Tenggara yakni 12 persen.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut kian menegaskan bagaimana obesitas yang kini melanda anak Indonesia sudah memasuki titik mengkhawatirkan.
Melejitnya angka obesitas pada anak menjadi kekhawatiran baru, bukan saja bagi para orang tua. “Asosiasi Dokter Spesialis Anak sudah teriak-teriak karena sekarang diabet pada anak banyak,” ujar Lily Sriwahyuni, Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan.
Ilustrasi anak obesitas. (Foto: Shutterstock)
Kata itu kini terdengar cukup menakutkan. Ingatan kita terseret pada berbagai istilah penyakit mengerikan yang seolah menjadi gema setelah kata itu disebut. Mulai dari darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, kanker, dan lain sebagainya.
Bukan hanya di Indonesia, obesitas bahkan disebut telah menjadi epidemi global yang melanda dunia modern saat ini. New England Journal of Medicine pada 2016 menulis, sekitar 5 persen anak dan 12 persen orang dewasa di seluruh dunia mengalami obesitas. Angka tersebut menunjukkan peningkatan hingga dua kali lipat dalam kurun waktu 30 tahun (1985-2015).
ADVERTISEMENT
Dalam buku Obesity Epidemic: Science, Morality, and Idiology, obesitas dikatakan sebagai masalah kesehatan dunia nomor 1 yang berpotensi mengurangi angka harapan hidup hingga 10 tahun. Secara global, 4 juta kematian pada tahun 2015 berkorelasi dengan obesitas yang menjadi sebab berbagai penyakit seperti diabetes dan jantung.
Mengukur Obesitas
Secara sederhana, obesitas sering dipahami sebagai kegemukan atau penumpukan lemak berlebih. Kategori kurus, normal, gemuk, dan obesitas biasanya diklasifikasikan berdasar Body Mass Index (BMI) atau Indeks Masa Tubuh (IMT).
Rumus perhitungan IMT didasarkan pada berat badan dan tinggi badan. Caranya adalah dengan membagi angka berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (m). Batasan IMT yang digunakan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Kategori kurus: IMT < 18,5 Kategori normal: IMT ≥ 18,5 - < 24,9 Kategori berat badan lebih: IMT ≥ 25,0 - < 27,0 Kategori obesitas: IMT ≥27,0
Sementara untuk anak usia 5-19 tahun hasil IMT tersebut dibagi dengan jumlah umur (IMT/U). Kategori yang diberlakukan bagi anak adalah sebagai berikut:
Sangat kurus: Zscore < -3 Kurus: Zscore ≥ -3 - < -2 Normal: Zscore ≥ -2 - ≤ 1 Gemuk: Zscore > 1 - ≤ 2 Obesitas: Zscore > 2,0
Sementara untuk penumpukan lemak berlebih yang terjadi di area perut, disebut sebagai obesitas sentral atau obesitas abdominal. Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan beberapa penyakit degeneratif/kronis.
Penderita obesitas makin meningkat (Foto: Thinkstock)
Pengukuran tingkat obesitas sentral bagi orang dewasa ini dihitung berdasarkan lingkar perut (LP). Untuk laki-laki dengan LP > 90 cm atau perempuan dengan LP > 80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral menurut WHO Asia Pasifik tahun 2005.
ADVERTISEMENT
Meski dijadikan metode perhitungan secara global, IMT masih terbilang kontroversial karena hanya berdasar berat dan tinggi badan semata. Ia tidak menjelaskan berapa angka kandungan lemak dalam tubuh.
Oleh karena itu IMT bisa saja gagal dalam mengategorisasikan obesitas yang terjadi di masyarakat. Seseorang dengan indeks massa tubuh normal (18,5-24,9) bisa saja mengalami kelebihan lemak dalam tubuhnya namun tidak menyadari hal tersebut dan risiko kesehatan yang mungkin ia alami.
Kendati kurang presisi dan masih kontroversial, IMT tetap digunakan sebagai alat ukur secara global karena murah dan mudah dimengerti. Tentu saja terdapat pendekatan lain yang mampu membedakan berat badan dan lemak tubuh. Hanya, metode tersebut sangat tidak praktis dan mahal untuk digunakan.
ADVERTISEMENT
Cara pertama seperti dikutip dari The Conversation adalah dengan menggunakan teknologi dual energy X-ray absorptiometry atau DEXA scans. Sementara cara murahnya yakni dengan membandingkan lingkar perut (cm) dan pinggul atau tinggi badan (cm).
Perbandingan rasio perut dan pinggul yang dikategorikan obesitas menurut WHO yakni 0,9 untuk laki-laki dan 0,85 untuk perempuan. Sementara angka normal untuk rasio perbandingan perut dan tinggi badan adalah 0,5.
Belum diketahui apa cara perhitungan ini bisa diberlakukan bagi anak-anak atau memerlukan sedikit modifikasi.
Ilustrasi anak obesitas. (Foto: Shutterstock)
Lingkungan Obesogen
Obesitas pada anak yang meningkat cepat, khususnya di negara-negara berkembang di wilayah Asia, bukanlah sesuatu hal yang mengejutkan. Mengingat perubahan gaya hidup yang terjadi terutama di kota-kota besar.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, prevalensi obesitas pada anak paling tinggi terjadi pada anak laki-laki, tinggal di perkotaan, dan tumbuh di kalangan menengah atas. Bukan semata perihal kesalahan orang tua, namun lingkungan obesogen dianggap menjadi pemicu tingginya tingkat obesitas.
Obesogen, secara sederhana dapat diartikan sebagai zat-zat kimia penyebab anomali berat badan, termasuk kegemukan.
Jika anak-anak tumbuh hidup di tengah banyaknya makanan berkadar gula dan lemak tinggi dengan keterbatasan ruang mereka untuk bermain dan berlari-lari, tak heran jika risiko terjadinya obesitas meningkat tajam.
Ilustrasi makanan ringan. (Foto: Thinkstock)
Di sana-sini kita melihat gerai-gerai makanan cepat saji, gorengan penuh lemak, minuman bersoda yang menggoda, dan berbagai camilan penuh gula. Sementara itu, ruang-ruang bermain terbatas baik karena pengalihan lahan untuk gedung-gedung baru ataupun jalanan yang tak lagi aman.
ADVERTISEMENT
Ruang bermain mereka beralih menjadi layar kecil berukuran 10 inci, tempat di mana hanya jari dan mata mereka saja yang leluasa bergerak. Bukan taman atau lapangan olahraga, namun mal-mal yang kini juga menjadi arena bermain mereka.
“Anak-anak sekarang tidak hanya bertambah gemuk dibanding generasi sebelumnya, tapi juga kurang aktif, kurang atletis, lebih kaku, dan lebih kecanduan teknologi,” tulis Michael Gard dan tim dalam buku Obesity Epidemic: Science, Morality, and Idiology.
Lingkungan yang kita bangun bertolak belakang, bahkan tidak mendukung kebutuhan untuk menyeimbangkan energi yang keluar dan masuk dalam tubuh.
Di satu sisi, ketersediaan makanan kita dibanjiri oleh makanan-makanan bernutrisi rendah, namun murah dan mudah didapat. Sayur dan buah-buahan bahkan terkadang lebih sulit dan mahal untuk diperoleh.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, khususnya wilayah perkotaan, kita kesulitan mencari ruang aman bagi anak-anak untuk bermain dan berlari-lari. Banyak orang tua lebih memilih agar anak mereka bermain di dalam rumah saja.
Menyalahkan orang tua karena pilihan pola asuh mereka, tampaknya lebih mudah daripada memperbaiki lingkungan tempat si anak tumbuh dan berkembang. Karena tentu saja membutuhkan banyak pihak terkait, baik pemerintah maupun swasta, untuk membangun lingkungan hidup yang sehat dan menyehatkan.
Role model yang baik untuk anak. (Foto: Thinkstock)
Obesitas pada anak lebih dianggap sebagai kesalahan pola asuh orang tua yang tidak memperhatikan gizi si anak. “Yang penting kenyang dan enak” datang lebih dulu daripada “yang penting bergizi”.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Lily Sriwahyuni bercerita, sering kali orang tua memberikan uang jajan namun tidak mengingatkan jajanan seperti apa yang sebaiknya dibeli. “Kalau sekarang kan kita hanya memberi uang jajan, ‘Terserah deh, yang penting kamu kenyang’,” papar Lily pada kumparan, Selasa (31/10).
ADVERTISEMENT
Lalu kita melihat jenis jajanan apa saja yang biasanya ada di sekitar sekolah. Mulai dari gula-gula, gorengan, es krim, minuman bersoda, dan sebagainya.
C.N. Rachmi dan L. Alison Baur dalam Overweight and Obesity in Indonesia: Prevalence and Risk Factors menulis “prevalensi obesitas lebih tinggi ditemukan pada anak dengan ibu bekerja (26,9 persen), khususnya swasta, dibandingkan ibu rumah tangga (5,4 persen)”.
Namun, patut kita sadari pula, tak semua ibu atau perempuan bisa menjadi ibu rumah tangga. Mengingat beban ekonomi yang cukup tinggi untuk ditanggung sendiri oleh si suami.
Perkembangan teknologi, tata ruang kota, industri makanan, dan sebagainya, seolah berkonspirasi menghasilkan obesitas dan sederet penyakit lain yang melanda orang dewasa dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Sara FL Kirk, profesor bidang kesehatan di Dallhoise University Kanada, menulis, “Obesitas adalah pertanda yang bisa kita lihat bahwa ada sesuatu yang salah dengan dunia yang kita tinggali ini.”
Ilustrasi anak obesitas. (Foto: Shutterstock)
Melawan Obesitas
Memperbaiki lingkungan yang obesogen menuntut kerja sama berbagai pihak. Akhirnya, peran serta orang tua dalam pengasuhan --memperhatikan gizi yang masuk dan energi yang dikeluarkan si anak-- menjadi ujung tombak melawan obesitas pada anak.
Kementerian Kesehatan kini tengah menggalakkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Tiga poin utama yang ditekankan adalah olahraga cukup, makanan sehat, dan deteksi dini penyakit. “Yang kami fokuskan adalah pola asuhnya. Orang tua bukan hanya mengajarkan, tapi juga memberi contoh,” kata Lily.
Mulai dari membiasakan makan sayuran sejak kecil, sampai memperbanyak olahraga dan aktivitas fisik. “Anak-anak ini juga harus dipastikan tidak dimanjakan dengan kemajuan teknologi,” ujar ahli gizi Rita Ramayulis.
ADVERTISEMENT
Orang tua dan juga guru diharapkan mampu menjadi role model dalam memberi contoh makanan yang baik itu seperti apa.
“Di rumah, ibu harus menyediakan makanan-makanan (yang baik) untuk anaknya. Kemudian membatasi membawa anak ke restoran-restoran fast food yang (kandungan makanannya) tinggi gula, tinggi garam, dan tinggi lemak,” papar Rita selanjutnya.
Ilustrasi melawan obesitas pada anak (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Tantangan tersebut perlu dihadapi para orang tua, khususnya di perkotaan, untuk bisa membantu mengontrol sedari dini pola makan gizi seimbang dan gaya hidup sehat yang dipilih.
Pasalnya, obesitas yang terjadi pada anak bisa mengganggu metabolisme tubuh mereka yang justru sedang berkembang. Persoalan sistem imun hingga faktor risiko penyakit seperti diabetes, darah tinggi, dan penyakit kardiovaskular (berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah) mengintai.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, tingginya tingkat obesitas pada anak di Indonesia, berbarengan dengan masih tingginya angka anak kurang gizi di negara ini.
Jika bukan kita yang mulai memperbaiki pola hidup anak demi masa depan mereka, lantas siapa?