Menanti “Janji Manis” hingga 500 Kamis

27 Juli 2017 17:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Infografis Aksi Kamisan ke-500 (Foto: Bagus Permadi/kumparan )
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Aksi Kamisan ke-500 (Foto: Bagus Permadi/kumparan )
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rindu kami seteguh besi Hari demi hari menanti Tekad kami segunung tinggi Takut siapa?? semua hadapi…
ADVERTISEMENT
Apa yang tersisa dari manusia setelah eksistensinya telah tiada? Barangkali kenangan. Untuk itulah kuburan ada, sebagai tugu pengingat bahwa mereka pernah ada di dunia.
Tapi bagaimana jika manusia itu hilang, jasadnya tak ditemukan, keberadaannya pun tak pernah pasti.
“Apakah 13 orang yang hilang itu masih ada atau tidak, kalau masih ada di mana dia, kalau sudah tidak ada di mana di kuburnya,” tanya Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar Siahaan, salah satu korban penghilangan aktivis pada Peristiwa 1998.
Ketika ditemui kumparan (kumparan.com) pada Selasa (25/7), Paian berujar ia hanya ingin kepastian akan nasib yang menimpa anaknya itu.
Pertanyaan seperti itu menghantui para orang tua yang kehilangan anaknya, istri yang tidak tahu di mana suaminya, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga mereka. Kebenaran yang tersembunyi atau disembunyikan di balik deret kasus itu terus menuntut untuk ditemu-selesaikan.
ADVERTISEMENT
Pada 2007, setelah hampir 10 tahun, setelah hampir semua upaya hukum ditempuh, pertanyaan itu tak kunjung menemukan jawaban. Maka cara lain adalah advokasi dengan jalan damai menuntut penyelesaian atas kasus-kasus hak asasi manusia masa lalu.
Tragedi ’65, Tragedi Tanjung Priok ‘84, Tragedi Talangsari Lampung ‘89, Penembakan Misterius, Pembunuhan Marsinah, Tragedi 27 Juli ‘96, Penculikan Aktivis ‘97/’98, Tragedi Trisakti 12 Mei ’98, Tragedi 13-15 Mei ’98, Tragedi Semanggi I–13 November ‘98, Tragedi Semanggi II–24 September ’99, Pembunuhan Munir 2004, adalah sebagian dari daftar panjang kasus yang masih menanti keadilan dan penyelesaian.
Peserta aksi kamisan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peserta aksi kamisan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Suciwati, istri almarhum Munir, dan Sumarsih, orang tua Wawan salah satu korban Tragedi Semanggi I, bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan akhirnya memutuskan menggelar agenda rutin bersama.
ADVERTISEMENT
“Aksinya mandiri dan damai. Kami putuskan aksi diam saja,” cerita Sumarsih kepada kumparan. “Awalnya bertiga. Tapi sekarang ini sudah tahun 11, aksi Kamisan paling sedikit 8 orang hanya dua kali.”
Aksi Kamisan tak hanya diikuti keluarga korban, namun semua yang peduli terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM dari berbagai profesi dan kalangan.
Yang hilang menjadi katalis Di setiap Kamis nyali berlapis Marah kami senyala api Di depan Istana berdiri…
Aksi ini mengadopsi aksi para ibu-ibu di Argentina yang juga kehilangan anak-anak mereka semasa junta militer berkuasa di negara itu tahun 1970-1983. Para ibu itu setiap Kamis berunjuk rasa di depan Plasa De Mayo, Buenos Aires, di depan Tugu Kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Hingga 40 tahun kemudian, gerakan menolak diam dan lupa atas kasus pelanggaran HAM itu masih menyala.
“Pemerintahan baru Argentina ingin menghapus ingatan tentang masa lalu yang kelam itu dan mencoba menghentikan kelanjutan kasus,” ujar Taty Almeida (86) yang kehilangan anaknya, Alejandro (hilang pada 1975), seperti dikutip dari The Guardian (28/4).
Begitu pula dengan aksi Kamisan yang kini sudah berlangsung selama lebih dari 10 tahun. Hingga hari ini, telah 500 Kamis dihabiskan untuk aksi diam dan damai di depan Istana Merdeka.
“Ini adalah cara kami bertahan, berjuang, membongkar paksa kebenaran, mencari keadilan, dan melawan impunitas,” papar Sumarsih.
Pada November 2015, Aksi Kamisan pernah dilarang. Mereka tidak boleh melaksanakan aksi damainya di depan Istana Merdeka. Hal itu terjadi setelah terbitnya Pergub Nomor 28 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat.
ADVERTISEMENT
"Saya jujur melanggar undang-undang, tapi aparat juga harus mengakui membunuh anak saya," kata Sumarsih ketika aksinya saat itu dilarang dan dianggap melanggar peraturan.
Pergub yang terbit pada 28 Oktober 2015 ini berisi tentang pembatasan ruang demonstrasi. Unjuk rasa hanya dibenarkan di tiga tempat: Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR/MPR, dan Silang Selatan Monumen Nasional (Monas). Namun kemudian direvisi setelah dihajar gelombang protes dan kritik.
Pendemo dalam aksi Kamisan ke 477. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pendemo dalam aksi Kamisan ke 477. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Aksi Kamisan pun kembali diperbolehkan berlangsung di depan Istana Merdeka selama tidak memicu kerusuhan. Aksi Kamisan memang tidak pernah rusuh, sesuai tujuannya di awal. Aksi damai berdiam berdiri di depan Istana Merdeka dengan payung hitam dalam genggaman, menjadi aksi simbolik penuh makna.
“Diam kami adalah cara kami memperjuangkan agar negara mewujudkan permintaan kami tanpa melanggar HAM itu sendiri,” jelas Sumarsih.
ADVERTISEMENT
Sementara payung berwarna hitam yang biasa digunakan menjadi simbol harapan atas segala kehilangan, duka, dan penantian keadilan.
Setelah 500 Kamisan dijalani, apa yang diperoleh?
“Yang kita terima cuma janji manis. Misal SBY itu pernah pada saat kami bertemu 23 Maret 2008 itu beliau mengatakan, ‘hukum harus ditegakkan’,” cerita Sumarsih.
Pernyataan itu ditindaklanjuti dengan pembentukan tim penyelesaian kasus HAM berat. Namun, hingga akhir masa jabatan, tak ada hasil apapun.
Sumarsih menyatakan pemerintahaan saat ini pun sama seperti yang lalu. Saat berkampanye, Jokowi-JK melalui Nawacita-nya berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang menjadi beban politik bangsa. Namun juga tak menghasilkan perkembangan apapun.
Setelah 10 tahun aksi Kamisan berlangsung, mereka menerima rekor MURI pada 20 Januari 2017 sebagai aksi tergigih dalam penyelesaian kasus HAM. Tapi, apakah itu yang mereka harapkan?
ADVERTISEMENT
“Kami dari awal hingga saat ini minta kepastian saja apakah anak kami masih ada atau tidak,” tegas Paian, tentang harapannya sebagai salah satu orang tua korban.
Demi anak-anak, suami, teman, dan mereka yang mengalami ketidakadilan, mereka menyatakan akan terus memperjuangkan.
“Sampai tuntas. Selama kami masih diberikan kekuatan, masih diberi nafas, saya akan perjuangkan sampai tuntas,” tutup Paian.
Yang ditinggal Takkan pernah diam Mempertanyakan kapan pulang? - Efek Rumah Kaca, Hilang-
Infografis Aksi Kamisan ke-500 (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Aksi Kamisan ke-500 (Foto: Bagus Permadi/kumparan)