Menyelami Filosofi Ketupat

25 Juni 2017 8:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Infografis Filsafat Ketupat  (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Filsafat Ketupat (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Salah satu makanan khas hari raya Idul Fitri, yang terbuat dari beras berbalut anyaman daun kelapa muda (janur), ini memiliki makna tak sembarang.
ADVERTISEMENT
Pada mulanya, ketupat diperkenalkan oleh Raden Mas Sahid, yang kita kenal sebagai Sunan Kalijaga. Ketupat kemudian, menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annals, menjadi simbol perayaan hari raya umat Islam sejak masa pemerintahan Demak dibawah kepemimpinan Raden Patah di awal abad ke-15.
Upaya memperkenalkan ketupat --dengan dukungan para walisongo-- oleh kerajaan Islam pertama di Jawa ini menjadi salah satu cara untuk penyebaran agama Islam, serta membangun kekuatan politis dengan pendekatan kebudayaan agraris.
De Graaf menyebutkan, seperti dikuti dari Historia, bahwa penggunaan janur sebagai bungkus makanan ini menunjukkan identitas budaya pesisiran yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Pemilihan janur berwarna kuning kemudian dimaksudkan sebagai pembeda dari Timur Tengah dengan warna hijau, dan merah dari Asia Timur.
ADVERTISEMENT
Selain sebagai identitas, janur diceritakan merupakan kependekan dari jatining nur, atau hati nurani. Janur kemudian dibentuk menjadi anyaman, yang merupakan simbol kompleksitas masyarakat Jawa.
Sementar beras, sebagai isinya melambangkan nafsu duniawi. Bukan hanya itu, beras menjadi upaya peralihan dari Dewi Sri yang dipuja sebagai dewi kesuburan, menjadi bentuk rasa syukur kepada Tuhan.
Ketupat menjadi simbol nafsu duniawi yang dibungkus oleh hati nurani.
Nama ketupat pun, berdasar kepercayaan masyarakat Jawa, berasal dari kata kupat yang merupakan parafrase ngaku lepat, mengaku bersalah. Hal ini sejalan dengan tradisi bermaafan atau halalbihalal yang menjadi ciri khas, kebiasaan yang dianjurkan setiap Idul Fitri.
Bentuk ketupat menandakan empat penjuru mata angin, yang bermakna ke mana pun manusia pergi tidak boleh melupakan pacer (kiblat) sebagai arah salat, atau kiblat papat limo pancer.
ADVERTISEMENT
Ketupat hingga kini bertahan, sebagai makanan khas hari raya, dan dikenal di berbagai daerah dengan nama yang berbeda-beda.
Selamat mengunyah ketupat dan filosofi yang terkandung di dalamnya.
Infografis Filsafat Ketupat (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Filsafat Ketupat (Foto: Bagus Permadi/kumparan)