Nasib Pemulung dan Wajah Bantargebang

28 September 2017 12:01 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Eksistensi sampah sebagai barang sisa yang tak terpakai dan dibuang --sesuai definisi sampah dalam KBBI-- pada mulanya tak dikenal dalam ekosistem alam. Kotoran hewan, bekas kulit buah, atau cangkang telur, semua bisa kembali diolah dan justru menyuburkan tanah.
ADVERTISEMENT
Tapi sampah, buah dari tingginya tingkat konsumsi yang dibuat dari bahan-bahan kimia sintetis, melahirkan ragam persoalan. Salah satunya bisa kita lihat di Bantargebang.
Kecamatan yang terdiri dari empat kelurahan di Kota Bekasi ini dipilih pada 26 Januari 1986. Tahun itu, arus urbanisasi ke ibu kota yang terjadi sejak 1970-an telah menampakkan hasil. Sampah sisa-sisa konsumsi semakin meningkat.
Sebelumnya, Ujung Menteng, Jakarta Timur, pernah menjadi kandidat terkuat untuk menampung sampah Jakarta. Namun, karena sudah dipadati perumahan dan industri serta dianggap kurang strategis, maka gugurlah Jakarta menunjuk salah satu area di Cakung ini.
Bantargebang yang berada di Bekasi, salah satu kota satelit ibu kota, dipilih karena adanya bekas pengerukan tanah yang berwujud kolam-kolam besar. Hal itu menguntungkan karena memudahkan pembangunan sarana dan prasarana tempat penampungan sampah.
Infografis Sejarah TPST Bantargebang (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Seiring dengan pertumbuhan tingkat konsumsi, sampah yang dihasilkan pun makin meningkat setiap hari. Wajah Bantargebang mulai berubah. Untuk itu, ada harga yang harus dibayar mahal.
ADVERTISEMENT
Persoalan, terutama lingkungan dan kesehatan, menjadi momok yang terus menghantui.
Protes pertama diajukan warga Bekasi pada 1999 karena pengelolaan setengah hati yang dipegang oleh Pemprov Jakarta, menurut mereka. Emosi memuncak pada 10 Desember 2001: Jakarta tak diizinkan membuang sampah ke Bantargebang.
Bekasi mengancam, jika manajemen persampahan tak segera diperbaiki, maka Bantargebang akan ditutup. Sementara Jakarta yang mengklaim telah membangun jaringan jalan senilai Rp 40 miliar, puskesmas hingga insentif senilai Rp 2,5 miliar, mengancam akan menggugat Pemkot Bekasi.
Sampah-sampah di Bantargebang, Bekasi. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Ketegangan yang berlangsung antara Jakarta dan Bekasi tak hanya terjadi di kalangan elite pejabat. Di masyarakat Bantargebang, sebagai subjek paling terdampak namun seringkali luput dari pembicaraan, sentimen terhadap warga non-Bekasi memanas.
“Waktu itu tahun 1999-2000 kami terintimidasi, antara warga setempat dengan kami pemulung. Waktu itu ada gejolak penuntutan warga asli sini mengenai sampah,” cerita Usman, pendatang asal Banten yang menjadi pemulung di Bantargebang, pada kumparan, Sabtu (15/9).
ADVERTISEMENT
Persoalan horizontal di akar rumput berkobar ketika Pemerintah Kota Bekasi menutup Tempat Pembuangan Akhir) TPA Bantargebang. Kerusuhan terjadi antara warga yang mendukung penutupan TPA dengan para pemulung yang menolak penutupan, yang sebagian besar merupakan pendatang.
“Yang terkena dampak adalah pemulung waktu itu. Gubuknya sempat dibakar tahun 2000. TPA pun sempat tersentak dan tutup. Tetapi kami terintimidasi memang sudah biasa. Karena kehidupan keras juga sudah kami lakukan di daerah-daerah yang lebih keras,” kata pria yang pindah ke Bantargebang sejak 1996 ini.
Kehidupan di Bantargebang (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
Sementara itu, sebanyak 14 kendaraan Dinas Kebersihan DKI Jakarta diamuk massa di Bantargebang, dua di antaranya dibakar, termasuk Kantor TPA. Penutupan yang berlangsung selama lima hari itu berdampak besar, baik bagi warga Bantargebang maupun Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sampah-sampah yang tak bisa diangkut, menumpuk di sudut-sudut ibu kota, mengalirkan air sampah (lindi) hingga ke permukiman dan jalan-jalan protokol. Sementara sentimen terhadap antara warga asli dan pendatang di Bantargebang menjadi luka sejarah desa itu.
Pengelolaan sampah kemudian seolah menjadi rebutan, dari Pemprov DKI Jakarta ke perusahaan swasta, kembali dipegang oleh Pemprov DKI Jakarta, lalu swasta lagi. Konflik pun terjadi kembali pada 2015.
Latar belakang persoalan tak jauh berbeda: Bekasi yang merasa dirugikan, Jakarta yang merasa telah cukup banyak bermanfaat. Akhirnya sampah dikelola bersama secara langsung, tanpa melalui perantara, antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi.
Infografis Potret TPST Bantargebang (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Kini hampir 7.000 ton sampah setiap harinya dikirim dari Jakarta, melewati sekitar 40 kilometer perjalanan, menuju tempat pembuangan sampah akhir yang ditargetkan menjadi Pusat Studi Persampahan Nasional.
ADVERTISEMENT
Sampah sebanyak itu diangkut menggunakan lebih dari seribu truk yang lalu lalang selama 24 jam. Kedatangannya barangkali seperti serbuan seribu gajah Afrika, salah satu hewan terbesar di dunia.
Area yang berada di samping aliran Sungai Cileungsi seluas 110 hektare itu telah menampung 18 juta meter kubik sampah. Dari gunungan sampah yang masih dikelola secara konvensional ini, 69 persen ditimbun di TPA, 10 persen dikubur, 7,5 persen didaur ulang (composting), 5 persen dibakar, dan 8,5 persen tak terkelola.
Diperkirakan, 10 tahun ke depan, kapasitas Bantar Gebang telah penuh.
“Kalau sampahnya hanya ditumpuk saja, perkiraan akan penuh baru akan terjadi 10 tahun mendatang,” ujar Asep Kuswanto, Unit Pelaksana Teknis TPST Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dikutip dari Antara.
ADVERTISEMENT
Demi memperpanjang umur Bantargebang, sampah direncanakan akan dibakar. “Dengan begitu Bantargebang dapat beroperasi hingga 2032,” imbuh Asep.
Demi itu, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan anggaran Rp 13 miliar untuk membakar sampah-sampah itu.
Pemulung di TPST Bantargebang (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
Sementara warga di sana, baik karena keadaan ataupun pilihan, menggantungkan hidupnya pada sampah. Pada 2016, tercatat kurang lebih ada sekitar 6.000 pemulung di Bantargebang. Bagi mereka, sampah yang dibuang oleh warga ibu kota menjadi sumber pekerjaan yang membebaskan.
“Bekerja di sampah ini tanpa diatur dengan orang lain, tanpa disuruh dengan orang lain. Dia mau bekerja keras, dia bisa menafkahkan keluarga,” ujar Usman.
Pernyataan senada dilontarkan Wawan, mantan sopir truk sampah yang memilih jadi pemulung. “Kalau kerja jadi sopir kan kita salah sedikit aja diomelin gitu, telat aja kan kita diomelin, ditegur. Kalau pemulung kan kita bebas mau jam berapa aja berangkat.”
ADVERTISEMENT
Jika segala sesuatu seperti koin yang memiliki dua sisi berbeda, begitu pula sampah: dibuang oleh sebagian orang, menjadi uang bagi sebagian yang lain.
Sampah yang seringkali dianggap mengganggu, kotor, dan bau, menjadi sumber hidup bagi para pemulung. “Tak ada yang sia-sia di muka bumi ini”. Barangkali jargon itulah yang sedang diupayakan dan dijalankan oleh para pemulung.
Bagi pemulung, sampah menjadi salah satu hal yang disyukuri, seperti diucapkan oleh Usman.
“Dari Jakarta sampah dibuang, dia (pemulung) kelola sehingga bisa memberikan manfaat kepada keluarganya. Kami bersyukur ada sampah, ketimbang menjadi sampah masyarakat.”
Kehidupan di Bantargebang (Foto: Prima Gerhard/kumparan)