Nasib Rohingya dan Dua Wajah Aung San Suu Kyi

31 Agustus 2017 13:46 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pada 3 Mei 2017, pemerintah Myanmar menolak dan membantah laporan PBB terkait tindak kekerasan yang brutal terjadi terhadap etnis Rohingya di Rakhine. Mereka menyebut laporan yang disusun oleh UN High Commissioner for Human Rights (OHCHR) sebagai tuduhan tanpa bukti.
ADVERTISEMENT
Akses terhadap investigator PBB yang ditugaskan untuk mengusut tragedi yang menimpa kelompok etnis minoritas di Myanmar itu pun ditutup. Pada akhir Juni, pemerintah Myanmar menolak visa masuk para delegasi PBB.
Tak hanya bagi investigator PBB, akses masuk bagi para jurnalis juga ditutup.
Bahkan, pemerintah Myanmar menuduh para pemberi bantuan kemanusiaan yang mengirim bahan-bahan makanan, berkomplot dengan teroris --sebutan yang disematkan pada para militan Rohingya.
Ironisnya, tindakan ini bukan berlangsung di bawah pemerintahan diktator gila kuasa dari salah satu sudut negeri di ASEAN. Namun justru terjadi di masa pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi, peraih Nobel untuk perdamaian dan ikon pembela hak asasi manusia (HAM).
Aung San Suu Kyi (Foto: Aung San Suu Kyi/facebook)
Hidup memang penuh kejutan. Siapa sangka, Suu Kyi yang menjadi tumpuan harapan justru bungkam ketika duduk di kursi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Perempuan berusia 72 itu menjabat sebagai Penasehat Negara, pemimpin Myanmar secara de facto, sejak November 2015. Upayanya menduduki posisi itu cukup terjal meski dengan “kemewahan” latar belakangnya.
Lahir pada 19 Juni 1945, Aung San Suu Kyi adalah putri dari Jenderal Aung San, pahlawan kemerdekaan Myanmar ketika masih bernama Burma. Enam bulan sebelum kemerdekaan resmi diraih, Aung San dibunuh, ketika Suu Kyi masih berusia 2 tahun.
Suu Kyi kemudian hidup bersama sang ibu, Khin Kyi, dan dua orang kakanya. Pada 1960, ibunya diangkat menjadi Duta Besar Myanmar untuk Nepal dan India. Lima tahun kemudian, Suu Kyi mengambil studi filsafat, politik, dan ekonomi di Universitas Oxford, Inggris.
Di sana ia hidup dan menikah dengan Michael Aris. Mereka dikaruniai dua orang anak, Alexander dan Kim. Suu Kyi baru kembali ke Myanmar pada 1988, demi menengok ibunya yang sudah kritis.
ADVERTISEMENT
Melihat negerinya dikuasai Junta Militer di bawah kediktatoran Jenderal Ne Win, Suu Kyi menyatakan tidak bisa tinggal diam membiarkan hal itu terjadi. Pada saat yang sama, ketika itu pemerintah Myanmar baru saja menerapkan peraturan baru yang melabeli semua orang Rohingya sebagai imigran ilegal.
Infografis Tragedi Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
“Sebagai seorang putri dari ayahku, aku tidak bisa acuh tak acuh melihat kesewenang-wenangan terjadi di negeriku,” ucap Suu Kyi pada 26 Agustus, 29 tahun lalu.
Melalui National League for Democracy (NLD), ia menjadi pemimpin revolusi melawan Ne Win.
Kegiatan politik Suu Kyi membuat ia terpisah dari anak dan suami. Bahkan ia tak bisa melihat suaminya yang wafat karena digerogoti kanker pada 1999. Meski kemudian diizinkan terbang ke Inggris, Suu Kyi merasa terpaksa harus menolaknya karena khawatir tak diizinkan kembali masuk ke negaranya.
ADVERTISEMENT
Demi revolusi demokrasi dan membela rakyatnya Suu Kyi memilih tetap di Myanmar.
Suu Kyi berulang kali menjadi tahanan rumah, dengan total 15 tahun terpenjara. Gerak-geriknya dibatasi dan diawasi. Setiap kesempatan yang ia miliki, ia gunakan untuk bersuara, meraih dukungan dunia dan media.
Pandangannya di berbagai forum atau dalam buku-buku tentang demokrasi dan HAM, perjuangannya untuk melepaskan Myanmar dari cengkeraman kediktatoran militer, menghadiahinya Nobel Perdamaian pada 1991--tahun yang sama kala sekitar 250 ribu orang Rohingya melarikan diri dari kerja paksa dan penganiayaan tentara Myanmar.
Pada 2015, Suu Kyi sukses membawa NLD sebagai pemenang pemilu terbuka pertama kali dalam 25 tahun terakhir di Myanmar. Meskipun secara hukum ia tidak bisa menduduki kursi presiden, namun ia dipercaya secara de facto memimpin Myanmar.
Aung San Suu Kyi (Foto: Facebook Aung San Suu Kyi)
“Welcoming the New Guard” menjadi headline utama koran Myanmar, Global New Light, dalam menyambut kemenangan Suu Kyi.
ADVERTISEMENT
“Aku yang akan membuat semua keputusan, karena akulah pemimpin partai yang memenangi pemilu ini. Presiden akan kita pilih untuk memenuhi persyaratan hukum,” ujar Suu Kyi pasca-kemenangan, seperti dikutip dari The Independent, 11 Oktober 2015.
Phil Robertson, Direktur Divisi Asia Human Rights Watch, menyatakan kemenangan Suu Kyi bersama NLD menjadi langkah besar dalam negosiasi antara kekuatan pemerintahan sipil dan militer yang dijamin konstitusi.
Robertson juga menyatakan, ini saatnya pemerintah Myanmar mampu mengatasi pelanggaran hak asasi manusia, mengingat konflik berkepanjangan yang terjadi di negeri berjuluk Tanah Emas itu sejak 1960-an.
Selama kampanye, Suu Kyi selalu berkata, “Aku berjanji, semua orang yang hidup di negeri ini akan mendapat perlindungan semestinya sesuai hukum dan norma hak asasi.”
ADVERTISEMENT
Maka tak heran, kemenangan Suu Kyi menjadi titik kulminasi harapan warga yang menyambutnya dengan suka cita hingga mengalir air mata bahagia.
Tetapi, setahun setelah pemerintahannya, harapan yang membubung itu berguguran. Kekerasan dan penganiayaan oleh tentara Myanmar justru meningkat.
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
“Dua bulan lalu, harapan begitu tinggi. Tetapi serbuan militer Myanmar ke Tatmadaw muncul tiba-tiba, tanpa penjelasan atau pertimbangan politis ataupun kemanusiaan,” ujar Tom Kramer, peneliti Transnational Institute, kepada TIME, November 2016.
Tom merujuk pada serangan tentara Myanmar ke wilayah negara bagian Kachin di daerah perbatasan China yang terjadi seminggu setelah konferensi pertama Pemerintahan Suu Kyi. Bantuan pangan dari PBB ke wilayah kamp pengungsian di sana bahkan ditutup.
“Aku tidak bisa mempercayai Aung San Suu Kyi. Kukira dia akan menghentikan kesewenang-wenangan tentara, tetapi pertempuran justru meningkat,”cerita La Phai Hkawn Shang yang hidup di pengungsian sejak 2011.
ADVERTISEMENT
Di ujung barat daya, kekejaman serupa juga terjadi. Di negara bagian Rakhine, tempat bagi sekitar 800 ribu orang Rohingya, pembakaran, pemerkosaan, hingga pembunuhan dilakukan oleh tentara Myanmar.
Serangan brutal itu dilakukan atas nama balas dendam setelah militan Rohingya menyerang pos-pos perbatasan dan menewaskan 9 orang tentara.
Balas dendam itu begitu membabi buta: tak kenal tua atau muda, bahkan anak dan perempuan turut menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan. Rumah-rumah dibakar, kemudian orang-orang dipaksa masuk ke dalam rumah yang diselubungi kobaran api. Betapa brutal dan luar biasa keji.
Melarikan diri ke Bangladesh kemudian menjadi pilihan yang ditempuh oleh sekitar 250 ribu warga demi mencari keamanan di masa depan. Perjalanan menuju Bangladesh harus ditempuh dengan berjalan kaki setidaknya 20 km, menerabas gunung dan rawa-rawa tanpa alas kaki, bersembunyi menghindari ancaman tentara.
ADVERTISEMENT
Begitulah sekilas laporan OHCHR yang diterbitkan pada Februari 2017 setelah mewawancarai mereka yang berhasil tiba di perbatasan. Zeid Raad Al Hussain, Kepala Bidang HAM PBB, dengan geram menyatakan, “Kebencian macam apa yang membuat tentara tega menusuk bayi yang menangis? Operasi pembersihan macam apa ini? Apa tujuan keamanan nasional dengan melakukan ini?”
Suu Kyi bergeming. Ia bungkam, hampir selama sebulan menghindari berbagai wawancara dan pertanyaan terkait kekejaman yang terjadi seperti dilaporkan oleh PBB. Suaranya yang dulu lantang meneriakkan manusia berhak terbebas rasa takut, kini senyap.
Aung San Suu Kyi (Foto: RETUERS/Soe Zeya Tun)
April 2017, dalam sebuah kesempatan langka, BBC mewawancarai pemenang Nobel Perdamaian dan ikon gerakan HAM terkait kasus pembantaian etnis Rohingya di Rakhine.
“Aku rasa term pembantaian etnis terlalu berlebihan untuk menjelaskan apa yang terjadi di Rakhine. Di sana banyak terjadi permusuhan kecil-kecilan antar-kelompok,” dalih Suu Kyi saat itu.
ADVERTISEMENT
Sebulan kemudian, pemerintah Myanmar menuding laporan PBB terkait kekejaman yang dialami etnis Rohingya, merupakan tuduhan tak berdasar dan tanpa bukti. Dengan tetap membantah adanya pembantaian, usul pengiriman investigator PBB ditolak dan akses masuk menuju Rakhine ditutup, termasuk untuk jurnalis.
Di sela deretan potret kunjungan Suu Kyi yang selalu tampak tersenyum dengan baju berwarna-warni, akun Facebook State Counsellor menyatakan potret kekejaman yang terjadi itu adalah potongan film Rambo dan merupakan cerita yang dibuat-buat saja.
Jonah Fisher, koresponden BBC untuk Myanmar, menanggapi hal tersebut dengan menyatakan bahwa The Lady Suu Kyi tak jauh berbeda dengan Donald Trump.
Sementara sejak itu, tentara Myanmar mengepung wilayah yang dihuni etnis Rohingya seperti Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung. Mereka menerapkan jam malam sejak pukul 18.00 hingga 06.00 pagi.
ADVERTISEMENT
Gerak-gerik Rohingya dibatasi dan diawasi, persis seperti yang pernah dialami Suu Kyi di awal perjuangannya.
Pekan lalu, pembantaian yang menimpa etnis Rohingya kembali terjadi di Rakhine. Dengan argumen yang sama, yakni balas dendam setelah militan Rohingya menyerang pos polisi dan militer, tentara Myanmar kembali menggila.
Akibatnya, korban tewas menurut versi pemerintahan Suu Kyi ‘hanya’ 109 orang. Sementara para aktivis pembela Rohingya menyatakan korban tewas dari etnis Rohingya mencapai ribuan orang.
Suu Kyi lagi-lagi membantah. Ia bahkan menyatakan bahwa etnis Rohingya, yang berjuang untuk hak asasi dan kehidupan mereka, adalah teroris. Pernyataan itu menjadi dalih pembenaran akan tindak kejam militer Myanmar dalam ‘membersihkan’ etnis Rohingya.
Suu Kyi menolak campur tangan dan tekanan dunia internasional. Dalam wawancaranya dengan Channel News Asia, Suu Kyi berkata, “Melihat hanya pada satu sisi negatif itu tidak membantu. Kalian harus melihat juga serangan yang dilakukan terhadap pos polisi.”
ADVERTISEMENT
Kyaw Win, Direktur Burma Human Rights Network, kepara kumparan (kumparan.com) menyatakan, “Suu Kyi adalah monster. Ia telah ‘menikahi’ militer. Tapi adalah Panglima Militer Myanmar Jenderal Senior Min Aṳńġ Hlaine yang memberi perintah untuk membunuh Rohingya. Revolusi demokrasi Myanmar gagal total. Kini kami memiliki ‘Neo-Nazisme’.”
Pandangan dan kebijakan Suu Kyi terkait Rohingya, mengutip media The National, barangkali karena ambisinya untuk menjaga kekuasaan dari kudeta militer hingga ia memilih mengorbankan etnis minoritas. Kemungkinan lainnya adalah kegagalan dia dalam memahami kompleksitas pembagian kekuasaan dan konflik etnis secara mendasar.
Jika benar Suu Kyi takut kehilangan posisinya sehingga itu yang membuat ia bungkam saat ini, maka ia telah mengkhianati prinsipnya yang paling terkenal.
ADVERTISEMENT
Jika ketakutan seperti itu membelenggu The Lady Suu Kyi, membuatnya tak lagi nyaring berkoar tentang HAM, harapan apa yang dimiliki etnis Rohingya dan warga Myanmar untuk lepas dari kesewenang-wenangan?
Infografis Derita Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)