Perubahan Iklim: Bersama Donald Trump Mencari Solusi

11 Juli 2017 12:53 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Donald Trump ketika berpidato dalam acara USA Thank You Tour  (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump ketika berpidato dalam acara USA Thank You Tour (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
“Salju mencapai 4 inci di kota New York minggu lalu, padahal ini masih Oktober. Terlalu banyak untuk pemanasan global.”
ADVERTISEMENT
Itulah tweet pertama Donald Trump pada 2011 ketika ia bicara entah cuaca, iklim, atau apalah yang dimaksudnya itu, yang dihimpun oleh Vox. Apa yang dituliskan oleh Trump sebelum naik takhta menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45 ini sedikit banyak bisa menjelaskan mengapa akhirnya ia bersikeras keluar dari Kesepakatan Iklim Paris.
Kesepakatan Iklim Paris adalah kelanjutan pertemuan yang berjanji untuk berupaya menghentikan kenaikan suhu Bumi. Perjanjian ini telah diratifikasi oleh 147 negara pada 2016. Empat bulan setelah dilantik, 1 Juni 2017, Trump menyatakan Amerika Serikat keluar dari Kesepakatan Iklim Paris.
Keluarnya Amerika Serikat membuat banyak negara lain menyayangkan bahkan mungkin geram atas keputusan tersebut.
Bagaimana tidak? 14 persen emisi buangan disumbang oleh Amerika Serikat yang membuatnya menduduki posisi kedua negara penyumbang emisi buangan terbesar setelah China.
ADVERTISEMENT
Tak peduli telah disinggung, disindir, bahkan dikecam oleh para pemimpin negara lain, Trump bergeming. Bahkan ajakan sekaligus dari 19 orang pemimpin negara anggota G20 tetap gagal untuk menarik kembali AS dalam Kesepakatan Iklim Paris.
Bagi Trump, “Mematuhi Kesepakatan Iklim Paris dapat mengakibatkan hilangnya 2,7 juta pekerjaan di Amerika pada tahun 2025,” seperti dikutip dari The New York Times. Trump menolak untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil pada industri-industri di AS --yang artinya, menolak mengerem laju pemanasan global.
Bagi Trump, pemanasan global adalah hoaks. “Konsep pemanasan global itu diciptakan oleh dan untuk China demi membuat industri manufaktur AS tidak bisa bersaing,” begitulah bunyi tweet Trump pada 2012. Tak heran jika Trump kini berargumen, Kesepakatan Iklim Paris bisa merugikan perekonomian, memicu pengangguran, melemahkan kedaulatan AS, hingga bisa membuat negaranya kalah bersaing.
ADVERTISEMENT
Lagi pula dalam wawancaranya bersama Washington Post pada Maret 2016, Trump menyatakan bahwa dia tak begitu percaya bahwa perubahan iklim disebabkan oleh manusia.
“Saya rasa cuaca memang berubah. Saya tidak begitu memercayai bahwa perubahan iklim diakibatkan oleh ulah manusia. Saya bukan penganut hal itu. Tentu saja ada perubahan dalam cuaca. Lihatlah, pada 1920-an disebut pendinginan global dan sekarang pemanasan global.”
Ketidakpercayaan --atau ketidakpahaman-- Trump terhadap realita pemanasan global dan perubahan iklim memang sudah jauh-jauh hari terbaca. Pada 2013, dalam tweet-nya Trump menuliskan, “Mereka mengubah nama dari ‘pemanasan global’ menjadi ‘perubahan iklim’ setelah term pemanasan global tidak berdampak (karena sekarang terlalu dingin).”
Perubahan iklim, cuaca, dan pemanasan global.
Barangkali Trump --dan mungkin banyak orang lainnya-- kebingungan menghadapi istilah-istilah itu hingga membuat mereka mencampuradukkannya.
ADVERTISEMENT
Ketika Trump bicara soal salju yang mencapai 4 inci, maka ia tengah berbicara soal cuaca, yakni keadaan udara pada satu tempat tertentu dalam jangka waktu terbatas. Maka ia hanya sedang bicara soal cuaca bersalju di New York pada bulan Oktober 2011.
Sementara “pemanasan global” bukanlah perkara cuaca yang semakin panas di New York sehingga salju tidak bisa turun.
Pemanasan global (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Pemanasan global (Foto: Pixabay)
Pemanasan global adalah kenaikan suhu permukaan Bumi yang disebabkan oleh peningkatan gas buangan atau emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, dinitro oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan sulfur heksafluorida di atmosfer.
Kenaikan suhu permukaan Bumi ini berdampak pada perubahan iklim yang ekstrem. Catat, ekstrem. Itu artinya musim panas akan semakin panas, sementara belahan bumi lain mendapat kompensasi berupa musim dingin yang lebih dingin.
ADVERTISEMENT
Suhu Bumi telah meningkat 1,2 derajat dalam jangka waktu 200 tahun terakhir, dan diperkirakan akan meningkat 2 derajat dalam 100 tahun mendatang. Padahal, sebelum masa industrialiasi, perubahan sebesar 1 derajat saja membutuhkan waktu 3.000 tahun.
“Seseorang yang tinggal di satu lokasi bisa mengalami perubahan besar pada cuaca dan iklim, tetapi hal itu biasanya terkompensasikan oleh perubahan di belahan Bumi lainnya,” jelas Peter deMenocal, Ilmuwan Iklim Purba dari Columbia University, New York.
Karena para saintis khawatir banyak orang akan mengartikan pemanasan global sebagaimana kata penyusunnya --seperti Trump-- yakni panas dan global. Lalu serta-merta menganggap pemanasan global, berarti tak ada lagi musim dingin, tak ada salju pun hujan. Maka kemudian mereka lebih banyak menggunakan kata “perubahan iklim”.
ADVERTISEMENT
Perubahan Iklim bagi para saintis merujuk pada serangkaian konsekuensi akibat pemanasan global terhadap iklim, termasuk di dalamnya siklus turunnya hujan, makin panjangnya masa kekeringan dan gelombang panas, serta perubahan cuaca yang ekstrem hingga banjir, badai, dan topan.
Sialnya frase ini pun bisa disalahartikan seperti dicontohkan Trump yang menyatakan bahwa perubahan iklim adalah satu hal yang alamiah, bukan ulah manusia.
Pada 2014, Trump menulis, “Baik itu pemanasan global atau perubahan iklim, faktanya bukan manusialah penyebabnya. Jadi kita tidak bisa mencegahnya.”
Di Amerika Serikat, Trump bukan satu-satunya orang yang salah paham terkait istilah “perubahan iklim”. Penelitian yang dilakukan George Mason University menyatakan bahwa istilah perubahan iklim terdengar tak berbahaya, tidak seperti pemanasan global.
ADVERTISEMENT
Pemanasan global banyak diasosiasikan dengan mencairnya gletser, malapetaka di berbagai penjuru dunia, serta banjir dan cuaca ekstrem. Sementara perubahan iklim terdengar tidak berbahaya sama sekali.
Pada 2002, Frank Luntz, konsultan komunikasi politik Partai Republik, dalam laporan penelitiannya menuliskan bahwa “Perubahan iklim tidak semenyeramkan pemanasan global. Sementara pemanasan global memiliki konotasi malapetaka yang melekat di dalamnya, perubahan iklim terdengar lebih dapat dikontrol dan kurang menantang secara emosi.”
Lebih lanjut, Luntz menyatakan meski perdebatan di kalangan para saintis telah ditutup, namun masih terdapat ketidakpastian ilmiah terkait perubahan iklim atau pemanasan global.
Ketidakpastian ini, tulis Stephen M. Gardiner dalam buku A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change, ialah badai yang menghambat terlaksananya solusi persoalan dunia.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan payung teori besar membuat teori yang ada sekarang disebut Gardiner masih sangat terbelakang di banyak bidang terkait, seperti etika antargenerasi, keadilan, hingga hubungan manusia dengan alam.
Perubahan iklim (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Perubahan iklim (Foto: Pixabay)
Ketidakpastian ilmiah tentang perubahan iklim dan pemanasan global akhirnya gagal menjembatani dua badai lainnya: kesenjangan kekuatan di dunia global dan antargenerasi.
Bagi Gardiner, “global” menjadi kata kunci pertama. Di dunia ini, ada negara-negara kaya, ada negara-negara miskin. Negara-negara berpengaruh --seperti Amerika Serikat-- dan kaya biasanya lebih mampu untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan, serta bagaimana caranya hal itu bisa disesuaikan dengan kehendak mereka. Tapi tidak sebaliknya dengan negara-negara miskin dan rakyat di dalamnya.
Kata kunci kedua, tulis Gardiner, adalah “antargenerasi”. Sementara generasi kini bisa menentukan kemungkinan yang dihadapi di masa depan oleh generasi mendatang, hal tersebut tidak berlaku sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Di luar ketidakpastian payung besar term yang digunakan, satu hal yang dapat secara nyata dilihat adalah bagaimana pemanasan global dan perubahan iklim berdampak pada kekeringan berkepanjangan yang menyebabkan kelaparan, intensitas cuaca ekstrem dengan banjir dan badai yang makin tinggi, gelombang panas di India yang merenggut ribuan nyawa, udara beracun di beberapa kota industri yang terus digenjot berproduksi, ancaman kepunahan berbagai hewan seperti beruang kutub karena ruang hidupnya yang menyempit, dan sebagainya.
Realita tersebut terjadi di berbagai belahan dunia, tanpa kenal batas negara atau siapa presidennya.
Barangkali China sekarang tengah berupaya mengubah kotanya menjadi hutan kota --setelah menikmati polusi yang membuat warganya tak lagi mampu menghirup udara segar-- selain mempopulerkan penggunaan sepeda sebagai sarana transportasi.
ADVERTISEMENT
Sementara India, yang tengah berpacu mengejar negara maju dengan tingginya pertumbuhan penduduk, mencoba memenuhi kebutuhan energinya yang besar dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar.
Industri tak pernah mau beristirahat setelah revolusinya pada abad ke-18, hingga kini menawarkan segala sesuatu bertema ramah lingkungan. Upaya pencarian energi terbarukan pun masih terus digalakkan.
Sejak Protokol Kyoto pada 1997, hingga Paris Agreement 2015, janjinya sama: mengurangi emisi buangan.
Namun tak ada perubahan berarti. Serangan terhadap kesepakatan Protokol Kyoto justru menumpulkan tujuan semula dan menjadi ancaman kesepakatan iklim berikutnya.
Banyak pihak menolak jika hanya negara maju dan industri yang terlibat, meskipun mereka adalah negara penghasil emisi terbesar. Penghitungan besaran emisi buangan pun mendapat banyak kritik hingga pembiayaan yang memberatkan bagi sebagian kelompok.
ADVERTISEMENT
Kini keluarnya Amerika Serikat dari Kesepakatan Iklim Paris dan bersikukuhnya Trump bahwa perubahan iklim bukan ulah manusia dan ia hanyalah hoaks, mewujud tantangan nyata dalam memahami persoalan pemanasan global secara utuh. Minimal tak ada lagi salah paham seperti dicontohkan Trump, dalam menyelami panas dinginnya Bumi ini.
Protes Kebijakan Donald Trump. (Foto: Antara/Widodo S Jusuf)
zoom-in-whitePerbesar
Protes Kebijakan Donald Trump. (Foto: Antara/Widodo S Jusuf)