Revolusi: Pemuda Bersiap Mengepung Jakarta

15 Agustus 2017 9:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ini cerita dari masa yang berbeda. Puluhan tahun lalu, ketika aroma kekalahan Jepang sayup-sayup mulai tercium dan kedudukan Jepang di Asia Pasifik makin terdesak.
ADVERTISEMENT
Kuniaki Koiso, Perdana Menteri Jepang saat itu, mengiming-imingi hadiah kemerdekaan untuk Indonesia jika Jepang berhasil memenangkan Perang Asia Timur Raya. Janji tersebut ia ucapkan dalam pidato tanggal 7 September 1944.
Menurut sejarawan Taufik Abdullah, ada tiga alasan mengapa Jepang memberikan janji kemerdekaan. Pertama, demi menarik simpati rakyat. Kedua, untuk memperkuat politik Asia Timur Raya. Ketiga, untuk memperoleh keuntungan dalam percaturan perang, setidaknya nama baik.
Perang Asia Timur Raya kemudian digembar-gemborkan sebagai perang suci melawan kejahatan imperialisme Barat. Namun bersamaan dengan itu, kolonialis Jepang menguras tenaga rakyat Indonesia, baik sebagai tentara hingga kerja paksa di bawah rezim diktator militer mereka.
Sidik Kertapati, dalam bukunya berjudul Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945, menggambarkan zaman Jepang sebagai era perampokan, pembunuhan, kelaparan, dan perkosaan yang serba-biadab.
ADVERTISEMENT
Romusha. (Foto: KITLV.NL)
Masa pendudukan Jepang membuat banyak buruh yang menjadi romusha (pekerja paksa) diangkut ke daerah pertempuran, bekerja keras membanting tulang untuk membuat parit-parit kubu pertahanan dan lapangan militer. Sebagian dari mereka bahkan dikirim hingga ke hutan-hutan Burma, seolah mengantar nyawa demi pembangunan jalan kereta api Burma-Thailand.
Akibat beratnya beban kerja, kelaparan, dan penyakit, banyak romusha menemui ajalnya.
“Mayat manusia, kebanyakan mayat romusha, bergelimpangan di perempatan jalan merupakan pemandangan yang biasa," tulis Sidik, salah satu tokoh pemuda di masa revolusi, dalam bukunya.
Janji kemerdekaan digunakan Jepang sebagai taktik untuk mengelabui rakyat Indonesia demi memeras dukungan dari mereka. Sejak Jepang tiba di Indonesia setelah penyerahan tanah jajahan dari kolonial Belanda pada 7-8 Maret 1942, Jepang menggunakan berbagai propaganda dan janji untuk mengecoh masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mulai dari Gerakan Tiga-A (Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia) yang dipelopori oleh Hitoshi Shimizu, pemimpin Sedenbu (Departemen Propaganda Masa Kependudukan Jepang), sejak 29 Maret 1942 hingga ramalan Jayabaya, dimanfaatkan Jepang.
Pamflet ramalan Jayabaya yang disebar berisi pernyataan bahwa bangsa kulit kuning akan menolong dan memerintah tanah Jawa hanya selama “seumur jagung”.
Tentara Heiho. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Sejak 1943, Jepang yang mulai kehabisan pasukan perang berusaha keras untuk memobilisasi rakyat Indonesia secara langsung demi kepentingan tempur mereka. Untuk itu Jepang membentuk organisasi-organisasi semimiliter.
Pertama, Seinendan dibentuk 9 Maret 1943. Pasukan berisi pemuda itu bertujuan untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya. Kedua, Funjinkai yang khusus dibentuk bagi kaum perempuan sejak Agustus 1943. Anggotanya juga diberi latihan dasar militer.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Keibodan yang dibentuk sebagai pembantu polisi, bertindak selaku pengaman desa, termasuk mata-mata. Keempat, PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk pada Oktober 1943 dan dipersenjatai dengan senjata api. PETA dipimpin oleh orang Indonesia hingga tingkat komandan batalyon (shodanco).
PETA dalam perjalanannya kemudian berkembang menjadi organisasi dengan solidaritas kelompok yang kental. Pertalian sosial terjalin kuat di antara mereka dengan kelompok-kelompok kecil lokal. Dilatih dengan cara keras dan kejam, anak-anak kaum buruh dan petani yang banyak menjadi tumbal penjajahan itu tumbuh membentuk basis pasukan sukarela Indonesia yang mendukung gerakan revolusi.
Pada suatu malam di bulan Desember 1944, tiga shodanco yakni Umar Bahsan, Moh. Affan, dan Suharjana, beserta pasukannya berkumpul di markas PETA di Rengasdengklok setelah latihan bersama. Hasil pertemuan membulatkan tekad untuk memberontak terhadap Jepang dan bersepakat untuk memperluas jaringan dengan menjalin komunikasi rahasia dengan kelompok lain.
ADVERTISEMENT
Komunikasi yang terjalin itu bukan hanya antara PETA dengan kelompok gerakan pemuda seperti Gerindo, tapi bahkan dengan gerombolan kriminal kota yang memiliki kesadaran revolusioner. Kontak antara dunia kriminal di Jakarta dengan pergerakan nasional tumbuh, sebagian karena kebencian terhadap kolonial dan sebagian lain karena keahlian yang saling melengkapi, yakni komando atas huru-hara serta kendali atas organisasi sosial.
Pasar Baru, Jakarta, 1945. (Foto: kitlv.nl)
Robert Cribb, dalam buku Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 menulis, “Pendudukan Jepang menciptakan hubungan yang dekat antara dunia hitam dengan gerakan nasionalis dari generasi lebih muda, yang menjadi dasar suatu koalisi revolusioner pada 1945 dan sesudahnya.”
Pemberontakan PETA pertama meletus pada 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur, dipimpin oleh shodanco Muradi dan Supriyadi.
ADVERTISEMENT
“Penderitaan rakyat sudah sampai di puncak dan sudah tidak tertahankan lagi,” ujar Supriyadi saat itu seperti dikutip dari buku Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang.
Tapi pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh balatentara Jepang. Pengadilan Militer Jepang pada 14-16 April 1945 menjatuhkan hukuman mati kepada tiga shodanco, yakni dr. Ismail, Muradi, dan Suparjono; serta tiga budanco (komandan regu), yaitu Sunanto, Sudarno, dan Halir. Kepala mereka dipenggal.
Sementara Supriyadi menghilang tanpa bekas. Keberadaannya tak pernah diketahui lagi hingga kini.
Supriyadi (Foto: perpusnas.go.id)
Melihat gelombang pemberontakan yang mulai tampak di depan mata, Jepang menguatkan janji manisnya. Tepat pada hari ulang tahun Kaisar Hirohito, 1 Maret 1945, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbii Chosakai.
ADVERTISEMENT
Tujuan lain pembentukan BPUPKI, menurut Kolonel Miyoshi dari Gunseikanbu, adalah untuk meredam revolusi yang tak diinginkan jika tidak ada tindakan sebelum ulang tahun pendudukan Jepang di Indonesia, yakni 9 Maret.
Mengingat posisi Jepang yang semakin terdesak oleh Sekutu --meskipun ditutup-tutupi-- dan kecaman keras Sukarno pada September 1944 yang berisi, “...perjuangan kemerdekaan Indonesia lebih penting daripada janji Jepang”, maka dibentuklah badan yang bertugas untuk menyelidiki semua aspek dan membahas bentuk hingga dasar negara untuk Indonesia Merdeka.
Setelah purnatugas dengan menghasilkan rancangan undang-undang dasar Indonesia Merdeka, BPUPKI yang dipimpin dr. Radjiman Widyodiningrat, dengan 62 anggota dan 7 perwakilan Jepang, dibubarkan pada 7 Agustus 1945. Kemudian langsung dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai, sehari setelah pengeboman Hiroshima.
ADVERTISEMENT
Sementara pada 6 Agustus, BM Diah, wartawan sekaligus salah satu tokoh pemuda Angkatan Baru, bertemu dengan Tan Malaka. Harry A. Poeze dalam buku berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia mencatat bahwa Tan, yang memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari Banten, menjanjikan dukungan pemuda Banten untuk revolusi.
BM Diah, salah satu tokoh muda. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Keesokan harinya, 7 Agustus, BM Diah ditangkap dan ditahan karena ucapannya pada 6 Juli dalam sidang pertama Gerakan Rakyat Baru yang tegas menentang pemerintahan militer Jepang.
Pada 8 Agustus 1945, Sukarno, Mohammad Hatta, dan dr. Radjiman selaku pimpinan PPKI terbang menuju Dalat, Vietnam, untuk memenuhi undangan Jenderal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara.
Pertemuan yang tergolong berbahaya itu bersifat rahasia, mengingat pasukan Sekutu sudah menguasai wilayah Burma (Myanmar) dan Semenanjung Malaya.
ADVERTISEMENT
Sukarno-Hatta dan rombongannya, dengan menghindari penerbangan malam, terbang melalui Singapura lalu Saigon. Mereka tiba di Dalat pada 12 Agustus 1945. Di sana, Jenderal Terauchi menjanjikan kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada 24 Agustus.
Nagasaki sebelum dan sesudah di bom. (Foto: perpusnas.go.id)
Pada saat hampir bersamaan, kelompok pemuda mulai mengadakan pertemuan di Asrama Indonesia Merdeka, Kebon Sirih 80, pada 10 Agustus. Berita pengeboman Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada 6 dan 9 Agustus telah sampai ke telinga mereka.
Asrama Indonesia Merdeka merupakan salah satu markas kelompok pemuda di bawah pengawasan Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Tokoh penting dari kelompok ini adalah Wikana dan Yusuf Kunto. Mereka ikut mendesak agar kemerdekaan segera direbut.
Pertemuan berikutnya, 12 Agustus, berlokasi di Defensielijn van den Bosch 56 atau Bungur Besar, Kemayoran, yang merupakan markas kelompok DN Aidit. Saat itu, desas-desus kekalahan Jepang makin santer menguar di udara.
ADVERTISEMENT
Di kalangan mahasiswa, berita kekalahan Jepang yang tinggal menunggu waktu untuk menyerah, mendorong mahasiswa memboikot mata kuliah Bahasa Jepang. Berita tersebut menyebar dari pekerja Indonesia di radio militer Jepang.
Malam 13 Agustus, Jakarta diliputi kegelapan karena aliran listrik terputus. Kantor Berita Domei (kini Antara) tidak bisa menghubungi Kantor Berita Tokio sehingga tidak ada informasi baru yang masuk.
Saat Sukarno beserta rombongan tiba kembali di Bandara Kemayoran, Jakarta, pada 14 Agustus, berita kekalahan Jepang telah menjadi buah bibir di masyarakat. Namun begitu, Jepang berusaha menutupi kekalahan demi kekalahan yang dialaminya sejak Pertempuran Midway hingga Perang Pasifik pada Agustus 1945.
Berita Jelang Proklamasi (Foto: Dok. Istimewa)
Harian Asia Raya sebagai media propaganda dan satu-satunya yang terbit di Jakarta, hingga 14 Agustus masih menampilkan berita kemenangan Jepang dalam menghalau serangan Sekutu, di samping berita perkembangan menuju Indonesia Merdeka yang sejak lama dijanjikan Jepang.
ADVERTISEMENT
Pada hari kedatangan Sukarno, Hatta, dan dr. Radjiman di Jakarta dari Dalat, halaman depan Asia Raya menampilkan berita berjudul “Sebelum Jagung Berbunga, Indonesia Pasti Merdeka”.
Judul tersebut diambil dari penggalan pidato Sukarno setibanya di Jakarta yang menyatakan, “Kalau dulu saya katakan bahwa Indonesia Merdeka akan datang sebelum jagung berbunga, maka sekarang saya tegaskan bahwa Indonesia sudah merdeka sebelum jagung berbunga.”
Hatta kemudian dalam penjelasannya mengenai kunjungan ke Dalat menemui Jenderal Terauchi memaparkan bahwa, “Banyak syarat yang harus dilalui. Umpamanya, selama perang negara, Indonesia akan tetap dipimpin oleh balatentara Dai Nippon. Negara Indonesia ini akan menjadi anggota lingkungan Asia Timur Raya.”
Pada hari itu juga, sejumlah pemuda seperti Chaerul Saleh, Asmara Hadi, AM Hanafi, Sudiro, Sayuti Melik, dan SK Trimurti, telah berkumpul di kebun pisang dekat Lapangan Terbang Kemayoran menanti Sukarno.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan singkat itu, AM Hanafi dalam buku berjudul Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan menceritakan, “Kami, pemuda radikal seluruh Indonesia, jijik dan malu mendengarnya. Kami tidak mau ‘kemerdekaan hadiah’. Jangankan di kelak kemudian hari, janji merdeka besok pun kami tidak sudi menerimanya.”
Kelompok pemuda bersepakat untuk mengambil langkah supaya Indonesia tidak diserahterimakan kepada pihak Sekutu, dan proklamasi harus segera dilaksanakan tanpa campur tangan Jepang.
Sejak itu, tulis Osa Kurniawan Ilham dalam buku Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi, pusat komando berada di “Asrama Prapatan 10 di mana Eri Sudewo sebagai komandan dan Soejono Martosewojo sebagai pimpinan markas”.
Penjagaan di asrama pun diperketat dengan penggunaan sandi untuk keluar masuk asrama. Koordinasi dilakukan dengan asrama PETA dan Heiho untuk memperoleh senjata. Sementara kelompok pemuda lain ada yang bertugas memeriksa lokasi dan konsentrasi pasukan Jepang di Jakarta.
Asrama Menteng 31. (Foto: Dok. jakarta.go.id)
Saat itu para pejabat Jepang seolah mulai ketakutan. Orang-orang Jepang banyak yang tidak masuk kantor dan menutup diri di kamar masing-masing. Salah satu kolonel Jepang bernama Suzuki diketahui melakukan harakiri setelah menembak mati istrinya terlebih dulu.
ADVERTISEMENT
Bayangan akan gelombang kerusuhan dan pembunuhan karena balas dendam seperti ketika menyerahnya Belanda pada 1942, tiba-tiba tampak di pelupuk mata.
Keesokan harinya, 15 Agustus, setelah pidato penyerahan Jepang pada Sekutu beredar luas di radio, kelompok pemuda semakin membulatkan tekad.
Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)
Dalam pertemuan rahasia yang berlangsung di belakang Laboratorium Bakteriologi, Eijkman Istitute, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 17, mereka bersepakat, “Kemerdekaan Indonesia adalah hak serta persoalan rakyat Indonesia. Sama sekali tidak tergantung kepada siapapun dan negara manapun.”
Mereka juga memutuskan agar Sukarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada malam hari, Sukarno didatangi sejumlah pemuda, di antaranya Wikana dan Chaerul Saleh.
Wikana dan Chaerul Saleh yang merupakan dua di antara pentolan tokoh muda, menyatakan revolusi siap berkobar malam itu juga.
ADVERTISEMENT
“Kita sudah memiliki pasukan PETA, pasukan pemuda, Barisan Pelopor, bahkan Heiho sudah siap. Dengan satu isyarat dari Bung Karno, seluruh Jakarta pasti akan terbakar. Ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung Jakarta, melancarkan revolusi bersenjata serta menjungkirkan seluruh pertahanan tentara Jepang.”
Jakarta malam itu, 15 Agustus 72 tahun lalu, jelas menakutkan. Dengan kobar api revolusi di dada, para pemuda di seantero kota siap bertempur demi sebuah Indonesia Merdeka.
Jelang Kemerdekaan Indonesia (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Untuk kamu yang punya cerita menarik seputar riwayat Proklamasi Kemerdekan Indonesia, atau #Momentum72 tahun Indonesia merdeka saat ini, atau bahkan soal perlombaan 17 agustusan unik di lingkunganmu, sila berbagi cerita via akun kumparan kamu, ya.
Jika belum punya akun kumparan, yuk buat. Tak susah kok. Klik panduan berikut: Q & A: Cara Membuat Akun & Posting Story di kumparan
ADVERTISEMENT
Jangan lupa masukkan topik Momentum 72 saat kamu mem-publish story ;)
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.