Jalan Terjal “Menjaga” Kasus Munir

7 September 2017 16:17 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Infografis Kasus Munir Tetap Misteri (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Kasus Munir Tetap Misteri (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia (HAM) kelahiran 8 Desember 1965, dibunuh menggunakan racun arsenik dalam penerbangannya menuju Belanda untuk melanjutkan pendidikan. Pesawat Garuda bernomor GA-974 menjadi lokasi pembunuhan.
ADVERTISEMENT
Seorang kopilot Garuda, Pollycarpus, enam bulan kemudian ditetapkan sebagai tersangka, yang bebas setelah menjalani masa hukuman 9 tahun penjara.
Apakah itu berarti kasus pembunuhan terhadap Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial, jabatan terakhir Munir, usai dan semua misteri sudah terpecahkan?
Tidak.
Kematian Munir yang saat itu tengah memperjuangkan nasib para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dan Kopassus pasca-kejatuhan Soeharto, menyimpan banyak kejanggalan. Jika Pollycarpus seorang yang menjadi tersangka, apa motif kuat yang mendasarinya?
Setelah diketahui Munir tewas diracun, urgensi pembentukan tim independen untuk mengungkap kasus pembunuhan tersebut hadir.
ADVERTISEMENT
“Menyerahkan sepenuhnya pada prosedur hukum konvensional dikhawatirkan akan mengulang kegagalan yang lalu. Selama ini belum ada penyelesaian hukum yang memadai untuk pengungkapan setiap kasus pembunuhan yang terjadi,” demikian dikutip dari tulisan Membongkar Konspirasi Kasus Munir yang diterbitkan KontraS.
Gagasan yang terus bergulir itu kemudian seolah mendapat respons positif.
Pada 7 November 2004, Susilo Bambang Yudhoyono yang baru menjabat sebagai presiden mengakui kasus Munir harus menjadi salah satu prioritas kerja 100 harinya. Namun ucapan bernada beda muncul sebulan kemudian, ketika pemerintah memutuskan untuk menunggu perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh Kepolisian RI.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan barangkali memang sudah menjadi salah satu karakter para petinggi negeri ini.
Setelah gelombang pemberitaan berbagai media gencar mendesak pemerintah untuk mengungkap kasus pembunuhan ini, akhirnya dibentuklah Tim Pencari Fakta Kasus Munir (TPF Munir).
ADVERTISEMENT
TPF Munir ini disahkan dengan Keppres No. 111 Tahun 2004. Batas waktu kerja TPF hanya tiga bulan dan bisa diperpanjang tiga bulan berikutnya. Tim khusus yang dibentuk ini terdiri dari 14 orang yang diketuai oleh Marsudi. Mereka bertanggung jawab langsung terhadap Presiden.
Hanya tiga bulan masa kerja, dengan segala keterbatasan yang ada, baik dari segi waktu, ruang, sumber daya manusia, hingga keuangan, TPF memberikan hasil kinerjanya ke pejabat terkait lewat Sekretaris Kabinet saat itu, Sudi Silalahi. Mereka adalah Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BIN, Panglima TNI, dan Menteri Hukum dan HAM.
Hasil temuan Tim Pencari Fakta Kasus Munir menyatakan, setidaknya ada 6 orang yang menjadi tersangka, mulai dari aktor intelektual yang mendalangi pembunuhan Munir, hingga eksekutor. Pollycarpus hanya salah satu di antara mereka.
Munir (Foto: Rubrik Bahasa)
zoom-in-whitePerbesar
Munir (Foto: Rubrik Bahasa)
TPF Munir memberikan 3 rekomendasi, dengan rincian sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. TPF merekomendasikan kepada Presiden RI untuk meneruskan komitmen Presiden dalam pengungkapan kasus pembunuhan Munir secara tuntas hingga mencapai keadilan hukum. Untuk itu perlu dibentuk sebuah tim baru dengan mandat dan kewenangan yang lebih kuat guna menindaklanjuti dan mengembangkan temuan-temuan TPF, serta mengawal seluruh proses hukum dalam kasus ini, termasuk dan terutama yang dapat secara efektif menindaklanjuti proses pencarian fakta di lingkungan BIN.
2. TPF merekomendasikan kepada Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri melakukan audit atas keseluruhan kinerja tim penyidik kasus meninggalnya Munir dan mengambil langkah-langkah konkret untuk meningkatkan kapasitas penyidik Polri secara profesional dalam mengusut tuntas permufakatan jahat dalam jangka waktu yang wajar.
3. TPF merekomendasikan kepada Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri agar melakukan penyidikan yang lebih mendalam terhadap kemungkinan peran Indra Setiawan, Ramelga Anwar, AM Hendropriyono, Muchdi PR, dan Bambang Irawan dalam permufakatan jahat melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir.
ADVERTISEMENT
Namun hingga sebulan lewat, laporan TPF –sesuai Keppres No. 111 Tahun 2004– belum juga dipublikasikan oleh Presiden SBY. Padahal secara legal jelas tertulis dalam poin kesembilan, "Pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan Tim kepada Masyarakat".
Tahun demi tahun berlalu, hingga masa tugas SBY tuntas, laporan TPF Munir tak kunjung dipublikasikan. Proses hukum pun mandek.
Poster Munir dalam aksi Kamisan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Poster Munir dalam aksi Kamisan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Hampir setahun setelah Laporan TPF Munir diserahkan, SBY hanya memberikan pernyataan diplomatis atas perkembangan kasus Munir pada acara pembukaan Kongres XXV Himpunan Mahasiswa Islam di Makasar, 20 Februari 2006.
Ia menyatakan tetap meminta aparat penegak hukum untuk melanjutkan dan menuntaskan pengungkapan kasus Munir secara transparan. Selebihnya, tidak ada tindakan nyata dan tegas yang mendukung ucapannya tersebut.
“Bahkan untuk menjalankan kewajibannya sendiri –berdasarkan Keppres No. 111 Tahun 2004– tidak dipenuhinya, yaitu membuka hasil laporan TPF ke publik,” dikutip dari artikel KontraS berikutnya berjudul Tiga Tahun Dibunuhnya Munir.
ADVERTISEMENT
Setelah lebih dari 10 tahun penuh kesabaran menanti janji manis pemerintah, KontraS mengajukan Sengketa Informasi Publik, meminta laporan TPF segera dipublikasikan pada 28 April 2016.
Drama pun terjadi.
Sekretariat Negara pada Maret 2016 menyatakan tidak memiliki informasi yang dimaksud. Enam eksemplar Laporan Tim Pencari Fakta yang diserahkan sejak 2005 itu entah ada di mana. Atas alasan itu, pemerintah tidak bisa memenuhi tuntutan KontraS untuk membongkar isi laporan TPF Munir kepada publik.
Keraguan pun muncul. Bagaimana bisa enam eksemplar laporan yang telah dikirimkan ke pejabat-pejabat terkait itu hilang. “Misalnya Polri, Setneg, Setkab, Kejaksaan. Kalau dikatakan hilang itu tidak mungkin,” ujar Hendardi, mantan anggota TPF, dikutip dari kompas.com.
Hendardi heran jika tak ada yang menyimpan dokumen hasil kerja TPF. “Masa Jaksa Agung enggak tahu ada dokumen itu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Komisi Informasi Publik telah memutuskan bahwa Laporan TPF Munir itu harus diumumkan dan dibongkar kepada publik.
Keraguan dan tanda tanya terus bergulir di tengah masyarakat, dan menarik kembali nama SBY sebagai pihak yang dinilai paling bertanggung jawab terkait Laporan TPF tersebut.
Apakah dokumen Laporan TPF itu sengaja dihilangkan?
SBY pun melakukan konferensi pers di kediamannya, Cikeas, pada 25 Oktober 2016. Ia mengatakan, “Sangatlah tidak benar jika laporan TPF Munir itu sengaja dihilangkan,” kata Sudi sebagai juru bicara.
Dalam konferensi pers tersebut dinyatakan, yang dimiliki oleh SBY hanyalah salinannya saja.
Tak hanya soal hilangnya dokumen Laporan TPF Munir, mimpi buruk terjadi ketika Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membatalkan putusan Komisi Informasi Publik. Itu artinya, Sekretariat Negara tidak berkewajiban untuk membuka dokumen tersebut kepada publik.
ADVERTISEMENT
“Menyatakan batal putusan KIP RI 025/IV/KIP-PS/2016 tanggal 10 Oktober 2016 sebagaimana dimohonkan keberatan permohonan,” ujar Ketua Majelis Hakim Wenceslaus, dalam sidang putusan di PTUN Jakarta, Jalan Sentra Timur Jaktim, Kamis (16/2).
“Alasan pemerintah belum mengumumkan hasil TPF kasus meninggalnya Munir sebagaimana Keppres No. 111/2004 tentang Tim Pencari Fakta karena tidak ada pada pihak pemohon keberatan (Setneg),” ujar Wenceslaus.
Tentu saja hal ini mengecewakan banyak pihak. Atas putusan itu, Suciwati Munir bersama KontraS tak tinggal diam.
Kasasi pun diajukan kepada Mahkamah Agung pada 27 Februari untuk membatalkan putusan PTUN Jakarta. Hal itu karena PTUN Jakarta menyatakan dokumen TPF Munir bukan informasi publik.
PTUN juga menolak permohonan informasi dari Kontras terhadap Kementerian Sekretariat Negara. PTUN beralasan, Setneg sudah menyatakan berkas hasil TPF kasus Munir hilang.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi jalan pencarian kebenaran itu terhalang.
Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan KontraS. Menurut mantan Koordinator KontraS, Haris Azhar, dikutip dari tempo.co, penolakan kasasi oleh MA harus didasarkan pada argumentasi dan alasan yang jelas.
“Misalnya, karena masih ada pengembangan penyidikan atau pencarian fakta. Tapi, kalau hanya memperkuat argumentasi bahwa dia (Sekretariat Negara) enggak punya dokumennya, itu artinya ada yang rusak dalam negara,” ujar Sudi.
Sementara Koordinator KontraS, Yati Andriyani, menyatakan kepada kumparan (kumparan.com), “Pemerintah mengelak dengan menolak memberikan informasi dan juga menolak untuk mengumumkan kepada masyarakat, yang kemudian ini menjadi bola liar. Menjadi sesuatu yang tidak menentu.”
“Sebetulnya mau ada atau tidak ada putusan kasasi di MA, ini tidak menggugurkan kewajiban presiden untuk mengumumkan kepada masyarakat dokumen TPF Munir,” imbuh Yati.
ADVERTISEMENT
Karena kebenaran harus diungkap.
Infografis Kasus Munir Tetap Misteri (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Kasus Munir Tetap Misteri (Foto: Bagus Permadi/kumparan)