Wawancara Kepala LAPAN: Uji Klaim Ilmiah dan Teori Konspirasi Bulan

19 Oktober 2017 15:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Di pagi yang cerah, Selasa (11/10), kami berkendara menuju kantor Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang terletak di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur. Hari itu kami hendak bertemu Thomas Djamaluddin yang menjabat Kepala LAPAN sejak 2014.
ADVERTISEMENT
Setibanya di sana, kami segera disambut senyum ramah Thomas. Pria kelahiran Purwokerto, 23 Januari 1962, itu meniti karier di LAPAN sejak 1986 setelah lulus dari jurusan Astronomi ITB di tahun yang sama.
Thomas menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di Kyoto University, Jepang, dengan jurusan sama: astronomi. Di kantornya, kami berbincang selama lebih dari satu jam, mulai dari kasus Dwi Hartanto hingga teori konspirasi.
Bagi Thomas, peneliti dan ilmuwan hidup di dunia sunyi dalam mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan suatu karya. “Bahwa kemudian nanti karyanya itu memberikan manfaat, biarlah komunitas ilmiah yang memberikan apresiasi. Kalau itu kemudian memberikan manfaat kepada publik, biarlah publik yang nantinya mengapresiasi,” tuturnya.
Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Bersama Thomas, kami membongkar beberapa klaim ilmiah dan teori-teori konspirasi terkait antariksa yang beterbangan di dunia maya. Berikut cuplikan obrolan kami.
ADVERTISEMENT
kumparan: Terkait kasus Dwi Hartanto, kami ingin mengonfirmasi kembali beberapa hal sebagai bagian dari pembelajaran kami. Sebelum ramai rilis pengakuannya, ia menyatakan diminta untuk mengembangkan pesawat tempur generasi keenam dan memiliki paten Lethal Weapon in The Sky terkait jet tempur itu.
Thomas: Kalau disebut sebagai pesawat tempur, itu tidak mungkin karya perorangan, pasti karya suatu tim. Jadi tidak mungkin bisa diklaim bahwa seseorang ditugasi untuk melakukan penyempurnaan, melakukan inovasi-inovasi seperti itu karena tidak ada orang yang menguasai segala hal untuk suatu sistem yang kompleks seperti pesawat tempur.
Dalam emailnya kepada kumparan, Dwi Hartanto menyebut mengembangkan pesawat tempur bersama timnya. Berikut nukilan pernyataan Dwi terkait hal tersebut:
… setelah saya dan team sukses mengembangkan pesawat tempur generasi ke-5 bersama Airbus Defence and Space, yaitu Eurofighter Typhoon NG (dalam tahap akhir pengujian dan sebentar lagi akan dirilis) yang mempunyai kemampuan tempur jauh lebih canggih dari generasi sebelumnya dari segi engine design dan performance, kecepatan, design dan struktur aerodinamik, teknologi avionik, dan EW (Electronic Warfare) serta persenjataan tempurnya.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari keberhasilan tersebut, saya dan team kemudian didaulat untuk meneruskan progress teknologinya ke level berikutnya, yaitu dengan merancang bangun pesawat berteknologi baru yag masuk dalam kategori pesawat tempur generasi ke-6 yang bakalan jauh lebih kompleks dan canggih dari pesawat tempur generasi ke-5 tersebut.
Thomas: Terkait dengan disebut Lethal Weapon in The Sky, senjata yang mematikan di dirgantara atau antariksa, nah itu istilahnya saja cenderung seperti istilah di dalam science fiction. Jadi istilah dari fiksi ilmiah.
Biasanya kalau dalam teknologi persenjataan, itu disebut apakah suatu misil atau apapun. Sistem itu menjadi suatu sistem yang rahasia. (Tapi) apalagi ini diumum-umumkan ya, jadi saya kira itu juga sesuatu yang bukan pada tempatnya.
ADVERTISEMENT
Kalau sebut saja senjata yang mematikan untuk sesama pesawat tempur, saat ini sudah banyak yang mengembangkan juga.
kumparan: Dwi menyatakan teknologi Lethal Weapon in The Sky menggunakan hybrid-air breathing rocket engine yang memungkinkan pesawat tempur melesat hingga ketinggian 300 kilometer. Adakah kejanggalan dalam teknologi ini?
Thomas: Kalau sampai dengan 300 km itu sesungguhnya sudah masuk ke ruang antariksa. Jadi kalau sekadar pesawat tempur, biasanya hanya sampai ketinggian stratosfer, sekitar belasan kilometer sampai mungkin 20-an km.
Kalau itu disebut sebagai senjata penghancur, itu bukan lagi penghancur pesawat tempur, tapi penghancur satelit. Dan teknologi penghancur satelit sudah ada. Beberapa sudah dikembangkan, umumnya disebut sebagai anti-satellite missile seperti yang dikembangkan oleh Amerika, kemudian dikembangkan oleh RRT (Tiongkok).
ADVERTISEMENT
Jadi kalau hanya sampai ketinggian 300 km, itu sebenarnya tidak aneh. Karena sampai 800 km pun sudah ada, dan itu sudah terbukti bisa menghancurkan satelit. Jadi kalau usulan, gagasan, yang namanya sedikit fiksi ilmiah, lethal weapon in the sky itu bahasa umumnya disebut sebagai anti-satelite missile --misil anti satelit.
kumparan: Apakah teknologi hybrid air-breathing rocket engine seperti yang disebutkan Dwi --mampu beroperasi bergantian dari mode penerbangan level atmosfer ke mode penerbangan near-space dalam kecepatan hipersonik-- adalah teknologi termutakhir?
Thomas: Kalau disebutkan sebagai kombinasi untuk terbang di atmosfer, untuk roket tidak lagi memperhitungkan seperti halnya pesawat terbang. Memang ada perhitungan aerodinamis supaya meluncurnya lurus, jadi ada sirip di roket tersebut, umumnya sebagai satu sistem roket kemudian ditambah sistem kendalinya, yang nantinya mengarah pada objek sasaran. Sesungguhnya apa yang disebutkan itu bukan teknologi baru. Itu teknologi yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
kumparan: Bagaimana dengan teknologi electromagnetic radar jamming yang mampu mengacaukan dan merusak sistem avionik pesawat musuh, termasuk senjata misil berbasis komputer dengan daya jangkau 25 kilometer. Apakah itu juga teknologi yang sudah ada?
Thomas: Sistem, sebut saja jamming atau katakan seperti mematikan radar lawan, itu teknologi yang sekarang sebenarnya sudah biasa dan banyak digunakan. Kalau kemudian di situ (dalam klaim Dwi) disebut computerize, ya memang sekarang sistem kendalinya terprogram. Jadi itu sesuatu yang sebenarnya sudah ada, bukan hal baru.
Planet bumi. (Foto: Wikimedia Commons)
kumparan: Soal lain, bagaimana penjelasan LAPAN terkait pro-kontra Bumi Datar vs Bumi Bulat yang sempat ramai?
Thomas: Saya sudah menyebut bahwa (teori) Bumi Datar itu sudah tergolong sebagai pembodohan publik. Jadi bukan sekadar informasi dari kelompok-kelompok yang ingin mengungkap, sebutlah konspirasi, ini sudah mengarah pada pembohongan publik. Jadi memutarbalikkan informasi atau memenggal informasi.
ADVERTISEMENT
Biasanya kalangan bumi datar menyorot terkait keberadaan satelit. Mereka biasa menanyakan, kalau satelit itu betul ada, mengapa tidak terlihat. Padahal sudah ditunjukkan buktinya, kalau mau melihat satelit pada saat-saat tertentu itu bisa.
Melalui situs heaven-sabove.com, sesudah magrib atau sebelum matahari terbenam, itu ada lisnya yang melintasi Jakarta itu satelit apa saja, dan apakah itu bisa dilihat dengan mata atau tidak. Nanti (satelit itu) terlihat seperti bintang yang bergerak lambat. Itu setiap saat bisa dideteksi. Kalau untuk ISS (International Space Station) yang objeknya besar, bisa dilihat dengan binokuler atau teleskop. Jadi keberadaan satelit itu ada.
Satelit di luar angkasa (Foto: Wikimedia Commons)
Ketidakpercayaan pada satelit itu sesungguhnya berakar pada ketidakpercayaan pada gravitasi. Karena gravitasilah yang menyebabkan bumi, planet-planet, bintang, semuanya berbentuk bulat, karena ada yang disebut self-gravitation, gravitasi diri. Itu yang menyebabkan objek menjadi bulat. Jadi bulan pun itu asal mulanya dari pecahan bumi, kemudian ada gravitasi pada dirinya yang kemudian (membentuknya) menjadi bulat.
ADVERTISEMENT
Nah, soal gravitasi juga itu bisa dijelaskan. Bahwa bulan itu jatuh ke (berputar mengelilingi) bumi dengan cara mengorbit. Bumi dan planet-planet jatuh ke matahari karena gravitasi matahari, dengan cara mengorbit. Jadi pada satelit, ketika kita meluncurkan satelit, itu jatuh ke bumi dengan cara mengorbit.
Mereka tidak mengakui kebenaran itu dengan (memakai) logika-logika yang keliru. Kekeliruan itu kemudian bertambah-tambah lagi. Tidak memercayai gerhana dengan mekanisme bahwa gerhana itu karena matahari tertutup oleh bulan, kemudian menyebabkan bayangan di bumi.
Gerhana Matahari Total di Amerika Serikat (Foto: REUTERS/Jason Redmond)
Ketika ditunjukkan bukti, akurasi, ketika terjadi gerhana matahari, 9 Maret 2016, mereka tidak menerima itu. Ketika terjadi gerhana matahari Agustus 2017 di Amerika Serikat, mereka juga tidak memercayai itu. Padahal itu sudah ditunjukkan.
ADVERTISEMENT
Jadi mereka memutarbalikkan informasi, kemudian ya cenderung memberikan pembodohan kepada publik. Diceritakan bahwa bumi ini datar, kemudian dikelilingi oleh dinding es yang dijaga sekian banyak tentara. Itu suatu hal yang tidak logis.
Ilustrasi Bumi Datar (Foto: Flat Earth Society)
Tapi karena sekarang ini dengan teknologi informasi bisa dibuat rekayasa, (mereka) membuat video-video. Nah, itu secara visual bagi orang awam menarik. Orang yang tidak membandingkan dengan informasi yang betul-betul ilmiah, bisa saja kemudian terbawa (logika Bumi Datar). Ini yang sekarang, menurut saya, sudah jadi gerakan pembodohan publik.
Tentu dalam era keterbukaan informasi, (pendapat) itu sah-sah saja. Tapi kita juga harus melakukan edukasi publik, termasuk media massa juga ikut melakukan edukasi publik untuk menjelaskan hal yang sesungguhnya, bahwa Bumi Bulat itu adalah suatu keniscayaan karena bumi itu tidak berbeda dengan planet-planet lain.
ADVERTISEMENT
Bulatnya bumi itu disebabkan oleh gravitasi diri, dan konsekuensi adanya gravitasi itu kemudian juga bisa menjelaskan adanya satelit. Jadi kalau mereka menjelaskan citra yang diperoleh oleh satelit itu hanya CGI (computer-generated imagery), sekadar rekayasa komputer, itu jelas sama sekali tidak berdasar.
Astronot di bulan (Foto: Wiki Images)
kumparan: Teori konspirasi apa yang menurut anda paling ramai dibicarakan?
Thomas: Ada orang yang menyebut astronot mendarat di bulan sebagai konspirasi. Sateli-satelit dianggap konspirasi. Sekarang logika sederhananya, apakah sekian ratus ribu ilmuwan di dunia ini bisa (ikut serta) dalam konspirasi NASA?
Pendaratan di bulan oleh astronot itu benar karena ada bukti-buktinya. Penerbangan ke bulan itu suatu keniscayaan, dengan teknologi yang tadi saya jelaskan, soal orbit satelit, kemudian ada manuver satelit untuk akhirnya sampai ke bulan.
ADVERTISEMENT
Itu satu hal yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Astronot bisa mendarat di sana (bulan) kemudian mengambil sampel bulan, diteliti sampelnya. Betul itu sampel bulan, bukan rekayasa sampel di bumi, karena ada ciri-ciri tertentu yang menunjukkan bahwa itu betul-betul sampel bulan.
Bendera Berkibar di Bulan (Foto: nasa.gov)
Kemudian juga dari sekian dugaan konspirasi misalkan menyebutkan, “Kan di bulan itu tidak ada atmosfer, mengapa bendera yang ditancapkan di sana berkibar?” Itu kan dijelaskan bahwa bendera yang dibawa oleh astronot memang sengaja dibuat kaku. Tiang penyangganya bukan tiang penyangga tunggal, tapi ada penyangga dari (atas) bendera supaya terlihat seperti bendera yang tegak.
Mengapa dia bisa berkibar, karena ketika ditancapkan itu ada getaran akibat penancapan tersebut. Jadi itu bergeraknya bukan karena angin, tapi karena getaran ketika ditancapkan.
ADVERTISEMENT
kumparan: Bagaimana sikap anda ketika menemukan klaim-klaim atau teori konspirasi lain?
Thomas: Banyak dugaan-dugaan yang sekadar konspirasi, itu semuanya bisa dibantah. Jadi kalau, sebut saja, ada dugaan apakah betul teknologi yang dikembangkan oleh negara-negara maju sampai eksplorasi ke Mars? Ya tinggal dibuktikan saja.
Apakah foto-foto yang dibuat di Mars itu logis atau tidak? Kemudian, bagaimana manuver wahana antariksa yang dikirim ke sana, itu bisa dihitung ulang. Jadi ilmuwan bisa mengecek ulang apakah itu rekayasa atau betul-betul penerbangan yang sampai ke sana.
Informasi ilmiah sesungguhnya adalah informasi yang bisa dikaji oleh ilmuwan lain. Karena salah satu metode ilmiah itu adalah keterbukaan informasi untuk nantinya bisa diuji. Kalau suatu temuan tidak bisa diuji oleh ilmuwan yang lain, itu dicurigai. Bisa saja itu rekayasa. Tapi karena ini bisa diuji, apakah secara teoritik, observasi, atau modelling, itu semuanya bisa diuji.
ADVERTISEMENT
Jadi sekarang apapun klaimnya bisa diuji, apakah itu sungguhan atau rekayasa.
Horizon membuktikan bahwa bumi itu bulat. (Foto: Blog Thomas Djamaluddin)