Cobalah Lebih Berbaik Kata, Sedikit Saja

Rina Anita Indiana
Universitas Bhayangkara Surabaya. Brevet ABC Perpajakan. Bersertifikat Konsultan Pajak B. Kuasa Pengadilan Pajak.
Konten dari Pengguna
18 September 2021 19:54 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rina Anita Indiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
sumber : Unsplash
ADVERTISEMENT
Dua tahun lalu saya berada dalam keadaan harus safari dari rumah sakit ke rumah sakit. Kontrol segala penyakit, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun bukan sakit saya itu yang ingin saya ceritakan.
ADVERTISEMENT
Saya berjumpa begitu banyak ragam petugas yang melayani pendaftaran. Mendaftar di berbagai poli, mengantri di apotek, dan berganti-ganti rumah sakit.
Rumah sakit swasta, apalagi yang grade A kebanyakan lumayan. Mengantri di sini menyenangkan. Tempat duduk empuk, toilet bersih dan modern, kafetaria bagus, lantai kinclong, seragam perawat elegan.
Petugasnya juga cukup cekatan. Ramah. Alur pelayanan terpampang dengan jelas. Sedangkan di sebuah rumah sakit pemerintah, keadaan berbeda jauh seperti bumi dengan eksosfer.
Saat itu saya harus ke RSUD besar untuk tes MRI. Saya berangkat sendiri.
Sampai di sana saya amati sekitar. Bahkan tidak tahu harus mulai dari mana karena tidak ada tulisan 'start'.
Poli rawat jalan besar sekali. Pasien juga banyak sekali. Kabarnya mereka sudah datang sejak subuh. Saya melihat banyak orang masuk lalu belok ke loket kiri, sedangkan sedikit di antaranya belok kanan. Tidak ada tanda apapun yang menunjukkan apa bedanya belok kanan dan belok kiri. Saya memilih mengikuti yang lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Saya menuju mesin antrian lalu memencet sesuai instruksi. Selanjutnya saya mengamati, karcis itu diserahkan ke seorang ibu di samping mesin.
"KTP sini atau bukan?" tanya beliau.
Saya menyebutkan daerah saya.
Tidak disangka-sangka ibu itu menyembur saya. "Sudah dibilang kalau bukan KTP sini daftarnya di sana!" Dia menunjuk arah belok kanan tadi.
Saya mengurut dada. Seolah ibu itu sudah mengatakan pada saya sebanyak seribu kali dan saya tetap mengulang kesalahan. Sembari menunggu di tempat yang benar saya mencoba mendinginkan hati.
Ibu itu mungkin bekerja di sini lima tahun, mungkin sepuluh tahun, mungkin dua puluh tahun. Dia sudah bosan dengan orang yang salah memilih nomor antrian. Dia bosan menjelaskan, bosan mengulang. Mungkin demikian.
ADVERTISEMENT
Namun apa susahnya menjelaskan dengan baik. Ingat, dia menjelaskan ke mungkin jutaan orang, tapi itu bukan orang yang sama. Apa susahnya memberikan kesan baik? Yang terjadi pada saya, satu menit interaksi dengannya mungkin akan saya ingat sebagai memori negatif untuk waktu yang sangat lama.
Atau bila dia ingin tidak ada kesalahan, ajukan agar ada alur jelas tertulis di depan. Juga ada petunjuk detil. Setelahnya mungkin tetap ada orang yang salah jalan, tapi ini harus dimaklumi. Karena memang mengarahkan orang agar sesuai tempat mendaftarnya adalah tugasnya.
Coba saja beliau menyampaikan ke saya dengan lebih patut. Hari saya pagi itu mungkin lebih indah. Hari yang indah membuat saya tersenyum saat penjaja kue basah menawarkan dagangan, lalu membeli satu. Karena suasana hati saya buruk. Saya memilih duduk diam. Juga tidak mengobrol dengan orang yang sama-sama menunggu.
ADVERTISEMENT
Kalau saja beliau mau berbaik kata sedikit...
Berhentilah berkata buruk, jangan-jangan itu membuat suasana buruk dan menjadi menular.
Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular.