Mendukung Kontribusi Lebih Orang Kaya dengan RUU Pajak

Rina Anita Indiana
Universitas Bhayangkara Surabaya. Brevet ABC Perpajakan. Bersertifikat Konsultan Pajak B. Kuasa Pengadilan Pajak.
Konten dari Pengguna
22 Juli 2021 21:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rina Anita Indiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : unsplash
zoom-in-whitePerbesar
sumber : unsplash
ADVERTISEMENT
Barangkali Anda tidak menyadari bahwa Indonesia cukup ’surga’ bagi orang kaya. Bagaimana tidak, begitu banyak fasilitas pajak yang dapat dinikmatinya. Sebenarnya fasilitas ini ditujukan kepada orang berpenghasilan rendah, tetapi dalam praktiknya justru bocor kepada orang kaya.
ADVERTISEMENT
Barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak tidak kena Pajak Pertambahan Nilai. Contoh paling sering kita jumpai adalah beras. Negara memberikan fasilitas tidak kena PPN agar semua rakyat dapat membeli beras dengan harga murah. Namun, beras yang yang dikonsumsi orang kaya ternyata juga tidak kena PPN. Dengan demikian seolah-olah negara memberikan subsidi PPN untuk orang kaya.
Berkebalikan dengan fakta di atas, orang berpenghasilan rendah justru membeli barang kebutuhannya dari sektor informal. Mereka membeli beras dari pedagang kecil di pasar, yang bahkan tidak mengenal mekanisme PPN. Jadi kalaupun beras masuk pada barang yang kena atau tidak kena pajak, bagi mereka tidak ada pengaruhnya.
Ini baru beras. Sedangkan UU PPN saat ini punya begitu banyak barang dan jasa tidak kena pajak. Data statistik Direktorat Jenderal Pajak menyebutkan bahwa orang kaya melakukan konsumsi lebih besar daripada orang miskin, serta memanfaatkan fasilitas PPN tidak terutang lebih banyak. Maka sebenarnya ada potensi penerimaan negara yang menguap hilang karena Undang-Undang mengizinkan.
ADVERTISEMENT
Ini juga baru dari sisi PPN. Masih ada banyak insentif lain yang didapat orang kaya, yang lagi-lagi bila di-review, akan terlihat bahwa tidak tepat sasarannya.
Terdapat dua prinsip pemajakan. Yang pertama adalah benefit principle, bahwa atas barang yang sama maka pengenaan pajaknya sama. Ini prinsip yang lebih banyak dianut pada UU PPN saat ini. Sedangkan yang kedua adalah ability to pay, siapa pun yang punya penghasilan lebih besar maka harus membayar pajak lebih besar. Di dalam RUU Pajak, ability to pay mengambil tempat di depan.
RUU Pajak muncul saat negara sedang dirundung defisit anggaran akibat COVID. Penerimaan negara harus digenjot. Negara juga harus memikirkan cara agar pemungutan pajak dengan lebih berkeadilan. Tidak boleh juga ada bocor-bocor lagi.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang diusulkan di RUU Pajak adalah semua barang dan jasa dikenakan PPN. Tidak perlu lagi ada fasilitas atau perkecualian. Kemudian perlu juga adanya adjust tarif PPN, dari semula sebesar 10 % menjadi 12 %. Sebagai catatan, kenaikan ini selaras dengan tren dunia bahwa rata-rata tarif PPN dunia naik menjadi 15,4%. Juga kenaikan ini sebagai penyeimbang atas tren penurunan tarif PPh Badan.
RUU Pajak juga mengusulkan adanya tarif PPN maksimal 25% untuk barang-barang yang bersifat luxuries yang biasanya dikonsumsi orang kaya. Tarif PPN yang dulunya tunggal dirasa kurang adil mengingat ada barang yang ditujukan untuk orang kaya dan berkemampuan membayar pajak lebih besar. Seharusnya atas barang ini PPN yang dikenakan juga lebih besar.
ADVERTISEMENT
Dari sisi PPh Orang Pribadi, RUU Pajak mengusulkan penambahan lapisan pajak atas penghasilan kena pajak. Saat ini terdapat empat lapisan dengan tarif maksimal 30%. Diusulkan ditambah satu lapisan baru yaitu 35% untuk penghasilan di atas 5 milyar.
DJP merangkum data bahwa hanya 0,35 % wajib pajak OP yang mempunyai penghasilan kena pajak di atas 5 M. Namun dengan lapisan tertinggi 30 % saja wajib pajak kaya ini sudah menyumbang 14,28 % dari total penerimaan PPh OP. Seperti hukum pareto, yang sedikit inilah yang menyokong perekonomian. Maka di sinilah potensi pajak bisa digali lebih dalam. Penerimaan lebih besar akan didapat dengan meningkatkan lapisan pajak tertinggi menjadi 35 %.
Selain penghasilan yang kena pajak, terdapat juga fasilitas dan kompensasi non tunai yang diterima oleh karyawan perusahaan yang disebut fringe benefit atau natura dan kenikmatan. Khusus untuk karyawan level atas, fringe benefit ini dapat berupa kendaraan, tiket perjalanan wisata, dan fasilitas mewah lainnya dengan nilai yang fantastis.
ADVERTISEMENT
Saat ini mekanisme yang berjalan adalah atas fringe benefit ini tidak menjadi biaya di perusahaan, dan juga tidak menambah penghasilan karyawan. Mengingat tarif PPh OP lebih tinggi daripada PPh Badan, skema ini berpotensi dimanfaatkan wajib pajak sebagai jalan bagi penghindaran pajak.
Data DJP menyebutkan bahwa lebih dari 50 % yang menikmati fringe benefit ini adalah WP dengan lapisan pajak tertinggi. RUU Pajak menutup celah ini dengan cara mengubah pemajakan fringe benefit menjadi taxable deductible.
Skema lainnya yang ditawarkan RUU Pajak dan juga cukup membuat heboh adalah ‘Tax Amnesty jilid 2”. Sebenarnya yang saat ini dibahas di DPR bukan Tax Amnesty jilid 2. Ini adalah Pengungkapan Aset Secara Sukarela (Voluntary Disclosure Asset).
ADVERTISEMENT
Khusus untuk wajib pajak yang sudah mengikuti Tax Amnesty jilid 1, dan masih mempunyai aset yang lupa belum dilaporkan, maka saat ini dapat diungkapkan dengan sukarela. Tarifnya cukup ringan. Cukup dengan membayar sebesar 15 % dari nilai harta. Itupun masih ada bonus menjadi 12,5 % bila aset nya diinvestasikan ke Surat Berharga Negara (SBN).
Kemudian untuk wajib pajak orang pribadi yang mempunyai aset diperoleh tahun 2016 sampai dengan 2019 yang belum dilaporkan, maka dapat diungkapkan dengan nilai tebusan 30 % saja. Kembali ada bonus menjadi 20 % saja bila asetnya diinvestasikan ke SBN.
Lantas kenapa aset yang lupa tidak dilaporkan saja ada tebusannya? Sederhananya rumus penghasilan adalah investasi ditambah konsumsi. Bila pada sebuah tahun terdapat investasi (harta) baru yang signifikan, DJP dapat langsung cek silang penghasilannya. Apakah penghasilannya sudah dipajaki dengan benar? Bila belum, DJP dapat menetapkan nilai kurang bayarnya. Percayalah pengenaan sanksi dari penetapan DJP ini tarifnya cukup besar. Maka sebaiknya VDA saja.
ADVERTISEMENT
Target penerimaan negara dari VDA ini hanya 6,7 triliun. Ini target yang tidak terlalu besar. Namun lagi-lagi berapa pun nilai yang bisa diraih maka perlu diupayakan. Harus ada strategi nyata dan segera untuk menambah pemasukan sebagai penyeimbang besarnya pengeluaran untuk recovery akibat COVID-19.
Sejak awal digulirkan, RUU Pajak ini memang memantik begitu banyak tanda tanya besar. Baru setelah diadakan serangkaian sosialisasi oleh DJP, sedikit demi sedikit mulai terang. Arahnya memang pengaturan pajak yang lebih adil bagi semua. Juga pengurangan obral fasilitas laksana surga.
Mungkin dengan RUU Pajak ini ‘surga’ akan sedikit naik suhunya, dan mungkin saja orang berpenghasilan rendah akan ikut merasakan demamnya. Janji pemeritah adalah bahwa akan ada redistribusi kepada masyarakat berpenghasilan rendah.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, memang tidak ada kebijakan pajak yang adil diterapkan untuk semua orang. Pemerintah sudah memaparkan argumentasi yang melandasi RUU Pajak ini. Maka inilah second best policy yang diambil.
Seharusnya sudah tepat, lampu panggungnya menyorot orang kaya.
Rina Anita Indiana, praktisi perpajakan