Apa Pentingnya Pendidikan Alternatif di Mata Agama Revolusi Industri?

R H Setyo
Pembaca Buku
Konten dari Pengguna
21 Januari 2020 13:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R H Setyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
oleh : Rino Hayyu Setyo*
Proses identifikasi dan asesmen kebutuhan belajar masyarakat.
Dari tahun ke tahun, laporan tentang kondisi negara pasti mendapati sebuah laporan akhir. Data akhir tahun tersebut digunakan untuk melihat prioritas strategis apa saja yang akan dilakukan tahun mendatang. Baik dalam hal ekonomi, politik, pertahanan, kesehatan sampai pendidikan. Negara mewakilkan pekerjaan itu kepada para menteri baru beberapa bulan menjabat di Indonesia. Masih segar dalam jabatan.
ADVERTISEMENT
Proses evaluasi dan perencanaan setiap tahun ini merupakan bagian dari pembangunan. Yakni, sebuah upaya merekayasa kondisi sosial masyarakat untuk mencapai target yang ditentukan dalam perencanaan strategisnya. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir Indonesia ‘diminta’ untuk mengikuti revolusi industri 4.0. sebuah proyek cara memproduksi barang dari mekanik ke digitalisasi. Semua sektor strategis dikampanyekan untuk mengikuti agama ‘revolusi industri’. Apapun eranya, inti dari setiap perjalanan perubahan sosial ialah pembangunan.
Salah satu mahzab dalam pembangunan yang sampai saat ini masih melegenda ialah teori pembangunan dari Rostow. Ia figur kunci yang mendesain lembaga donor internasional Amerika dikenal dengan USAID (U.S. Agency for International Development). Dalam bukunya ”The Stages of Economic Growth” (1960), Rostow memaparkan pembangunan negara dari tradisional menuju modern melalui lima tahap.
ADVERTISEMENT
Pertama, negara mempunyai masyarakat yang sangat tradisional dengan karakteristik utamanya adalah sistem perekonomian subsisten, yakni ikatan kekeluargaan masih kuat dan teknologi yang berkembang belum menyentuh mesin.
Kedua, negara yang kondisi masyarakatnya siap lepas landas. Karakteristik utama masyarakat tersebut dikatakan Rostow adalah berkembangnya sistem agrikultur dan penggunaan teknologi mesin untuk bekerja. Pada tahap tersebut Rostow mengatakan akan muncul sistem perbankan dan investasi. Nilai-nilai tradisional masih eksis namun ada indikasi perubahan pada nilai-nilai modern.
Ketiga, negara yang kondisi masyarakatnya lepas landas. Karakteristik utamanya, elemen tradisional mulai tenggelam oleh modernisasi. Urbanisasi terjadi di kota-kota besar, pertanian mengalami komersialisasi, dan industrialisasi berkembang pesat. Dengan demikian, grafik ekonomi akan meningkat setiap tahunnya.
Keempat, kondisi masyarakat dalam sebuah negara menuju kedewasaan. Karakteristik utama masyarakat itu meliputi pertumbuhan ekonomi yang secara umum konsisten meskipun masih ada fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi negara ini telah memasuki pasar internasional, bahkan nilai investasi yang mulai mampu bersaing secara global. Negara itu juga dikatakan mulai mengenal aplikasi teknologi dan terus mengalami kemajuan seiring teknologi baru ditemukan.
ADVERTISEMENT
Kelima, negara memiliki kondisi masyarakatnya sebagai masyarakat konsumsi (the age of high mass consumption). Karakteristik utamanya, masyarakat berada pada peralihan produksi barang menjadi produksi jasa. Masyarakat telah mencukupi kebutuhan dasarnya dan menghabiskan konsumsi untuk jaminan dan kesejahteraan sosial. Komposisi pekerjaan didominasi oleh pekerja perkotaan, sektor jasa menjadi sektor dengan keterampilan tinggi, dan pendapatan per kapita tiap orang diatas rata-rata. Rostow berpendapat, Amerika Serikat adalah negara pertama di dunia yang mencapai tahap ini. Teori pembangunan yang diusulkan Rostow ini dianggap bisa diterapkan pada negara-negara berkembang. Bagitupun di Indonesia. Pernah zaman menerapkan persis teori permbangunan Rostow, tepatnya pada pemerintahan orde baru yang mempunyai misi pembangunan.
Pilihan Pembangunan Pendidikan antara Tradisionalisasi dan Modernisasi
ADVERTISEMENT
Dalam masa pembangunan, kali ini saya coba melihat pada konteks pendidikan di Indonesia. Kegaduhan tiap awal tahun baru di Indonesia, salah satunya ialah perdebatan antara ada atau tiada ujian nasional (UN) untuk siswa. Baik jenjang sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA). Namun, berbeda dengan awal tahun ini. Justru keramaian itu muncul dari kalangan pendidikan nonformal-informal atau pendidikan masyarakat. Tak tanggung-tanggung, mereka awal tahun ini sudah melakukan dua aksi penting.
Pertama, aksi #savedikmas pada 8 Januari. Kedua, mereka melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR RI pada 14 Januri lalu. Aksi-aksi tersebut untuk merespon Peraturan Presiden (Perpres) 82 tahun 2019 tentang struktur organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang digawangi ‘Mas’ Nadiem Makarim yang dinilai tidak memahami pasal 26 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Inti permasalahan yang disampaikan para akademisi dan pegiat pendidikan masyarakat ini ialah hilangnya nomenklatur Direktorat Jenderal (Ditjen) PAUD Dikmas. Akan tetapi, diganti dengan Ditjen PAUD Dikdasmen.
ADVERTISEMENT
Di balik keramaian itu, saya mencoba melihatnya dari sisi lain. Berbincang pendidikan, dalam berbagai pandangan dan teori terdapat banyak definisi. Ringkasan berbagai teori itu telah dimasukkan dalam UU Sisdiknas yang menyebutkan jika pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif dalam mengembangkan potensi diri. Maka diperlukan sebuah rekayasa sosial atau perubahan sosial terencana untuk meraih misi yang diharapkan negara. Akhir dari proses perubahan sosial itu ialah pemenuhan terhadap kebutuhan hidup masyarakat.
Saya menyadari jika perubahan dalam kemajuan industri, termasuk pendidikan, tidak bisa dihindari. Karena memang perubahan merupakan keniscayaan dan menentang keniscayaan itu berarti siap digerus zaman. Misi untuk memajukan industri pendidikan tercantum dalam salah satu prioritas Mendikbud Nadiem Makarim pada akhir tahun lalu. Yakni, pada prioritas keempatnya, pengembangan teknologi. Nadiem menyebut fokus dari teknologi ini ia sebut bisa membantu guru, dalam menjalankan kegiatan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Dalam wacana yang dikatakan Nadiem, terdapat pertanyaan mendasar.
1. Apakah jenis profesi dalam pendidikan hanya guru?
2. Apakah Mas Menteri mengerti tentang adanya profesi lain dalam pendidikan yang mengurus dalam jalur pendidikan selain formal?
3. Bagaimana konsep pendidikan nonformal dan informal dalam menyambut revolusi industri yang khusus membahas pengembangan teknologi?
Dalam menjalankan proses pembangunan, pasti terjadi dua jalan sekaligus. Pertama, ada jalan atau kesanggupan bagi mereka yang bisa mengikuti pembangunan. Kedua, ada pula mereka yang akan tertinggal karena belum siap menerima pembangunan itu.
Pertama, mereka yang bisa mengikuti jalannya pembangunan, maka akan mudah mengikuti sebuah program pendidikan yang disebut pelatihan-pelatihan. Kegiatan atau program belajar pelatihan memang dikhususkan bagi mereka yang siap menjadi agen untuk mengubah kondisi sebuah institusi, organisasi, maupun kelompok sosialnya.
ADVERTISEMENT
Kedua, sedangkan bagi mereka yang tidak bisa mengikuti, harus secara perlahan mendapatkan pendidikan secara tradisional dengan basis lingkungan sekitarnya. Bagi kelompok tradisional yang tidak siap menghadapi kemajuan pembangunan atau industrialisasi ini maka jalur pendidikan yang ditempuh ialah pendidikan nonformal dan informal. Meskipun pendidikan nonformal juga bisa saja dilakukan untuk masyakat urban atau perkotaan. Pendekatan yang dilakukan pendidikan nonformal dalam melayani masyarakat mestinya dilakukan dengan pendekatan etnografi.
Kondisi yang mengakibatkan adanya aksi yang dilakukan massa dari pegiat pendidikan masyarakat atau pendidikan nonformal dan informal ini karena mereka mempunyai semangat membangun pendidikan. Saya juga tidak tahu tepatnya, apakah mereka terlanjur nyaman dengan kondisi sebelumnya atau memang tidak ada naungan khusus yakni direktorat yang mengurusi jalur pendidikan nonformal seperti yang diharapkan para pegiat.
ADVERTISEMENT
Wacana Mas Menteri Nadiem tentang sinergitas antarjalur pendidikan memang terobosan yang harus diacungi jempol. Apalagi, dia juga mengusung jargon ‘Merdeka Belajar’. Namun, sepertinya saya ragu Nadiem apakah benar-benar membaca tentang konsep kemerdekaan belajar. Saya tidak tahu juga yang dimaksud Nadiem dalam merdeka ini apakah Liberal Arts, Freedom, atau Independent?
Lantas, selama ini kampanye merdeka belajar hanya berkutat dalam sistem pembelajaran di kelas. Apakah memang belajar hanya cukup di kelas? Bagaimana dengan jalur pendidikan nonformal yang menyuguhkan pendekatan lingkungan? Mereka sewaktu-waktu bisa ke sawah atau kebun untuk mempelajari lingkungan dan alamnya.
Sampai sekarang, saya menyimpulkan Mendikbud Nadiem ini masih rancu definisi antara pendidikan dengan pembelajaran. Ya, tentu tulisan ini merupakan otokritik terhadap kampus yang menyediakan jurusan serumpun Ilmu Pendidikan. Karena, permasalahan pendidikan yang sedang terjadi ini sebenarnya tidak hanya urusan jurusan Pendidikan Nonformal-Informal atau Pendidikan Luar Sekolah, tapi juga mereka yang belajar penuh di Fakultas Ilmu Pendidikan.
ADVERTISEMENT
*Penulis ialah mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang, Jurnalis, dan Siswa Sekolah Indonesia Bernalar (SIB) di Kota Malang.