Merayakan Kedangkalan Pendidikan dalam Masa Krisis Akibat COVID-19

R H Setyo
Pembaca Buku
Konten dari Pengguna
13 Mei 2020 11:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R H Setyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan pembelajaran untuk anak-anak. Foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan pembelajaran untuk anak-anak. Foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Mendengar hasil riset dari salah satu komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bisa dibilang antara biasa saja atau bahkan bisa jadi mengejutkan. Dikatakan biasa saja mungkin karena kondisi pendidikan Indonesia karena terdampak Coronavirus atau COVID-19 sudah bisa dibayangkan sejauh apa. Bahkan kalau dikatakan mengejutkan, bagi saya mungkin hanya karena kuantitas yang terdampak dalam bidang pendidikan. Khususnya, bagi mereka yang diukur dengan variabel pendidikan formal atau sekolah yakni anak-anak dan remaja. KPAI mencatat ada sekitar 68,2 juta anak yang merasakan ketidaksiapan sekolah dengan sistem daring atau pembelajaran jarak jauh. Tentu bervariasi pula indikator dalam mengukur ketidaksiapan tersebut, paling mudah jika dilihat dari infrastruktur teknologi dan adaptasi masyarakat terhadap pola baru ini. Semegah apapun kita merayakan untuk masuk dalam pemercepatan revolusi industri 4.0 karena Corona, namun data tersebut harus dibaca sebagai fakta lapangan.
ADVERTISEMENT
Selama dua bulan ini, semua pembelajaran mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT) telah bertransformasi dari tatap muka dialihkan menjadi pembelajaran jarak jauh dengan teknologi informasi yang tengah berkembang dengan basis aplikasi, seperti Whatsapp, Facebook, Google Classroom, Edmodo, Google Meeting, Zoom, dan sebagainya.
Karena ketidaksiapan itu sudah bisa dipastikan jika masyarakat yang tengah mengunyah pendidikan formal ini tentu akan menemukan ketidakmaksimalan. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, semua hasil belajar murid diuji oleh seorang guru dengan penilaian atau evaluasi. Kali ini justru mereka akan menempatkan ketidakmaksimalan pendidikan formal tersebut dalam sejarah perjalanan hidupnya. Akan tetapi, bisa jadi mereka yang menyadari ketidakmaksimalan itu akan memberkas dan membentuk sikap tanggung jawab yang tinggi tentang korelasi makna belajar dan tanggung jawab tersebut dalam sebuah proses pendidikan.
Webinar Dampak Sosial EKonomi COVID-19 Pada Anak-anak di Indonesia oleh AJI Indonesia dan UNICEF, Senin (11/5) lalu.
Dari Pasien Menjadi Korban Apa yang disampaikan Retno Listyarti seorang Komisioner KPAI dalam webinar yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan UNICEF pada Senin (11/5) lalu, ia secara tegas dalam materinya menyebut anak sekolah merupakan korban dari sebuah kebijakan pembelajaran jarak jauh. Mengapa ia mengatakan demikian? Tentu alasannya ialah tidak meratanya fasilitas dan kepastian dari pemerintah pusat bahwa pembelajaran yang sedang berjalan justru menimbulkan banyak masalah baru. Ada tiga masalah utama dampak pembelajaran psikis dan fisik yang dialami anak ketika menjalankan pembelajaran jarak jauh. yang dicatat yakni, kelelahan, kurang istirahat, dan stres. Dari hasil survei dengan variabel pembelajaran jarak jauh ini, Retno menyimpulkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kebijakan belajar di rumah secara mendadak ini tidak direspon secara cepat oleh pemerintah, baik kota/kabupaten, provinsi, maupun pusat. Kedua, pembelajaran jarak jauh berjalan tanpa komunikasi, koordinasi, dan fasilitasi dan mengakibatkan murid dan guru menjadi korban. Ketiga, kondisi ini hanya memfasilitasi bagi anak dari keluarga perekonomian kelas menengah dan kelas atas yang relatif bisa memiliki kemampuan dan akses digitalisasi yang memadai.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi ini, sempat mengajukan ide tulisan di kumparan.com berjudul Menguji Kolaborasi Akademi di Tengah Pandemi pada 29 April lalu. Semua sektor masyarakat terkena dampak dari Corona. Seperti pendidikan, perekonomian, lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, semua lapisan masyarakat adalah pasien. Pandemi Corona merangsang seluruh penyakit diberbagai bidang. Tak hanya penyakit dalam makna harfiah untuk kesehatan manusia, namun penyakit yang datang mengakibatkan dampak dalam sektor pendidikan dan perekonomian. Saya menyebutnya pasien, namun lebih tegas lagi KPAI menerangkan jika murid dan guru ialah korban.
Asumsi Masalah Saat Pandemi Kondisi tentang korban kebijakan itu membuat refleksi dalam dunia pendidikan. Tidak hanya sektor ekonomi dan kesehatan, pendidikan sebagai salah hajat hidup sehari-hari pun perlu diperhatikan oleh semua kalangan. Khususnya, para akdemisi dan sarjana pendidikan yang mempunyai tanggung jawab kesarjanaan dalam ikut menyelesaikan masalah ini. Saya melihat sekiranya ada asumsi masalah yang terjadi selama ini. Pertama, pendidikan dikira hanya sebuah proses pembelajaran antara guru dan murid. Sehingga target dari pendidikan hanya menyelesaikan target kurikulum. Wajar apabila dalam masa pandemi banyak keluhan dari murid jika guru memberikan beban tugas setiap pertemuan dalam mata pelajaran. Karena dianggap untuk mengganti proses pertemuan di kelas. Kedua, pendidikan hanya dilihat dari perspektif persekolahan atau jalur pendidikan formal. Padahal menurut Philips Coombs ada tiga jalur pendidikan yakni formal, nonformal, dan informal. Ini juga sesuai dengan taksonomi Axinn tentang ralasi aktivitas belajar individu. Aktivitas belajar yang hakikatnya ialah sebuah kebebasan berpikir dan membuktikan sesuatu peristiwa, baik dalam ilmu sosial maupun eksakta hanya berubah menjadi rutinitas presensi kelas.
ADVERTISEMENT
Bisakah mata pelajaran menjadi lebih fungsional dalam melihat kondisi pandemi COVID-19 yang berada di tengah masyarakat? Seharusnya pertanyaan ini menjadi muncul dari kalangan pendidikan. Misal pelajaran matematika dan ekonomi, difungsikan untuk memahami persoalan penghitungan keuangan keluarga. Untuk menghitung pemasukan dan pengeluaran keluarga, apalagi bagi mereka yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun pendapatan pekerja informal yang semakin sulit. Dari hasil pengumpulan catatan keuangan keluarga itu diceritakan secara verbal maupun ditulis untuk berbagi pengalaman dengan tetangga. Sehingga terjadi interaksi antara keluarga yang satu dengan lainnya. Di sinilah bekerjanya, pelajaran Bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Atau secara spesifik masyarakat agraris, mereka bisa memfungsikan mata pelajaran dengan matematika dan ekonomi untuk menghitung hasil panen di ladang.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya hal ini sudah banyak diilustrasikan dengan berbagai model dan metode pembelajaran dikembangkan para praktisi dan peneliti pendidikan. Seperti, pembelajaran kontekstual, pembelajaran mandiri, hingga pembelajaran transformatif. Namun, kenyataannya guru belum siap menerapkan terobosan yang secara teoritis telah tersedia. Padahal, kondisi ini telah dinyatakan darurat, justru dengan kondisi ini pula masyarakat bisa menerapkan pembelajaran kontekstual dan transformatif untuk kehidupannya.
Diharapkan, masyarakat akan memahami bahwa seluruh mata pelajaran itu bisa dimanifestasikan sebagai sebuah tindakan nyata. Mungkin, selama ini pelajaran hanya dianggap sebagai formalitas presensi di kelas untuk mendapatkan ijazah. Semestinya, apapun gejala atau peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat sejatinya ialah gambaran nyata untuk menerjemahkan mata pelajaran yang diterima murid maupun guru.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Jika Terjadi Krisis Pendidikan? Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam beberapa kesempatan menyampaikan jika kondisi pandemi ini jauh lebih berbahaya dari krisis ekonomi pada 2008 silam. Berbagai kebijakan mulai realokasi hingga refocusing anggaran pun diharapkan bisa menyelamatkan sektor yang terdampak krisis perekonomian akibat COVID-19. Termasuk dalam sektor pendidikan nasional. Dalam kondisi krisis, saya teringat cerita salah seorang filsuf pendidikan Paulo Freire dalam buku Pedagogy in Process: The Letters to Guinea-Bissau yang diterjemahkan menjadi Pendidikan Sebagai Proses (2000). Freire melakukan advokasi di wilayah negara jajahan Portugal, yakni Guinea-bissau di Afrika pada 1975. Ia melakukan terobosan bersama Amilcar Cabral untuk membongkar kondisi pendidikan. Akhirnya, keduanya menemukan akar permasalahannya ialah budaya terjajah dari masyarakat Afrika yang dilakukan oleh kolonial Portugal. Keduanya sepakat untuk menyebutnya sebagai perang. Yakni perang untuk mencapai kebebasan. Visi profetik Amilcar Cabral melakukan analisis terhadap kehidupan negara yang disebut dengan mengadukan kehidupan yang menindas dan mengumumkan sebuah tatanan masyarakat baru yang sedang dibangunnya melalui perubahan revolusioner. Freire menjelaskan pendidikan yang diwariskan oleh penjajah menuntut perubahan infrastuktur secara masif dan ideologis dengan simultan. Untuk mengubah itu, sistem pendidikan yang diterapkan ialah melatih guru-guru baru dan melatih ulang guru-guru lama. Mereka yang berusaha melepaskan dari gaya kolonial golongan guru baru. Sedangkan ada pula yang menolak, mereka termasuk golongan yang telah merasa terbiasa terjajah. Oleh karena itu, Freire mengajak untuk para guru rela melakukan bunuh diri kelas (commit class suicide). Freire mempunya tiga poin penting untuk membongkar kondisi tersebut. Yakni mempelajari sejarah Guinea-Bissau dari Komisi Pendidikan, mengunjungi zona yang sudah bebas dari kolonial Portugal, dan membuat perencanaan proyek kerjasama.
ADVERTISEMENT
Memperkuat Freire, dalam buku At Home in The World karya Eilon Schwartz (2009) menerangkan apa yang disampaikan salah seorang filsuf pendidikan John Dewey, tidak ada esensi di dunia, melainkan sebuah kenyataan yang terus berubah dan berkembang. Perubahan bagi Dewey memiliki dua makna. Pertama adalah makna itu tidak dapat ditemukan di luar peristiwa yang sedang hadir dalam beberapa cita-cita dan tujuan yang ideal. Makna ditemukan dalam interaksi antara manusia dan dunianya. Kedua, Dewey berpandangan bahwa manusia bukanlah penonton pasif di dunia alami. Melainkan sebagai partisipan aktif dalam arah alam dan sejarah.
Lantas bagaimana dengan kemungkinan krisis nanti? Gejala yang tengah terjadi di masyarakat harus segera ditindaklanjuti. Meskipun masih ada potensi penyebaran virus dan belum diketahui kapan berakhirnya pandemi. Namun, saya optimis jika pemerintah bisa melakukan intervensi untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Sekali lagi, dalam tulisan sebelumnya saya pernah menyampaikan jika pendidikan nonformal bisa melayani dan menjawab permasalahan ini. Bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat desa maupun langsung membuat satgas pendidikan untuk melayani masyarakat.
ADVERTISEMENT
Saya berharap ada sebuah kolaborasi dari mahasiswa dan sarjana yang diorganisir dengan seleksi ketat, sehingga bisa dikirim ke daerah yang masih aman untuk memberikan materi kepada siswa yang ada di desa tersebut. Semua pihak mulai dari RT/RW, desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota bisa saling berkoordinasi untuk menjadwalkan para mahasiswa dan sarjana untuk mendatangi rumah warga. Mengapa harus sangat ketat seleksinya? Sebab, mahasiswa dan sarjana itu akan diseleksi dengan harapan mereka melakukan dengan motif profesi bukan mencari sensasi.
Kegiatan yang seperti ini semestinya bisa dilakukan oleh negara karena jurusan Pendidikan Luar Sekolah/ Pendidikan Nonformal/ Pendidikan Masyarakat di beberapa perguruan tinggi yang mempunyai Fakultas Ilmu Pendidikan telah menyiapkan mahasiswa dan sarjana yang mengetahui secara matang paradigma developmentalis atau pembangunan masyarakat. Kajian ini banyak didiskusikan dari tipe program pendidikan nonformal yang disampaikan Boyle (1981). Daerah yang masih aman dari COVID-19 di desa tersebut bisa digunakan tempat untuk mengabdikan dirinya. Dengan mengorganisasi dari beberapa bidang pengetahuan dari keguruan. Sehingga, ada kerjasama antara profesi kesehatan dengan pendidikan. Hal ini akan membuat masyarakat merasakan kehadiran pemerintah di level RT/RW. Munculnya potensi keramaian dan kegaduhan pun bisa dicegah melalui agen kesehatan dan pendidikan yang dikirimkan pemerintah ke dessa-desa tersebut. Sembari, pemerintah terus melakukan imbauan agar masyarakat tertib melakukan pembatasan fisik dan sosial.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pemangku kebijakan juga harus membuat kurikulum lebih fungsional untuk menangani kondisi ini apabila berkepanjangan hingga akhir tahun nanti. Karena, untuk mencapai masyarakat yang gemar belajar (learning society) diperlukan kesadaran tentang tanggung jawab dalam belajar. Sehingga, tidak pun belajar di sekolah masyarakat tetap bisa bertanggungjawab atas apa yang dipelajari. Tentunya hal itu diharapkan bermanfaat untuk menyiapkan masa depannya.
Rino Hayyu Setyo*
*Penulis adalah mahasiswa program magister Pendidikan Luar Sekolah FIP UM. Berkantor di tugumalang.id partner kumparan.com serta siswa Sekolah Indonesia Bernalar. Sekarang tengah mendirikan rintisan lembaga penelitian i-READ.