Merdeka Belajar ala Ki Hajar Dewantara dan Tan Malaka

R H Setyo
Pembaca Buku
Konten dari Pengguna
6 Mei 2020 10:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R H Setyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ki Hajar Dewantara dan Tan Malaka. Foto: dokumen google.
zoom-in-whitePerbesar
Ki Hajar Dewantara dan Tan Malaka. Foto: dokumen google.
ADVERTISEMENT
Momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei lalu sebenarnya saya menyiapkan tulisan berjudul Pesan Kartini kepada Suwardi dan Tan. Sebuah pesan dari Kartini yang menginginkan sebuah emansipasi untuk perempuan berbuat lebih demi masyarakat, agar tak terkesan hanya menjadi konco wingking atau teman di dapur dan kasur. Tema feodalisme yang selalu dilawan oleh Kartini, meskipun ia juga tidak berhasil secara tindakan, namun ia berjasa dalam pemikiran. Kisah-kisah dari suratnya untuk para sahabat pena di Belanda.
ADVERTISEMENT
Bahkan, tepat memperingati hari lahir Kartini, 22 April lalu, saya sempat menuliskan tentang ‘Dokter’ Kartini dan Penyakit Stafodemi. Dalam suratnya, Kartini menggambarkan jika ia ingin menjadi seorang dokter, guru, atau pengarang terkenal. Itu semua lenyap, dan hanya menjadi bahan bacaan para intelektual setelah zamannya. Apa yang diinginkan Kartini mungkin dijawab oleh Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara dan Tan Malaka ketika bersekolah di Negeri Kincir Angin.
Eksistensi Pendidikan Bersama ku bercerita, bersama ku dicerita. Sebuah penggalan teks hymne mahasiswa Ilmu Pendidikan di atas yang membawa pada imajinasi tentang ekstensi peng-aku-an. Tidak sekadar ‘aku’ yang sendiri namun ada ‘aku’ yang bersama. Kebersamaan bercerita dan dicerita ialah sebuah tindakan untuk melakukan aktivitas yang menyejarahkan. Cerita disini bisa jadi dimaknai kata sejarah sebagai kata kerja. Dengan melakukan kebersamaan menyejarahkan maka diharapkan akan ada penyejarahan tentang tindakan dan aktivitas itu. Begitulah mungkin imajinasi pengarang hymne tersebut. Apakah bisa mengartikan kata ‘aku’ dari penggalan hymne di atas sebagai makna individualis? Tentu boleh saja, namun bukankah kebersamaan menjadi salah satu nilai histori dari bangsa kita? Termasuk dalam pendidikan yang merupakan sebuah upaya sosial untuk mencapai tujuan sosial. Yakni, mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, lahirnya banyak organisasi dengan misi mendidik rakyat, minimal membebaskan buta huruf sejak zaman prakemerdekaan. Taman siswa, Muhammadiyah, Budi Utomo, dan sebagainya. Mulanya organisasi pergerakan ini pun dilarang oleh Belanda, namun karena Politik Etis yang diajukan Kartini kepada para sahabatnya itu, berbuah manis terhadap kenangan sejarah pendidikan nasional.

Konseptualisasi Merdeka Belajar dari Kartini, Ki Hajar Dewantara dan Tan Malaka

Dalam berbagai perdebatan, ide ‘Merdeka Belajar’ yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim ialah gagasan segar. Saking segarnya, banyak lidah yang berharap merasakan adanya sensasi baru untuk menikmati pendidikan. Namun mari kita periksa, apa yang dimaksudkan Nadiem Makarim dalam hal merdeka belajar.
Saya mulai dari Kartini. Sosok perempuan yang berani mengkritik kultur feodal Jawa dan menempatkan perempuan hanya sebagai hiasan kamar dan dapur. Seolah perempuan tidak pantas untuk duduk di ruang tamu dan teras rumah sebagai seseorang yang turut menyambut kebaruan tamu yang berupa tema masyarakat. Konsekuensinya mereka tidak boleh berbicara apalagi mengambil sikap tentang kondisi masyarakat sama sekali. Hal ini diakibatkan dari tertutupnya akses untuk mempelajari hal di luar rumah. Kartini menyebutkan keinginan memerdekakan perempuan dengan kata emansipasi.
ADVERTISEMENT
Kedua, tentang Ki Hadjar Dewantara dan Tan Malaka. Dalam novel sejarah berjudul ‘Tan’ yang ditulis oleh Hendri Teja, ia menceritakan jika keduanya bertemu dalam ketidaksengajaan. Sosok Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara itu diceritakan menghampiri Tan Malaka di kantor pos. Saat itu, Tan sedang berselisih paham dengan polisi Belanda karena wajahnya dicurigai tidak mirip dengan foto kartu pengenalnya. Ki Hajar Dewantaralah yang menjamin Tan Malaka agar bisa mendapatkan uang kiriman dari wesel itu dan mengajak Tan untuk bergabung dalam perhimpunan Hindia di Belanda. Dalam sebuah babak pertemuan kaum pelajar Hindia, sebuah pidato dari Ki Hajar Dewantara sangatlah menggugah pikiran khalayak.
Mari bersulang untuk Politik Etis,” kata Ki Hajar disambut tepuk tangan riuh. “Ya, tapi kemudian aku berpikir, Tuan-tuan. Aku benar-benar berpikir tentang apa yang selanjutnya akan kita lakukan. Untuk apa pendidikan kita? Untuk apa kita menjadi orang terpelajar? Hanya untuk menjadi sekrup dalam mesin sistem pemerintahan? Tidak mungkin. Mestinya kita juga memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi kepada gubermen Hindia. Mestinya di Hindia, di tanah air kita, juga ada dewan rakyat sehingga kita dapat berpartisipasi untuk menentukan perkara-perkara besar bagi Hindia. Zaman berubah, Tuan-tuan, dan perhimpunan kita pun mesti berubah. Sudah saatnya kita bertindak nyata untuk kesejahteraan rakyat Hindia,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Tak sedikit yang memprotesnya karena dianggap melawan Politik Etis dari Belanda, lalu Ki Hajar menyampaikan bahwa kesadaran ini didapatkannya saat bergabung dengan perhimpunan ini dan bertemu dengan Tan Malaka. Keinginan dua pemuda ini ialah menjadi bagian dari dewan rakyat (volksraad). Tan Malaka pun menyambung Ki Hajar dengan menyampaikan sebuah peribahasa tua.
“Hanya perempuan yang mengerti perempuan. Hanya rakyat Hindia yang paham apa yang mereka inginkan. Dewan Rakyat yang berisi orang Belanda tak akan pernah mengecap kehidupan Hindia hanya omong kosong,” kata Tan. Hingga akhirnya keduanya tiba membentuk kongres untuk pelajar Hindia, dengan teks berjudul Pelajar Hindia di Netherland, Bersatulah! Cibiran yang dari orang Belanda pun datang bertubi-tubi, namun mereka akhirnya berhasil membentuk Volksraad pada 16 Desember 1916. Sayangnya, saat terwujud itu Tan Malaka telah kembali pulang ke Indonesia untuk bekerja sebagai guru di perkebunan sawit.
ADVERTISEMENT
Kembali pada eksistensi kebersamaan dan merdeka belajar. Apa yang dilakukan Kartini, Ki Hajar Dewantara, dan Tan Malaka mempunyai kesamaan untuk bebas atau merdeka dalam menyampaikan dan bertindak sesuatu. Kehendak atau keinginan tersebut dalam perspektif sosiologi ada tiga istilah yang berbeda. Yakni Independent, Liberty, dan Freedom. Ketiga istilah ini pun penggunaannya juga berbeda. Independent merupakan sebuah istilah untuk menyatakan sikap merdeka atau bebas dari sesuatu. Liberty merupakan sebuah istilah untuk menyatakan tindakan merdeka atau bebas untuk sesuatu. Sedangkan freedom ialah istilah untuk menyatakan bebas dari dan untuk melakukan sesuatu. Bercermin dari konsep tersebut kita bisa lihat sebenarnya wacana ‘Merdeka Belajar’ ini untuk kebebasan yang apa? Jika kita melihat dari sudut pandang objek, maka makna bebas tersebut diartikan bebas dari kurikulumkah, gurukah, atau bahkan lembaga dalam hal ini mungkin sekolah. Tak bosan saya sampaikan ulang, dalam model Problem Possing Education atau Pendidikan Hadap-Masalah yang disampaikan Paulo Freire dalam karya monumentalnya The Oppresed of Pedagogy, maka hal tindakan yang bisa dilakukan seorang pelajar atau pembelajar ialah menjadi pembelajar mandiri atau self-directed learner. Namun, konsekuensinya ialah relasi antara warga belajar dan fasilitator harus mempunyai tanggung jawab tinggi. Karena kedua saling memberikan kemanfaatan. Yakni, seorang warga belajar atau pembelajar bertanggung jawab untuk siap menerima dengan baik, bukan asal-asalan. Sedangkan fasilitator, baik guru atau profesi sejenisnya memberikan garansi fasilitas belajar dalam bentuk materi yang disiapkan dengan matang. Maka esensi dari model pembelajaran seperti ini disebut blended learning. Bagaimana dengan kondisi ini di Indonesia apalagi di tengah pandemi Corona?
ADVERTISEMENT
Akhirnya, melihat hal itu saya harus menutup tulisan ini dengan dengan kalimat, “Bukankah memang berbeda antara kaum tersekolah dengan kaum terdidik? Bukankah keberhasilan belajar itu mengajak berhasil berpikir?”
Rino Hayyu Setyo*
*Penulis adalah mahasiswa program magister Pendidikan Luar Sekolah FIP UM. Berkantor di tugumalang.id partner kumparan.com serta siswa Sekolah Indonesia Bernalar. Sekarang tengah mendirikan rintisan lembaga penelitian I-READ.