Tantangan Profesi Medis Pascaserangan Corona

R H Setyo
Pembaca Buku
Konten dari Pengguna
27 Maret 2020 20:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R H Setyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Uji lab virus Corona. Ilustrasi kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Uji lab virus Corona. Ilustrasi kumparan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ibarat perang dunia, Indonesia sedang diserang pasukan Coronavirus atau Covid-19. Entah berapa jumlahnya, siapa panglimanya, dan menggunakan senjata apa saja. Pasukan virus yang datang di dunia pada akhir 2019 lalu ini secara sporadis harus dikenali kecepatan dan tingkat bahayanya oleh para ahli medis.
ADVERTISEMENT
Bedanya, dalam imajinasi perang dunia antarnegara, pasukan dan senjata apa saja bisa dikenali. Bahkan, timeline atau waktu bisa ditentukan dan disepakati jika sampai kapan dan batas apa saja dalam peperangan tersebut. Akan tetapi, virus ini tidak mengenal waktu dan dia yang menentukan waktunya sendiri dalam menyerang manusia.
Hal inilah yang merepotkan para tenaga medis yang menjadi pasukan garda depan dalam menghadapi serangan Covid-19. Belum selesai mereka mengenali bagaimana struktur genetika virus, para dokter dan perawat wajib hukumnya menyelamatkan setiap nyawa masyarakat yang mulai terkonfirmasi 1046 pasien positif Corona. Sedangkan angka kematiannya mencapai 87 orang berbanding 50% dengan angka kesembuhan hanya 46 orang. Lonjakan 153 kasus dari 893 menjadi 1046 positif hanya berjarak sehari. Jika dilihat grafiknya, maka setiap hari memiliki lonjakan jumlah akumulasi masyarakat yang terkonfirmasi positif Corona.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi ini, pemerintah tentu bisa kita ketahui sudah melakukan berbagai kebijakan untuk menghadapi virus yang terbukti lebih cepat mendisrupsi atau mengganggu stabilitas nasional daripada revolusi industri 4.0 yang selama ini dikampanyekan.
Desakan tentang lockdown dari berbagai pakar sudah mencuat. Mulai dari ekonom senior Faisal Basri hingga Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Profesor Zubairi Djoerban yang berharap Presiden Jokowi mengambil keputusan lockdown atau karantina wilayah secara nasional. Apabila mengambil keputusan untuk karantina wilayah maka konsekuensi yang harus dijalankan pemerintah ialaha menaati UU Karantina no 6 tahun 2018 yang dibuat sendiri oleh legislator. Pada pasal 55 ayat 1 UU tersebut selama karantina wilayah kebutuhan dasar dan ternak menjadi tanggungan pemerintah. Semua jalur kendaraan, lalu lalang perekonomian, sementara dihentikan. Mungkin hanya ada beberapa perusahaan yang harus digenjot untuk memenuhi kebutuhan nasional. Maka konsekuensi inilah yang mungkin menjadi pertimbangan berat untuk pemerintah. Karena hajat hidup kebutuhan dasar masyarakat harus ditanggung sepenuhnya oleh negara. Menghitung seluruh pengeluaran untuk masyarakat ini tentu tidak mudah. Karena tidak mungkin hanya melakukan karantina wilayah selama sehari, namun paling cepat bisa dua minggu hingga satu bulan. Kemungkinan terburuk untuk melakukan lockdown pun sudah dihitung oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Mungkin ini buruk untuk perekonomian karena harus menanggung kebutuhan dasar masyarakat, namun ini hanya sementara dan demi menyelamatkan masyarakat yang lain untuk mencegah penyebaran.
ADVERTISEMENT
Trauma Keprofesian Medis
Pentingkah saran IDI untuk dipertimbangkan masyarakat? Pertanyaan ini semestinya menjadi sangat serius didengarkan oleh pemerintah. Sebagai pemangku kebijakan utama, pemerintah perlu mendengarkan lebih dalam suara IDI. Karena kondisi kedaruratan ini mendapat perhatian khusus dari organisasi profesi yang setiap harinya bekerja untuk urusan keselamatan nyawa manusia. Mereka mempunyai standar pelayanan medis dan mengumpulkan data untuk riset sehingga bisa menemukan vaksin atau hal yang bisa memperkecil jatuhnya korban. IDI sebagai organisasi yang mempunyai otoritas atau kewenangan dalam memberikan saran dan pertimbangan apa saja yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Tidak hanya menangani pasien, tapi mereka juga termasuk garda terdepan dalam meneliti bagaimana menemukan vaksin.
Tidak didengarnya suara IDI akan berdampak panjang bagi profesi tenaga medis. Di tengah badadi Corona ini, tenaga medis merupakan orang yang terdepan dalam mengatasi pasien yang masuk rumah sakit saat diisolasi. Mereka yang merawat pasien itu secara otomatis akan dicatat menjadi orang dalam pemantauan (ODP). Karena, para tenaga medis ini berhadapan langsung dengan para pasien. Bahkan mereka juga menjadi high risk community karena apabila kesehatan mereka memburuk dan terjangkit Corona, para tenaga medis ini bisa menjadi pasien dalam pemantauan (PDP). Ya, tinggal selangkah lagi mereka akan menjadi korban baru. Dan pemerintah hanya bisa mencatat nama mereka sebagai pahlawan peperangan dengan senjata biologi ini.
ADVERTISEMENT
Alat pelindung diri (APD) pun kurang tersedia. Pemerintah akhirnya harus mengimpor ke China untuk menambah stok APD untuk para tenaga medis Indonesia. Hal ini seperti apa yang kita saksikan beberapa hari lalu di Jawa Tengah. Ketika Gubernur Ganjar Pranowo melihat kardus APD kiriman China tapi bertuliskan ‘made in Indonesia’.
Ketidaksiapan finansial dan perlengkapan APD menghadapi pasukan Corona ini menjadi catatan sejarah perjalanan tenaga medis profesional. Mereka akan menuliskan tentang bagaimana pihaknya sudah memberikan saran kepada pemerintah untuk melakukan karantina tapi tidak digubris. Padahal mereka yang tergabung dalam IDI bertahun-tahun dididik untuk melindungi segenap nyawa dan keselamatan yang berasal dari penyakit.
Belum lagi, adanya enam dokter yang sudah meninggal dunia karena terjangkit virus Corona setelah menangani pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19. Jika terus menyebar, kita tidak menhetahui kapan dokter-dokter terbaik yang dimiliki Indonesia meninggal dunia. Tentu ini bukan harapan tapi semua kemungkinan bisa terjadi.
ADVERTISEMENT
Semua akademi dan universitas yang mempunyai bidang keilmuan kedokteran akan mencatat sejarah ini sebagai bahan kurikulum yang harus diperbarui karena serangan virus Corona. Ke depan, para mahasiswa itu akan mendiskusikan tentang situasi dan kondisi wabah yang menyerang Indonesia pada awal 2020 itu. Dari berbagai jurnal penelitian dan siaran media digital yang masih bisa dijejaki beritanya. Para mahasiswa itu akan menemukan kesadaran masyarakat, kebijakan pemerintah, siapa presiden, menteri kesehatan, kesulitan uji coba vaksin, hingga siapa saja yang meninggal dalam memerangi kekuatan ‘Pasukan Corona’ yang menyerang tanpa instruksi panglima.
Rino Hayyu Setyo*
*Penulis adalah mahasiswa program magister Pendidikan Luar Sekolah FIP UM. Berkantor di tugumalang.id partner kumparan.com serta siswa Sekolah Indonesia Bernalar. Sekarang tengah mendirikan rintisan lembaga penelitian I-READ.
ADVERTISEMENT