Transformasi Agen Perubahan ke Agen Perebahan

R H Setyo
Pembaca Buku
Konten dari Pengguna
7 April 2020 14:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R H Setyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang tidur. Foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang tidur. Foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Generasi milenial mempunyai kecenderungan yang identik dengan perkembangan teknologi dan kecepatan informasi. Modernisasi aplikasi hingga seluruh layanan online menjadi instrumen yang melekat di tubuhnya. Bahkan, beberapa orang mungkin berpikir jika musibah Coronavirus atau COVID-19 bisa menjadi momentum untuk mendifusikan konsekuensi dari kampanye revolusi industri 4.0. Hingga ujungnya ialah sebuah pengadopsian sistem online dalam segala bidang kehidupan. Meskipun inovasi teknologi dengan jaringan awan (cloud) sudah diembuskan beberapa tahun, namun apakah itu sudah menjadi keputusan masyarakat untuk menerima inovasi tentang internet (online)? Kondisi seperti ini bisa jadi dianggap sebuah kebaruan untuk diuji efektivitasnya dalam kegiatan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sebulan menghadapi COVID-19, beberapa kelompok masyarakat pun akhirnya berevolusi dengan sendirinya. Mereka mau tidak mau harus menerima inovasi teknologi informasi untuk melanjutkan komunikasi dengan orang lain. Salah satu sebabnya tentu adanya physical distancing atau pembatasan fisik sehingga masyarakat tidak bisa semaunya sendiri untuk bertemu dengan rekan yang biasa ditemuinya dalam kegiatan di sekolah, kantor, tempat ibadah, dan fasilitas publik lain.

Menahan Diri untuk Mudik

Perdebatan yang meramaikan media sosial antara pro karantina wilayah atau pro pembatasan sosial skala besar (PSSB) sudah tidak perlu digaungkan. Seperti yang sudah pernah saya tulis dalam pengantar tulisan sebelumnya berjudul ‘Mengonversi Anggaran Kemahasiswaan untuk Kemanusiaan’. Tak hanya nasi yang sudah menjadi bubur, tapi ketela pohong juga sudah menjadi gethuk lindri, perdebatan tentang karantina dan PSSB justru akan membingungkan masyarakat. Instrumentasi yang perlu dibangun sekarang ialah bagaimana membuat masyarakat tidak jenuh di rumah. Sejak sebulan terakhir adanya dua kasus positif Corona di Jakarta kini sudah melonjak mencapai 1000 kali lipat. Sampai Senin (6/4), jumlah kasus yang terkonfirmasi positif Corona di Indonesia 2491 orang.
ADVERTISEMENT
Data ini jangan hanya dinilai untuk membuat kepanikan atau keresahan sosial. Namun, membaca datanya harus diniati untuk menyadari bahwa ada percepatan penyebaran virus sehingga masyarakat harus dewasa dalam mendengar anjuran dan imbauan untuk membatasi diri bertemu dengan orang lain. Kenyataan ini justru penting untuk membuat masyarakat semakin waspada dan mengerti apa yang harus dilakukan. Termasuk kesadaran untuk memutuskan tindakan apa yang semestinya diambil untuk menjaga diri sendiri dan orang sekitar. Sayangnya, ketika membaca kenyataan ini masyarakat gampang sekali terpengaruh untuk menyudutkan informasi yang diberitakan. Terkadang justru menganggap ini sebagai pemberitaan negatif.
Jikalau mau menyadari, ada sudut pandang positif dan negatif tentang hal di atas, maka sudut pandang itu ialah subjektivitas masing-masing. Sebagai kenyataan, mengapa tidak membaca informasi ini untuk memberikan edukasi kepada publik ada kenaikan grafik yang belum bisa dicegah secara masif, kecuali dengan membatasi diri untuk keluar rumah. Apalagi, jika masyarakat sudah mengetahui status daerahnya, baik desa, kecamatan, dan kota/kabupatennya menjadi zona merah penyebaran Corona.
ADVERTISEMENT
Pembatasan yang diimbau pemerintah pun setiap hari disampaikan di depan layar televisi, dan gadget. Termasuk wacana untuk tidak mudik ke kampung halaman bagi masyarakat yang sedang berada di perantauan. Seperti mahasiswa dan para pekerja yang biasanya mempunyai aktivitas di tempat perantauannya. Wacana ini dilihat sebagai langkah untuk memutus potensi rantai penyebaran virus Corona. Dengan demikian, para masyarakat yang berada di luar kampung halamannya harus memikirkan sejenak apa konsekuensi dari imbauan tersebut. Bahkan, beberapa daerah sudah menyiapkan tempat karantina khusus untuk masyarakat yang nekat untuk mudik ke kampung halamannya. Meskipun bisa diwajari, tidak adanya kegiatan selama berada di kota perantauan juga tetap membutuhkan pengeluaran keseharian. Bahkan hanya tiduran di kamar kos saja, organ tubuh tetap membutuhkan asupan gizi agar tetap membuat manusia nyenyak tidur.
ADVERTISEMENT
Belum lagi ketika mengambil keputusan #dirumahaja, maka untuk memenuhi kebutuhan sebagai manusia yang berkomunikasi, mereka membutuhkan paketan data untuk gelombang sinyal ponselnya. Dengan demikian, rasa bosan yang bisa saja datang setiap saat bisa dikurangi dengan aktivitas ringan di dalam kamar perantauan.
Konsekuensi dari semua itu ialah alat tukar untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal, banyak perusahaan telah merumahkan masyarakat. Karena mesin produksinya berhenti disebabkan oleh situasi Corona yang berakibat adanya pembatasan sosial ini. Di sinilah, baru masyarakat akan mempertanyakan jaminan apa yang akan didapatkan dari institusi publik yang membatasinya untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Apakah ada pasokan kebutuhan makan dan komunikasi tersebut? Jika tidak ada, maka sekali lagi akan wajar jika masyarakat memutuskan untuk pulang kampung. Pertanyaannya, “Apakah bertemu dengan keluarga di rumah bisa dikonversi dengan tatap muka lewat layar kaca apalagi tidak ada bantuan nilai tukar untuk gelombang sinyal?”
ADVERTISEMENT
Rino Hayyu Setyo*

Merebahkan Badan Sekaligus Pikiran?

Dalam kondisi yang sama sekali tidak ideal ini, semestinya tidak dipandang seperti kekalahan perang. Memberhentikan seluruh aktivitas sama saja dengan mematikan diri dengan perlahan. Baik mati secara potensi atau mati dalam arti menghilangkan nyawa. Karena segala kemungkinan bisa terjadi karena timbunan ke-stres-an ketika memilih hanya berdiam diri di rumah maupun kamar perantauan.
Karena kondisi darurat yang mengakibatkan berbagai pembatasan, maka yang paling dinamis dari keterbatasan tersebut ialah pikiran. Lalu lintas informasi yang lalu-lalang di media sosial bisa menjadi pantikan-pantikan pikiran untuk terus beraktivitas. Tentu akan secara tergesa-gesa, kecenderungan masyarakat akan segera menjawab dengan kegiatan online. Seperti sistem pembelajaran daring (online) dan work from home (WFH). Akan tetapi, kegiatan yang seperti ini yang diulang berkali-kali, juga mempunyai kemungkinan sangat membosankan. Kecuali, masyarakat bisa memahami dan memaknai kampanye merdeka belajar yang sejak akhir 2019 lalu diembuskan oleh Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
ADVERTISEMENT
Dalam paradigma adult learning style (gaya belajar orang dewasa) yang disebutkan Peter Jarvis (2003) dalam karyanya The Theory and Practice of Learning, masyarakat bisa mengembangkan dari adult education, recurrent education, hingga continuing education. Melihat merdeka belajar dengan paradigma tersebut akan bisa diterapkan untuk mengambil inisiatif agar tetap bertahan hidup.
Setelah sadar akan kebutuhan belajarnya, maka paradigma adult education sesuai gaya belajar orang dewasa (andragogy). Ada empat asumsi dasar yang diletakkan oleh Malcolm Knowless pada medio 1970-1980 yakni 1) konsep diri atau self-concept; 2) pengalaman atau experience; 3) kesiapan belajar atau a readiness to learn; 4) orientasi pembelajaran atau an orientation to learn.
Dengan memahami ini, merdeka belajar mungkin tidak hanya menjadi slogan ‘pasaran’. Meskipun dalam kondisi terdesak dan terbatas, masyarakat akan menjadi kelompok yang mempunyai kemampuan untuk memahami transformative learning pembelajaran transformatif (Mezirow,1970) dan berfikir kritis (critical thinking) seperti apa yang dikatakan Brookfield (1987) dalam Developing Critical Thinkers: Challenging Adults to Explore Alternatives Ways of Thinking and Acting.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, berpikir kritis mengalami kedangkalan makna. Sehingga, kini mempunyai kecenderungan jika ada orang yang mempunyai pikiran alternatif bisa dianggap tidak sejalan dan mungkin tuduhannya hanya membuat kekacauan. Jika kondisinya selalu seperti ini, bukankah ini gejala akan datangnya masa milenial untuk merebahkan pikiran selamanya?

Menguji Milenialitas dalam Kondisi Darurat

Mengingat pesan Durkheim tentang pendidikan yang didefinisikan sebagai pengaruh yang dilakukan generasi dewasa untuk mereka yang belum siap menghadapi kehidupan sosial. Termasuk begitu pula segala tantangan zaman yang dapat berubah sewaktu-waktu. Namun bertolak dari pendapat Durkheim yang konsentrasi terhadap orang dewasa untuk menyiapkan generasi dalam menyambut peran sosialnya, maka perlu juga mengingat apa yang pernah disampaikan Havelock (1973) dalam The Change Agent's Guide to Innovation. Di sinilah, ia membuat empat tahap peran agen perubahan sosial atau yang kini disebut agen pembaruan. Mungkin anak milenial yang masuk dalam kategori anak muda ini, secara historis-empiris mempunyai hegemoni untuk melihat kondisi yang darurat seperti sekarang bisa memberikan pembaruan ide dan inovasi.
ADVERTISEMENT
Pertama, peran sebagai katalisator (catalyst) dengan maksud untuk mempercepat proses sesuatu hal dalam menghadapi perubahan. Kedua, peran sebagai process helper yakni agen diharapkan bisa membantu proses masyarakat memahami kondisi nyata. Ketiga, peran sebagai solution given. Seorang agen akan mampu memberikan solusi di tengah kemacet-ruwetan permasalahan. Setelah ketiga ini terpenuhi, maka peran terakhir agen pembaruan bisa menjadi penghubung sumber (resources linker).
Dalam konteks musibah yang sedang dihadapi masyarakat mencegah penyebaran COVID-19, ini waktu yang tepat untuk menguji ulang seluruh dalil para ilmuwan tersebut. Khususnya mereka yang mempunyai tanggung jawab kesarjanaan dalam berbagai strata atau jenjang, maka banyak hal yang harus dituliskan untuk turut menyejarahkan kondisi ini. Para pemilik gelar apa pun bisa membuat sebuah inovasi yang didiskusi sebagai tabungan ide dan tindakan memberikan solusi kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya menganggap pengalihan aktivitas yang dirumahkan saja. Saya membayangkan akan banyak lahir calon peneliti muda dengan konsentrasi keilmuan tertentu untuk melakukan riset dan mengabadikan kondisi masyarakat sekarang. Mereka juga akan menerbitkan risetnya untuk memenuhi media mainstream agar ada fungsi edukasi dalam dunia jurnalisme. Meskipun media mainstream bisa jadi menganggap apa yang telah disajikan untuk masyarakat sebuah bentuk edukasi, tapi bisa jadi masyarakat juga akan bosan ketika melihat judul yang berkutat tentang keruntuhan perekonomian, pasien positif Corona, dan meninggalnya puluhan tenaga medis karena virus ini. Justru, kolaborasi yang diperlukan ialah lembaga riset dan media untuk menganalisis kondisi daerah masing-masing. Data disajikan oleh wartawan saat diproduksi media menjadi fenomena yang nantinya diuji oleh sekian banyak teori oleh para calon peneliti.
ADVERTISEMENT
Semua gambaran ini bukan untuk disetujui, justru saya ingin menyampaikan ini agar membuka ruang dialektika atau diskusi agar kelompok masyarakat tetap bisa berkegiatan meskipun dengan kondisi terbatas. Sehingga, wabah Corona tidak juga ‘mematikan’ ide masyarakat, khususnya mereka yang mempunyai tugas kesarjanaan. Apalagi untuk para anak milenial yang hanya menganggap ini sebagai liburan seperti biasanya.
*Penulis adalah mahasiswa program magister Pendidikan Luar Sekolah FIP UM. Berkantor di tugumalang.id partner kumparan.com serta siswa Sekolah Indonesia Bernalar. Sekarang tengah mendirikan rintisan lembaga penelitian I-READ.