Melebarkan Jalan itu Melebarkan Masalah

Mikael Ario Masri
Mahasiswa jurnalistik UMN
Konten dari Pengguna
30 November 2021 12:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mikael Ario Masri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh Mikael Ario Masri, Mahasiswa Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara.
Pada kenyataanya, jalan ini akan penuh sesak.
Krisis kemacetan memperbudak rakyat dan membunuh Ibu Pertiwi. Angka penularan bola mikroskopis berduri ‘Covid-19’ menurun, kemacetan makin tersedak bagaikan serangan jantung, dan menggunakan kendaraan umum hanya untuk orang miskin. Ini adalah kenyataan di beberapa kota di seluruh dunia termasuk Jakarta. Budaya ketergantungan mobil yang sering dikatakan oleh penata kota juga terdapat di Indonesia. Jika saya sebagai orang Kabupaten Tangerang ingin pergi ke Jakarta, saya tidak dapat menggunakan stasiun kereta karena terlalu jauh dan perjalanan ke stasiun tentu akan macet. Jika saya ingin menggunakan bus, stasiun bus juga terlalu jauh dan percuma, bus juga akan tersangkut kemacetan. Rakyat ingin metode transportasi yang lebih aman dan ramah lingkungan, tetapi tidak mempunyai pilihan. Apa solusinya demi kebaikan rakyat, negara dan Ibu Pertiwi?
ADVERTISEMENT
Solusi yang pasti salah, sesat, dan tidak berkualitas adalah pembangunan tol baru dan pelebaran jalan. Interstate 10 adalah jalan tol berjalur 26 di Kota Houston, Amerika Serikat. Namun, kemacetan tetap terjadi di jalan tol tersebut. Houston adalah kota yang berpenduduk dua juta. Jakarta lima kali lebih besar dengan sepuluh juta jiwa. Apakah kita harus membangun jalan tol berjalur 130? Tentu tidak kasihanilah Ibu Pertiwi yang akan tertimpa jutaan ton beton dan aspal dan rakyat yang harus digusur. Melebarkan jalan itu melebarkan masalah. Ada solusi yang lebih bermutu dari menambah jalur.
Solusi pertama adalah kereta. Kendaraan berulat dan sejuta pintu yang bersinar modernitas dan “negara maju” adalah solusi bagi masalah ini. Menurut Central Road Research Institute, setiap jalur di jalan tol berjalur enam dapat mengangkut antara 2.166 sampai 2.233 mobil per jam. Ini berarti, jalan tol berjalur enam dapat mengangkut 13.000 mobil per jam. Berdasarkan data World Bank, kereta dapat mengangkut antara 15.000 sampai 30.000 penumpang per jam, per arah. Sistem kereta sering mempunyai 2 rel untuk 2 arah sehingga angka ini menjadi antara 30.000 sampai 60.000 penumpang per jam dengan menggunakan lahan untuk 2 jalur saja. Jelas kereta lebih efisien untuk mengangkut orang dari jalan tol.
Cepat, nyaman, keren, apa yang tidak disukai oleh metode ini?
Menurut Steel Interstate Coalition, kereta juga jauh lebih aman dibandingkan mobil karena dikendalikan oleh seseorang yang berkualifikasi. Tentu menjadi masinis lebih sulit dari mendapatkan SIM. Kereta melalui infrastruktur yang lebih memadai, rel kereta tidak seperti jalan yang rentan berlubang seperti bulan. Risiko ini sudah termasuk angka kematian penumpang kereta dan orang di luar kereta seperti pengemudi mobil.
ADVERTISEMENT
Alasan terakhir tentu adalah lingkungan. Menurut riset Lembaga Bisnis, Energi dan Strategi Industri Inggris, menggunakan kereta mengurangi emisi karbon dioksida sebanyak 80% dibandingkan dengan menggunakan mobil. Ini adalah alasan penting untuk dipertimbangkan karena Jakarta adalah salah satu kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Pikirkan Ibu Pertiwi yang sedang sesak menghirup asap bensin dan solar.
Apa artinya ini semua bagi Jabodetabek? Untuk semua gubernur, wali kota dan bupati dari daerah-daerah Jabodetabek, mohon gunakan anggaran untuk memperbaiki dan memperpanjang sistem kereta rel listrik (KRL) dan mass rapid transit (MRT). Ada daerah luas di Jabodetabek seperti Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi yang sebagian besar dari daerah mereka masih tidak terjangkau oleh kereta.
ADVERTISEMENT
Namun, kita harus sadar bahwa membangun rel kereta sangat mahal, bahkan bisa mencapai 2 kali lipat atau lebih harga membuat jalan tol. Oleh karena itu, ada alternatif kedua yaitu bus rapid transit (BRT) atau lebih dikenal sebagai busway. Sebuah jalur istimewa dan sakral yang dikhususkan untuk bus gandeng yang bergerak gegas dan terpisah dari frustrasi pengemudi terjebak kemacetan. Orang akan menggunakan metode tercepat, tidak ada orang yang ingin menggunakan kendaraan umum jika kendaraan umum bagaikan siput dibanding mengemudi. BRT juga dapat digunakan sebagai cara untuk membawa calon penumpang kereta yang tinggal jauh di pelosok kota ke stasiun kereta. Jakarta sudah mempunyai BRT, mengapa kota lain tidak?
Satu bus itu bagaikan menggencet 40 mobil dalam 4 mobil.
Apa artinya ini semua bagi Jabodetabek? Untuk semua wali kota dan bupati dari daerah-daerah Bodetabek, tolong bangunlah sistem BRT jika anggaran tidak cukup untuk membangun kereta. Untuk Jakarta yang sudah mempunyai sistem BRT terbesar di dunia, tolong memperindah Transjakarta agar lebih berbunga efisiensi dan modernitas.
Jika tidak ada ruang di permukaan, buatlah di bawah.
Indonesia harus menyalin suksesnya kendaraan umum di negara maju seperti Jepang, Korea, China, Perancis, dan Jerman. Kereta cepat yang bagaikan terbang di karpet besi, sistem kereta dalam kota yang bekerja bagaikan jam dan jalan-jalan yang bebas merdeka dari kemacetan. Memberikan pilihan transportasi yang cepat, aman, nyaman, murah, dan ramah lingkungan bagi seluruh rakyat Indonesia harus dijadikan prioritas nasional. Ingat sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kendaraan umum adalah solusi transportasi untuk semua orang, termasuk yang miskin dan yang disabilitas. Ingat, orang buta tidak dapat mengemudi. Marilah kita membangun sistem kendaraan umum yang lebih baik, demi rakyat, demi Indonesia, dan demi Ibu Pertiwi. Saya ingatkan lagi, melebarkan jalan itu melebarkan masalah.
ADVERTISEMENT