Reformasi Politik Thailand: Sukses Atau Gagal?

Riswanda Imawan
Hubungan Internasional UMY
Konten dari Pengguna
17 September 2023 14:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riswanda Imawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demonstrasi pro-demokrasi terjadi di Bangkok pada Rabu (14/10/2020) dalam rangka peringatan pemberontakan mahasiswa tahun 1973. REUTERS/Jorge Silva
zoom-in-whitePerbesar
Demonstrasi pro-demokrasi terjadi di Bangkok pada Rabu (14/10/2020) dalam rangka peringatan pemberontakan mahasiswa tahun 1973. REUTERS/Jorge Silva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik politik yang berkepanjangan di Thailand sudah berlangsung selama beberapa dekade, yang kemudian memainkan peran penting dalam membentuk lanskap politik negara tersebut dan mendorong upaya reformasi politik.
ADVERTISEMENT
Persaingan ketat di antara fraksi dalam elite politik, yang masing-masing juga mewakili kepentingan yang berbeda juga turut menjadi penyebab polarisasi politik di Thailand. Dalam akar rumput Thailand, perpecahan ini nyata terjadi di dalam masyarakat yang mencoba menyelaraskan diri dengan berbagai kelompok.
Selain itu, terdapat manifestasi konflik politik antara kelompok yang mendukung monarki dan pendukung pro-demokratisasi. Ketidakstabilan politik semakin diperparah oleh serangkaian kudeta militer yang berlangsung selama beberapa dekade, selain krisis pemilu yang terjadi secara berkala.
Upaya untuk mengamandemen konstitusi juga muncul sebagai aspek utama dari perselisihan politik yang berkepanjangan. Keterlibatan signifikan militer dalam politik Thailand masih menjadi bahan perdebatan yang menarik. Beberapa elemen ini secara kolektif membentuk struktur persuasif untuk memahami upaya kelanjutan dari reformasi politik dan upaya menuju sistem politik di Thailand yang lebih demokratis.
ADVERTISEMENT
Kudeta militer telah menjadi ciri khas dalam lanskap politik Thailand dalam beberapa dekade terakhir. Dalam beberapa kasus, pihak militer menggunakan cara-cara koersif untuk mengambil alih pemerintahan, sehingga bisa mengalahkan rezim yang dipilih secara demokratis.
Aktor utama yang terlibat dalam kudeta ini seringkali terdiri dari pejabat tinggi militer di angkatan bersenjata Thailand (Royal Thai Armed Forces). Pada tahun 2014, terjadi kudeta besar yang dipimpin oleh Jenderal Prayuth Chan-o-cha, yang melibatkan penggulingan pemerintahan terpilih yang dipimpin oleh Yingluck Shinawatra.
Selanjutnya, Prayuth mengambil peran sebagai Perdana Menteri dan mempelopori pemerintahan di bawah naungan junta militer. Terjadinya kudeta menyebabkan demonstrasi besar-besaran dan menimbulkan perdebatan signifikan baik di dalam negeri maupun internasional sehubungan dengan Thailand.
ADVERTISEMENT

Gelombang Demonstrasi Gerakan Sosial Milk Tea

Para pengunjuk rasa memegang sebuah gambar Hong Kong-Thailand-Taiwan (Milk Tea Alliance) network selama unjuk rasa menuntut pemerintah mengundurkan diri, membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu baru berdasarkan revisi konstitusi, di Bangkok, Thailand pada hari Selasa, 16 Agustus 2020. REUTERS/Soe Zeya Tun
Gerakan sosial Milk Tea di Thailand adalah salah satu fenomena yang mencerminkan tuntutan kuat akan pro demokrasi dan perubahan politik yang lebih besar di negara tersebut. Gerakan ini awalnya muncul pada tahun 2020 dan terdiri dari sekelompok besar pemuda yang menggunakan media sosial untuk mengkoordinasikan tindakan protes mereka di Hong Kong dan kemudian menyebar di wilayah Asia dengan kondisi yang sama, menginginkan adanya reformasi.
Mereka menggunakan platform-platform sosial media seperti Twitter (sekarang X), Instagram, Facebook, dan TikTok untuk menyuarakan tuntutan demokrasi mereka. Gerakan ini berasal dari minuman yang populer di wilayah Asia yaitu "Milk Tea" dan menjadi simbol ikonik gerakan ini. Warna perak dari kaleng susu teh menjadi simbol perlawanan terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam masyarakat Thailand.
ADVERTISEMENT
Perkembangan gerakan sosial ini melibatkan berbagai tindakan, seperti demonstrasi jalanan, simbol-simbol perlawanan, pembuatan karya seni, pemasangan poster, dan berbagai bentuk aksi protes kreatif.
Dengan berbagai pesan yang diungkapkan dalam bahasa yang lebih populer dan kemudahan akses bagi generasi muda Thailand, gerakan Milk Tea berhasil menarik perhatian publik dan menggalang dukungan yang kuat.
Dampak gerakan ini sangat signifikan. Pertama, gerakan sosial Milk Tea memicu gelombang protes besar-besaran di seluruh Thailand, dengan mengajukan tuntutan seperti reformasi konstitusi, penghapusan larangan politik, dan perlindungan hak asasi manusia.
Kedua, gerakan ini memperlihatkan kepada pemerintah dan masyarakat internasional bahwa ada keinginan yang kuat di kalangan pemuda Thailand untuk perubahan politik dan demokrasi yang lebih inklusif.
ADVERTISEMENT
Peranannya dalam perubahan politik adalah mendorong agenda-agenda reformasi ke tengah panggung politik. Gerakan sosial Milk Tea mengubah narasi politik di Thailand, memaksa pemerintah untuk merespons tuntutan mereka, dan membuka ruang untuk diskusi lebih lanjut tentang reformasi politik.
Meskipun gerakan ini mungkin belum mencapai semua tujuannya, dampaknya dalam memajukan agenda-agenda demokratisasi telah menjadi faktor penting dalam perubahan politik di Thailand.

Pemilihan Umum 2023

Pemimpin Move Forward Party (MFP) dan calon perdana menteri Pita Limjaroenrat melambai kepada pendukungnya saat mereka merayakan hasil pemilu partainya di Bangkok, Thailand, 15 Mei 2023. REUTERS/Athit Perawongmetha
Hasil pemilu Thailand tahun 2023, yang menunjukkan Move Forward Party (MFP) menang dan mengamankan mayoritas kursi (324 dari 500 kursi di majelis rendah dan 13 kursi senat dari 250 kursi), hal ini menandakan perubahan signifikan dalam politik negara tersebut. Pita Limjaroenrat, ketua partai tersebut, telah muncul sebagai kandidat Perdana Menteri Thailand.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, upayanya untuk mendapatkan jabatan tersebut akhirnya digagalkan oleh Senat, lembaga legislatif yang sebagian besar diisi oleh anggota yang dipilih di bawah konstitusi yang ada selama pemerintahan junta militer sebelumnya.
Senat Thailand memiliki hubungan historis dengan rezim militer, memainkan peran penting dalam proses pemilihan Perdana Menteri Thailand, bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Majelis Rendah).
Karena kuatnya hak veto mereka mengenai pemilihan calon perdana menteri, Pita Limjaroenrat menghadapi tantangan dalam mendapatkan persetujuan yang diperlukan dari Senat. Tindakan penolakan tersebut dapat dimaknai sebagai wujud nyata kekhawatiran akan cepatnya transformasi politik dan upaya menegakkan otoritas militer dalam urusan politik.
Selain itu, aspek kontroversial dari upaya Pita Limjaroenrat untuk mengubah undang-undang yang berkaitan dengan pencemaran nama baik terhadap monarki Thailand juga harus diakui. Amandemen undang-undang ini dianggap sebagai tindakan tegas yang menimbulkan reaksi luas di masyarakat dan tokoh politik. Pengamatan ini menggarisbawahi pentingnya hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat dalam dinamika politik yang rumit di Thailand.
ADVERTISEMENT

Gagal atau Sukses?

Pertanyaan mengenai apakah Thailand mengalami kegagalan atau sukses dalam reformasi politik adalah pertanyaan yang kompleks. Dalam beberapa aspek, Thailand telah mengalami perubahan yang signifikan dalam upaya menuju reformasi politik, tetapi juga menghadapi tantangan serius yang masih mempengaruhi upaya-upaya tersebut.
Keberhasilan yang dapat dicatat adalah adanya perubahan politik yang terlihat dalam hasil pemilu dan partisipasi aktif masyarakat dalam gerakan sosial, seperti gerakan sosial Milk Tea. Buktinya jumlah pemilih aktif di Thailand meningkat 75% dari 52 juta penduduk Thailand.
Pemilu tahun 2023 menghasilkan kemenangan bagi Move Forward Party (MFP) yang mencerminkan perubahan signifikan dalam politik Thailand. Munculnya partai-partai yang mencerminkan aspirasi demokratisasi dan partisipasi masyarakat yang aktif dalam protes politik adalah indikator perubahan positif.
ADVERTISEMENT
Namun, Thailand juga menghadapi kendala serius dalam perjalanan reformasinya. Penolakan Senat terhadap kandidat perdana menteri yang dipilih oleh partai pemenang pemilu dan campur tangan militer dalam politik masih menjadi masalah besar.
Selain itu, upaya untuk merevisi undang-undang yang mengatur pencemaran nama baik kerajaan Thailand telah menjadi sumber konflik politik yang serius. Ketidakstabilan politik yang masih ada dalam beberapa aspek juga mengindikasikan bahwa perubahan politik yang lebih besar mungkin belum sepenuhnya tercapai.
Secara keseluruhan, Thailand berada dalam proses reformasi politik yang kompleks dan masih dalam evolusi secara terus menerus. Apakah proses ini akan dianggap sebagai kegagalan atau keberhasilan akan sangat tergantung pada perkembangan politik di masa depan dan bagaimana masyarakat Thailand menilai hasil-hasilnya. Yang pasti, Thailand masih menghadapi sejumlah tantangan politik yang perlu diatasi dalam perjalanan menuju sistem politik yang lebih demokratis dan inklusif.
ADVERTISEMENT