Sekecil Apapun Kebaikan, Ia Akan Tetap Menjadi Baik

Konten dari Pengguna
25 Oktober 2017 12:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizaldy Febriyansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sekecil Apapun Kebaikan, Ia Akan Tetap Menjadi Baik
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sore itu saya melihat sosok Masha, sang tokoh utama dari serial ‘Masha and the Bear’. Masha terlihat lebih gemuk, baju serta wajahnya juga jauh lebih kusam dan kumal dari biasanya. Masha berjalan di tepi trotoar sambil menggandeng seorang anak kecil perempuan. Kakinya kotor, mungkin dia salah memilih jalan, hujan deras yang baru saja berhenti menyisakan cukup banyak genangan air di lubang-lubang jalan.
ADVERTISEMENT
Tentu itu bukan karakter Masha sungguhan. Namun, seorang bapak dengan seragam badut menyerupai Masha. Sebelumnya, saya juga pernah melihat dia beberapa kali, menari-nari kecil ke setiap toko demi mendapatkan beberapa logam rupiah.
"Pak, sini masuk!" Ujar teman saya. Kebetulan kami sedang ada di sebuah warung kopi sambil menunggu hujan reda. Negosiasinya panjang, sampai akhirnya si Bapak melepaskan baju Masha-nya dan duduk di depan kami. Kami persilakan dia memilih makanan terlebih dahulu.
"Kopi hitam saja cukup, nanti berdua anak saya," ucap si Bapak. Si anak hanya mengangguk, ia ikhlas mengikuti keinginan si bapak yang hanya memesan segelas kopi hitam.
Sedikit demi sedikit kami mulai menggarap sebuah percakapan ringan. Nama beliau adalah Pak Yanto, usianya 55 tahun. Sedangkan anak perempuannya, bernama Ela dan usianya 7 tahun.
ADVERTISEMENT
Sudah lebih dari tiga tahun Pak Yanto bekerja seperti ini. Keliling-keliling sambil 'menjual' tarian – yang seadanya – ke setiap toko atau kerumunan orang. Saya pikir alasan utamanya adalah untuk mendapat uang, tapi saya salah.
"Tujuannya pengen bikin orang ketawa aja, seneng. Kalau mereka kasih uang itu bonus," ujar Pak Yanto. Gak masuk akal, panas-panasan, hujan-hujanan, cuma pengen bikin orang ketawa, pikir saya.
Suaranya gemetar, Pak Yanto kedinginan. Sambil menyeruput kopi hitam dan menyantap mie instan yang secara paksa kami berikan, Pak Yanto terus bercerita.
Istrinya entah ke mana, mereka sudah tidak bersama-sama sejak beberapa tahun lalu (ia lupa kapan pastinya mereka berpisah). Saat ini Pak Yanto dan Ela hanya tinggal di sebuah kontrakan kecil di suatu tempat yang enggan ia sebut di mana.
ADVERTISEMENT
"Saya tiap hari ya begini, cuma nari-nari sambil diiringi musik dari sini," ungkapnya sambil menunjukan sebuah speaker kecil.
Selain menjadi 'the dancing Masha', Pak Yanto juga kerap menjadi ‘pegawai panggilan’. Kadang ia datang untuk membersihkan kebun, jadi kuli proyek, dan lain-lain. Sedangkan Ela sendiri hanya bertugas 'mendampingi bapak'. Ia yang menyediakan makan, minum, dan kadang memijat Pak Yanto kalau tengah beristirahat dari pekerjaannya.
"Ela tidak sekolah?" tanya saya. Sebetulnya saya sadar bahwa itu adalah pertanyaan yang salah. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Saya sudah terlanjur menanyakan hal tersebut.
"Sekolah," ujar Pak Yanto sambil tersenyum dan menghadap Ela. "Tapi nanti, kalau Tuhan sudah izinkan, ya nak ya?" lanjutnya.
Sambil tersenyum polos Ela menjawab yakin, "iya pak."
ADVERTISEMENT
Saya tidak melihat sedikit pun raut sedih di wajah Pak Yanto dan Ela. Padahal menurut saya beban hidup mereka sangat berat. Sedangkan saya, uang terlambat masuk ATM satu minggu saja sudah mengeluh.
"Bapak senang dengan pekerjaan bapak? Kan kata bapak tujuannya bukan untuk uang," tanya saya lagi.
Jawaban Pak Yanto membuat saya semakin kagum. Sempat tersenyum lebar, lalu Pak Yanto menjawab pertanyaan saya.
"Kalau saya enggak senang, ngapain saya lakuin, mas? Walaupun orang harus liat baju badut saya kucel, jelek, nari-nari gak jelas, tapi saya senang mereka bisa tertawa. Kalau mereka kasih uang ya Alhamdulillah, pahala saya nambah."
"Saya bisa bikin orang ketawa, dan saya bisa bikin Ela seneng juga. Setidaknya saya bisa meyakinkan dia kalau suatu saat dia pasti bisa sekolah dari uang-uang receh yang saya dapat.”
ADVERTISEMENT
Hal ini cukup mengetuk dan mengutuk hati saya, mungkin bagi sebagian orang juga. Mudah bagi kita menertawakan dan mencela hal yang sebenarnya tidak pernah kita ketahui sama sekali – hal-hal yang jauh lebih dalam dan tak terlihat.
Sebelum kejadian ini, tidak jarang saya hanya bisa melakukan diskriminasi lewat pikiran-pikiran saya kepada orang seperti Pak Yanto. Berpikir hal-hal buruk kepada orang-orang yang sebetulnya – mungkin – memiliki niat yang jauh lebih mulia dari apa yang kita pikirkan.
Ketika melihat pengamen yang berpenampilan compang-camping dan segala basa-basinya, saya hanya bisa berpikir, “ah, paling duitnya dipakai buat mabuk.” Sampai akhirnya saya melihat seorang pengamen dengan penampilan serupa menaruh beberapa butir koin hasil mengamennya ke dalam kotak amal mushola.
ADVERTISEMENT
Kenapa sih ini orang? Bela-belain panas-panasan, joget enggak jelas di lampu merah, minta-minta uang. Padahal dia masih bisa kerja yang jauh lebih baik dan menghasilkan daripada itu. Hal inilah yang selalu muncul ketika saya melihat badut-badut kumal berdiri di sekitaran lampu merah sambil melambaikan tangannya ke jendela mobil.
Kita memang telah terbiasa dengan hal besar dan cenderung meniadakan hal-hal kecil. Kita sudah terbentuk untuk mudah menilai dari hal yang nampak tanpa ingin melihat lebih jauh daripada itu.
Yang terlihat baik belum tentu memiliki tujuan yang sama baik, begitu juga sebaliknya. Hal yang terlihat tidak baik belum tentu memiliki dasar dan tujuan yang tidak baik pula. Memang banyak orang yang mengatakan bahwa kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang besar apabila kita hanya melakukan hal yang kecil. Namun, kita pun perlu sadar bahwa tidak ada seseorang yang bisa melakukan hal besar sebelum ia terbiasa dengan hal-hal yang jauh lebih kecil.
ADVERTISEMENT
Hakikatnya, kebaikan yang sebenarnya adalah sebuah hal yang tidak hanya baik untuk diri kita sendiri. Sekecil apa pun kebaikan, ia akan tetap menjadi baik. Untuk saat ini dan selamanya.