Konten dari Pengguna

Cerita dari Gumuk Agung : Ketika Pendidikan Perempuan Masih Dianggap Sia-sia

Rizka Aprinail
Mahasiswa Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember
13 Juni 2025 14:13 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Cerita dari Gumuk Agung : Ketika Pendidikan Perempuan Masih Dianggap Sia-sia
Menguak cerita dari Gumuk Agung, Banyuwangi, di mana pendidikan perempuan seringkali dianggap tak penting. Kenalkan Tari, gadis gigih yang berjuang meraih mimpinya untuk kuliah.
Rizka Aprinail
Tulisan dari Rizka Aprinail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi remaja belajar demi menggapai cita-cita. Foto: Plan International
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi remaja belajar demi menggapai cita-cita. Foto: Plan International
ADVERTISEMENT
Di balik hamparan sawah yang menghijau di Dusun Gumuk Agung, Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, tersimpan sebuah cerita yang mungkin jarang di dengar orang. Di desa ini, pendidikan seringkali masih dipandang sebelah mata, terutama bagi kaum perempuan. Bagi sebagian besar masyarakat disana, pendidikan tinggi dianggap bukan sebagai kebutuhan utama. Mereka selalu beranggapan, perempuan cukup bisa membaca, menulis, dan berhitung, selebihnya nanti akan kembali ke dapur, mengurus rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Aku sendiri lahir dan besar di dusun ini. Paham betul bagaimana pola pikir masyarakat di sekitarku. Pendidikan masih dianggap sebagai sesuatu yang mahal, baik secara biaya maupun manfaatnya yang dirasa kurang nyata, apalagi jika harus merantau ke luar kota.
Kenyataannya, di dusun ini, mayoritas anak-anak hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP atau SMA. Setelah itu, mereka langsung bekerja membantu orang tua atau mencari pekerjaan di kota. Anak perempuan cenderung memilih untuk menikah muda setelah lulus SMA. Pendidikan tinggi seolah menjadi barang langka, sesuatu yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang beruntung.
Di tengah keterbatasan itu, aku memiliki seorang teman yang luar biasa, Sebut saja namanya Tari. Sejak SD, Tari sudah menunjukkan semangat belajar yang berbeda dari teman-teman lain. Ia selalu punya keinginan untuk terus melanjutkan sekolah, meski fasilitas pendidikan di desa kami sangat minim.
ADVERTISEMENT
Namun, keterbatasan itu tidak membuat Tari menyerah. Ia tetap rajin belajar dan sering kali meminjam buku ke perpustakaan sekolah yang koleksinya sangat terbatas. Ia juga sering bertanya kepadaku tentang pelajaran yang tidak ia mengerti. Aku tahu, Tari punya mimpi yang besar: ingin kuliah. Ia ingin membuktikan pada semua orang, terutama pada dirinya sendiri, bahwa ia bisa meraih apa yang ia impikan.
Namun, mimpi Tari tidak didukung sepenuhnya oleh keluarganya. Ayahnya bekerja sebagai petani, sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang sesekali membantu ayahnya di sawah ketika musim panen tiba. Dua kakak perempuannya sudah menikah dan membuka sebuah warung makan kecil di depan rumah mereka. Meskipun hidup sederhana, keluarga Tari sebenarnya tidak bisa dibilang kekurangan. Hanya saja, mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang pendidikan tinggi, terutama bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
"Sekolah dhuwur-ndhuwur kuwi ngapain, nduk? Ujung-ujunge yo mung neng pawon to" (Sekolah tinggi-tinggi buat apa nak? toh akhirnya di dapur juga) begitu kira-kira kata mereka. Selain itu, masalah finansial juga menjadi pertimbangan. Mereka khawatir tidak mampu membiayai kuliah Tari jika ia diterima di perguruan tinggi.
Setiap kali Tari mengutarakan keinginannya untuk kuliah, ia selalu mendapat jawaban yang sama setiap harinya: "Wis, ora usah kuliah. Anak wadon kok kuliah adoh-adoh tekan kutha. Mung ngentekno dhuwit wae." (Sudah, gausah kuliah. Anak perempuan kok kuliah jauh-jauh ke luar kota. buang-buang uang aja.) Namun, Tari tidak menyerah. Diam-diam, ia menyisihkan uang jajannya sedikit demi sedikit untuk biaya pendaftaran UTBK. Ia rela tidak membeli jajan atau baju baru demi mewujudkan mimpinya.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, Tari memberanikan diri datang ke rumah untuk meminta bantuanku mendaftar UTBK. "Tulung bantu daftarno aku UTBK yo, Mbak." (tolong bantu daftarin aku UTBK ya, Mbak). Bersama-sama, kami mencari informasi, mengisi formulir pendaftaran, dan akhirnya Tari berhasil mendaftar. Uang hasil tabungannya cukup untuk membayar biaya pendaftaran. Ia sangat senang dan berterima kasih padaku.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi UTBK, Tari seringkali datang ke rumahku. Ia meminjam buku-buku pelajaran dan juga laptop untuk mencoba simulasi tryout gratis secara online. Ia sangat bersemangat dan tekun dalam belajar. Aku kagum melihat kegigihannya.
Setiap hari, Tari semakin giat belajar. Ia tahu, kesempatan ini mungkin tidak akan datang dua kali. Ia belajar dari buku-buku pelajaran semasa SMA-nya, kadang juga dari catatan yang aku punya.
ADVERTISEMENT
Hari pengumuman tiba. Kami membuka pengumuman hasil UTBK. Ternyata, ia lolos! Ia diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di luar kota, jurusan yang sangat ia impikan. Aku melihat matanya berbinar, ada secercah harapan yang tumbuh di sana.
Dokumentasi Pribadi: Tampilan layar saat Tari dinyatakan lulus UTBK 2025.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Ketika Tari memberitahu keluarganya, reaksi mereka sungguh di luar harapan. Orang tua dan kakak-kakaknya tidak sepenuhnya menentang, tetapi mereka sangat khawatir tentang biaya dan bagaimana Tari akan hidup seorang diri di kota yang jauh. "Lha terus sopo sing arep mbayari? Mengko kowe nang kana ijen, lek ana apa-apa sapa sing gelem tanggung jawab?" (Lha terus siapa yang mau membiayai? Nanti kamu di sana sendirian, kalau kenapa-kenapa siapa yang tanggung jawab?) Begitu alasan mereka. Tari berusaha meyakinkan, menawarkan solusi, bahkan siap mencari beasiswa dan bekerja paruh waktu. Tapi keluarganya tetap belum sepenuhnya yakin.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, dengan berat hati, Tari harus mempertimbangkan kembali keputusannya. Ia tidak ingin mengecewakan keluarganya, tetapi juga tidak ingin mengubur mimpinya begitu saja. Ia tetap berusaha tegar, berkata padaku, "Mungkin durung rezekiku, Mbak." (Mungkin belum rezekiku, Mbak.)
Mimpinya yang sudah di depan mata harus tertunda karena berbagai pertimbangan. Ia tentunya merasa kecewa dan sedih. Tapi, di balik kesedihannya, aku melihat ada semangat yang tidak padam. Aku yakin, Tari akan terus mencari cara untuk meraih mimpinya, meski dengan jalan yang berbeda.
Kisah Tari hanyalah satu dari banyak cerita serupa di desaku. Banyak anak muda yang punya mimpi besar, tapi terhalang oleh berbagai rintangan, baik ekonomi maupun sosial. Pendidikan masih dianggap sebagai sesuatu yang mewah, bukan sebagai hak semua orang. Aku menulis kisah ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi sebagai refleksi bahwa pendidikan seharusnya menjadi hak semua orang, tanpa memandang gender maupun latar belakang ekonomi.
ADVERTISEMENT
Aku berharap, suatu hari nanti, pola pikir masyarakat di dusunku berubah. Aku ingin melihat lebih banyak anak-anak seperti Tari yang berani bermimpi dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Semoga kisah ini bisa membuka mata banyak orang, bahwa pendidikan adalah investasi terbaik, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga dan desa kita.
Aku yakin, jika Tari diberi kesempatan, ia akan menjadi orang yang sukses dan bisa membanggakan keluarganya. Ia akan menjadi contoh bagi anak-anak muda lainnya di desaku, bahwa dengan kerja keras dan semangat pantang menyerah, semua mimpi bisa diraih. Aku berharap, suatu saat nanti, ia bisa mewujudkan mimpinya yang tertunda.
Semoga kisah ini bisa menginspirasi banyak orang untuk terus berjuang meraih mimpi, meski banyak rintangan yang menghadang. Ingatlah, pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kesuksesan. Jangan biarkan keterbatasan ekonomi atau pola pikir yang salah menghalangi kita untuk meraih mimpi.
ADVERTISEMENT
Catatan: Artikel ini terinspirasi dari kisah nyata Tari (bukan nama sebenarnya), seorang gadis di sebuah desa di Jawa Timur. Penulis mengucapkan terima kasih atas keberanian dan keterbukaan Tari dalam berbagi pengalaman serta wawasannya yang berharga.