Multitasking

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
18 Mei 2020 16:51 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Hanya ada aku dan kamu di mobil yang membelah gerimis Jakarta Selatan kala itu. Radio tak dinyalakan sehingga cuma ada suara kita bertukar cerita. Kamu menceritakan hidupmu, aku menuturkan ceritaku.
ADVERTISEMENT
Lalu ini katamu: Bila aku menyetir sambil bercerita, aku selalu berhenti bicara bila mobil bertemu sesuatu. Entah itu menemui perempatan, belokan yang sempit, atau motor yang menyelonong.
Itu karena aku tidak bisa multitasking, katamu.
Padahal menyetir sudah sebuah multitasking, batinku. Kan, mata pasti tak cuma melihat ke depan—ada tiga spion yang dipantau berkala (belum lagi saat mata ini melihat matanya). Tangan juga tak selalu di batang setir karena berpindah-pindah ke tongkat persneling, tuas rem hingga sein.
Ada dua konon dalam multitasking ini. Pertama, pria tak becus ber-multitasking; kedua, multitasking merusak badan.
ADVERTISEMENT
Yang pertama agaknya benar, ya meski itu mungkin cuma aku. Yang kedua, begini penjelasannya: Glukosa teroksigenasi, bikin tegang dan cepat lelah. Hormon kortisol pemicu stres muncul, otak tak bisa lagi berpikir secara mendalam (dari artikel kumparanSTYLE yang ini).
Cuap-cuap multitasking ini yang terlintas di benakku usai baca berita soal relaksasi PSBB (Pembatasan Sosial Skala Besar). Multitasking pemerintah: Menekan angka pertumbuhan corona sekaligus mulai menggerakkan perekonomian.
Begini. Pemerintah melakukan dua hal untuk menekan corona: Mengatur pembatasan sosial dan mengatur pembatasan transportasi.
Akan tetapi (halah, jarang-jarang nih nulis "akan tetapi")... belum tercapai tujuan itu, pembatasan dilonggarkan. Direlaksasi.
Gara-gara itu jadi kepikiran: Jangan-jangan, WFH (work from home) kita sia-sia? Ini pernah aku tulis, nanti baca juga ya (setelah selesai baca tulisan ini):
ADVERTISEMENT
Pak Benny Sudrata punya pengandaian yang bagus sekali untuk menggambarkan masalah corona dan ekonomi ini:
ADVERTISEMENT
Ekonomi yang babak belur ini inevitable. Lantas, mesti bagaimana?
"Paksa PSBB hingga kurva turun (sekarang ini belum turun), baru kemudian pembatasan dilonggarkan. Ini jalan terbaik," kata M. Iqbal, sesama redaktur di kumparan.
Kata Iqbal, berurusan dengan corona itu mesti pakai pendekatan kesehatan bukan pendekatan ekonomi. Oke, Bal, aku ikut sikapmu.
***
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan