Saya dan Bang Sahala

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
9 Maret 2020 23:45 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Seperti itulah lelucon Bang Sahat Sahala Tua Saragih, sang dosen legendaris di Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad). Bermain-main dengan logika bahasa.
Sudah delapan tahun saya tidak bertemu beliau. Maka, "ruang dosen jurnalistik" jadi tempat yang pertama saya sambangi setibanya di kampus Unpad, Rabu pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Untunglah. Kendati ini sudah lewat jam tiga sore, beliau masih ada di "meja dosen"-nya, sedang mengkasak-kusuki entah apa.
"Bang!" kata saya, yang buru-buru sadar bersuara seperti meneriaki maling. Maklum, terlalu semringah.
Beliau bangkit dari kursi. Kami bersalaman, berangkulan, berpelukan.
"Kita terakhir ketemu tahun 2011 di ruangan dosen di Dago Pojok," kata saya. Beliau baru mengingatnya setelah mendengar kalimat ini: "Saya waktu itu curhat, gaji wartawan kok kecil banget."
Dus, ingatan kami terlontar ke atas, menembus langit Jatinangor yang basah, jauh, ke Dago Pojok tempat saya berkuliah.
Perbincangan sudah ke mana-mana dan yang saya perhatikan justru uban di kepalanya. Rupanya, benar-benar bisa "tua" juga beliau.
ADVERTISEMENT
"Bang," kata saya. "Saya satu-satunya cowok di angkatan saya yang dapat A untuk semua mata kuliah Abang."
Mata beliau berbinar-binar.
Saya melanjutkan, "Saya boleh juga, lho, disebut sebagai Sarjana Sahala."
Kami terbahak.
***
Salah satu mata kuliah tersadis adalah Penulisan Berita Mendalam yang diampu beliau. Ini bukan hanya latihan jadi wartawan tapi juga latihan bertemu redaktur perfeksionis.
Sebelum ke "tugas akhir"-nya, para mahasiswa harus melahap lima buku. Pilihan saya: Andreas Harsono (buku Jurnalisme Sastrawi), John Hersey (Hiroshima, Ketika Bom Dijatuhkan), Septiawan Santana (Jurnalisme Investigasi), Yuyu Krisna (Menyusuri Remang-remang Jakarta), Hiley H. Ward (Reporting In Depth).
Saat tugas pamungkas tiba, saya jungkir-balik meliput hingga lahirlah tulisan berjudul Buah Simalakama Bernama Perda K3. Sebuah tulisan mendalam ihwal peraturan daerah di Bandung yang perencanaan maupun eksekusinya serbakacau.
ADVERTISEMENT
Saking gilanya tugas satu ini, sehari usai pengumpulan naskahnya kami namai Hari Kebebasan Pers yang artinya berakhir sudah "teror Sahala" seumur hidup kami.
Sudah sebegitu habisnya saya dibantai beliau, tapi apa jawaban saya satu semester kemudian waktu ditanya mau siapa dosen pembimbing skripsi, saya jawab: "Saya mau Sahala." Jadilah beliau yang membimbing saya hingga gerbang kelulusan.
***
Beliau membuka lemari lalu mengambil satu buku berjudul Mereka dan Bang Sahala.
"Untukmu," kata beliau. "Salam kangen untuk anak-anak lulusan Dago Pojok."
ADVERTISEMENT
Di buku itu, beliau menuliskan kata-kata yang membuat saya terenyuh.
Saya dan Bang Sahala
Terima kasih, Bang.