Saya dan Sebuah Cita-cita Bermain untuk Manchester United

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
11 Mei 2020 23:59 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bandung, tahun 1999. Atau tahun 2000. Atau... ya, sekitar tahun segitu. Antara saya SD kelas 6 atau saya SMP kelas 1.
ADVERTISEMENT
Kami dibariskan di tengah-tengah lapangan GOR Padjadjaran. Prosesi sakral pemberian piala akan dimulai.
Lalu, "I've paid my dues.. time after time..." suara Freddie Mercury membawakan We Are The Champions, lagu wajib di setiap penghujung turnamen.
Saya kapten tim maka saya paling depan. Ketua panitia memberikan piala, menyalami saya, lalu saya angkat piala itu seolah-olah saya dan tim telah mengalahkan seisi dunia.
Belum ada ponsel berkamera apalagi Insta-lalala-stories itu. Untunglah ada fotografer keliling berkamera polaroid yang hasil jepretannya hingga 20 tahun kemudian masih saya simpan.
Ya... itu saya.
Itu turnamen futsal U-15 (di bawah 15 tahun) di Bandung. Apa nama kejuaraan itu, saya sudah enggak ingat.
Coba lihat di foto. Siapa orang yang berdiri persis di belakang saya, saya juga sudah lupa. Saya hanya tahu orang ketiga dari depan (di tim saya) namanya Yatno. Konon ia kemudian jadi TKI di Jepang.
ADVERTISEMENT
Tim saya namanya Barsel, biar mirip Barcel-ona. Kalau dipaksakan, Barsel adalah akronim dari "Barudak Sekelimus" yang artinya anak-anak Sekelimus (sebuah daerah di Kecamatan Buah Batu, Bandung). Yatno dan akang pelatih—yang saya lupa namanya—adalah warga Sekelimus.
Sejak kecil saya memang suka sepak bola. Kelas 3 SD saya ikut UNI, sekolah sepak bola legendaris di Bandung. Markas dan lapangannya masih di Jalan Karapitan. Yang belakangan saya tahu, perguruan sepak bola yang berdiri tahun 1903 itu ternyata kepanjangannya adalah Usaha Nanti Istirahat. UNI.
Dulu setiap ditanya apa cita-cita, saya jawab jelas dan terang benderang. "Pengin jadi pemain Manchester United!"
Itu karena David Beckham dan segala kekerenannya. Termasuk rambut yang dipoles minyak rambut Brylcreem. Gara-gara beliau (Beckham), dulu saya juga pakai Brylcreem.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya punya jersey Beckham dengan sponsor SHARP, saya punya Adidas Predator—sepatunya Beckham. Anak-anak se-UNI terkagum-kagum dengan Adidas Predator itu.
Pakai bola plastik di garasi rumah, setiap hari, saya belajar tendangan pisang ala Beckham. Saya mempercayai bola hasil tendangan saya benar-benar melengkung—seperti pisang.
Beckham, SHARP, Adidas Predator, dan gayanya dalam melakukan tendangan pisang. Foto dari gettyimages.
Bacaan saya kalau enggak Tabloid Bola, ya, komik Shoot. Tontonan saya—selain siaran sepak bola—ya, Planet Football yang tayang berendengan dengan Seputar Olahraga.
Saya bisa juggling bola hingga 100 kali. Saya bahkan bisa men-juggling 1 buah kelengkeng hingga lama.
Saya sering mengkhayal bermain di Manchester United, melakukan tendangan pisang, membuat gol. Betapa oh betapa.. itu tinggal angan-angan.
*
Jakarta, tahun 2015. 16 (atau 15) tahun kemudian.
ADVERTISEMENT
Ini adalah turnamen. Digelar di suatu lapangan futsal di Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat. Turnamen antarkaryawan Tempo.
Saya bertanding. Tapi kok...
...berencana bermanuver begini-begitu, kaki enggak sanggup.
...ingin lari kencang, napas enggak kuat.
...ingin tembakan tepat, malah melenceng.
Kaki sakit. Badan pegal.
Lantas saya istirahat di pinggir lapangan. Sembari merokok saya menonton Agoeng Wijaya rebutan bola dengan Uu Suhardi. Tepat di situ saya putuskan:
Sudahlah, Manchester United bukan tempatku. Jadi wartawan saja jangan berlagak ragu. Biarlah momen pahit ini jadi sepak bola terakhirku.