Takut Corona tapi Juga Takut Dipecat Jadi Tetap Ngantor

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
6 Juli 2021 13:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by mohamed Hassan from Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Image by mohamed Hassan from Pixabay.
ADVERTISEMENT
Padahal pandemi sudah setahun lebih tiga bulan, tapi problem WFH (work from home) belum terselesaikan juga. Problem WFH yang mana? Yang ini: Sesungguhnya orang takut corona dan ingin WFH tapi orang juga takut dipecat sehingga tetap berangkat untuk kerja di kantor (sesuai arahan bosnya).
ADVERTISEMENT
Problematik karena (1) tidak semua perusahaan bisa disamaratakan; (2) banyak orang harus kerja demi makan—pemerintah tidak menjamin perutmu selama "lockdown" ini.
*
Kita mengenal WFH pada Maret 2020. Gencarnya sosialisasi WFH dan gerakan #dirumahaja ternyata tidak serta-merta membuat perusahaan-perusahaan benar-benar memberlakukannya.
Ketika itu (Maret 2020) kumparan membuka "kotak surat" untuk pembaca melaporkan bila kantornya memaksa masuk.
"Sejak kotak surat itu dibuka, masuk pesan berentetan, tak putus-putus. Ada yang bernada marah, ada yang takut, banyak yang sedih. Banyak yang anonim, banyak pula yang terang-terangan membuka identitasnya." (Tulisan saya, "Sia-siakah Wfh Kita?", tayang 26 Maret 2020)
Sekarang (Juli 2021), problem WFH yang sama terulang: Pemerintah memberlakukan WFH (di Jawa dan Bali) sesuai sektor tapi banyak karyawan yang masih harus ke kantor dengan terpaksa.
ADVERTISEMENT
Sedihnya, mereka yang ke kantor itu tetap berangkat karena takut dipecat bila ingin berdiam di rumah melindungi diri dari corona.
Saat ini redaksi kumparan sedang membuka kotak surat serupa Maret 2020. Beda periode waktu, tapi surat (e-mail) yang masuk senada: Mereka sedih, takut, marah, karena tidak bisa WFH.
Silakan intip komentar-komentar di Instagram kumparan ini:
Lantas kumparan sendiri, bagaimana? Alhamdulillah, WFH (sejak Maret 2020 bahkan). Bukan cuma WFH-nya yang tegas tapi juga prokes alias protokol kesehatan (kepada karyawan di rumah masing-masing). Kebijakan ini menyelamatkan banyak nyawa (termasuk saya).
*
Pandemi ini bikin serba-sulit, memang. Banyak orang yang tidak mungkin berdiam di rumah saja (meski sekadar WFH) karena tidak bisa dapat uang makan bila tidak berangkat kerja. Pemerintah juga sudah kehabisan uang sehingga enggak mungkin memberi uang satu-satu rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Pernah ada tulisan bagus dari pembaca kumparan bernama Anwar Saragih yang memberi ide ini: Selama "lockdown" ini, bagaimana bila orang-orang kaya mensubsidi mereka yang miskin (atau memerlukan)? Tapi mengeksekusi ide-ide cemerlang seperti itu nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan menjadi nagnat kapalet.
Kendati pahit, tapi judul tulisan saya setahun lebih silam itu, "Sia-siakah WFH Kita?", kini terasa benar-benar benar adanya.