Permendikbud No. 30 Tahun 2021 Melemahkan Kaum Perempuan?

Rizky Nur Arifin
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Konten dari Pengguna
4 Desember 2021 14:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Nur Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Banyaknya pengaduan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang tak kunjung tuntas rupanya meresahkan hati Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Riset, Kebudayaan, dan Teknologi Republik Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
Kebijakan dan peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan, Riset, Kebudayaan dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 membuktikan hal tersebut. Tak lama setelah disahkannya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, muncul salinan undang-undang tersebut di masyarakat. Beberapa pasal dalam undang-undang menuai pro dan kontra, mulai dari ulama dan politisi hingga pakar hukum yang angkat bicara. Dengan keras.
Berikut adalah isi pasal yang menuai kontroversi di Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021:
Pasal 5
Ayat (1) Kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Ayat (2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pasal yang diperdebatkan adalah Pasal 5 ayat (2) bagian (2), yang berbunyi “memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban”. Sebagian orang menjelaskan bahwa ungkapan “tanpa persetujuan korban” membalikkan logika sederhana mereka, yang berarti “dengan persetujuan korban”, sehingga hal ini tidak menjadi masalah, dan mereka percaya bahwa Permendikbud 30 digunakan untuk membuktikan perilaku melakukan seks bebas di lingkungan kampus tersebut wajar, selama ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
Lantas mengapa ungkapan "tanpa persetujuan korban" menjadi yang paling kontroversial sehingga menuai pro dan kontra?
Dalam hal ini, penulis mencoba mencari legitimasi yang sejalan dengan tujuan hukum spiritual dan spiritual Pancasila. Perlu ditegaskan bahwa kata “persetujuan” dengan kata “sengaja” sebelumnya telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam Permendikbud 30 ini, yang tentunya sangat disayangkan karena menunjukkan tidak dapat menjamin perlindungan bagi kaum perempuan yang merupakan objek dari Permendikbud 30 ini..
ADVERTISEMENT
Padahal, kita semua tahu bahwa tujuan hukum berdasarkan UUD 1945 adalah kepastian hukum yang adil (Pasal 28D (1) UUD 1945). Selanjutnya menurut semangat dan jiwa Pancasila, tujuan hukum adalah perdamaian bagi semua pihak tanpa terkecuali.