Mengulas Bentuk Pelestarian Karya Sastra dalam Pekan Kebudayaan Nasional

Rizkyana Azelia
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
28 Desember 2023 8:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizkyana Azelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) merupakan salah satu bentuk kegiatan yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sesuai dengan namanya, PKN merupakan bentuk upaya menghadirkan semangat dalam praktik kebudayaan yang dikolaborasikan dengan sejumlah kegiatan-kegiatan lain sebagai ruang yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari aspek masyarakat sampai dengan aspek lingkungan maupun aspek-aspek yang lebih kompleks lainnya.
ADVERTISEMENT
Tema yang diusung oleh PKN pada tahun 2023 ini adalah “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan” yang diselenggarakan pada 40 titik di 6 kota, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi. Salah satu titik yang menjadi penyelenggara dalam ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional tahun 2023 ini adalah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai salah satu kampus dengan kultur budaya Islam yang kuat maka PKN PBSI mengusung tema “Resonansi Budaya Islam: Dari Ciputat untuk Dunia”. Ruang tamu PKN PBSI ini dilaksanakan pada tanggal 20─28 Oktober 2023 dengan menggunakan lobi dan ruang teater FITK UIN Jakarta.
Sebagai salah satu penyelenggara, PKN PBSI menyelenggarakan sejumlah kegiatan mulai dari pengadaan taman baca, lokakarya, bedah buku, diskusi, serta panggung apresiasi dan ekspresi seni. Sejumlah kegiatan tersebut melibatkan berbagai pihak mulai dari mahasiswa, dosen, penulis buku, penyair, komika, dan pegiat seni lainnya. Salah satu kegiatan yang menarik dalam Ruang Tamu PKN PBSI ini adalah peluncuran taman baca yang disebut dengan “Taman Baca Danarto”. Taman Baca ini diadakan di lobi FITK UIN Jakarta dengan menampilkan karya-karya sastrawan Danarto mulai dari puisi, cerpen, lukisan yang dipajang bebas dalam partisi dan rak buku untuk dibaca oleh semua orang.
ADVERTISEMENT
Danarto merupakan seorang sastrawan yang lahir di Sragen pada tanggal 27 Juni 1941. Sebagai seorang sastrawan, Danarto telah menjelajahi dunia sastra dalam berbagai pengalamannya sebagai penulis, pelukis, penyair, dan sutradara teater. Karya-karya Danarto dapat dikatakan sebagai karya-karya pembaharu karena menampilkan sejumlah bentuk yang jarang kita temui dalam karya-karya lain. Salah satu dari karya tersebut adalah Puisi “Habis Tak Sudah” yang tergolong ke dalam puisi tipografi karena isinya hanya berupa tulisan Allah yang tersusun dengan bentuk seperti segiempat atau belah ketupat. Dilansir dari acara “Diskusi Resonansi Budaya Islam dalam Sastra dan Seni Rupa” oleh Ruang Tamu PKN PBSI yang diadakan pada 25 Oktober lalu, Hairus Salim selaku narasumber juga menjelaskan bahwasanya puisi ini berisikan hal yang sama dalam jumlah lebih dari 1000 halaman. Namun, menariknya hal ini justru membuat pembaca seperti sedang melakukan zikir. Selain itu, kemiripan juga terjadi pada karyanya yang lain seperti yang dipaparkan oleh Hairus Salim yang memaparkan bahwa pada karya Danarto yang lain juga di dalamnya terdapat tulisan tanah sebanyak lebih dari 100 kata dalam jumlah 2 halaman.
ADVERTISEMENT
Masih dalam acara yang sama, puisi tipografi “Habis Tak Sudah” karya Danarto dibawakan oleh Sakustik PBSI dalam bentuk dramatisasi puisi. Perubahan jenis karya ini biasa dikenal dengan alih wahana. Puisi “Habis Tak Sudah” karya Danarto ini mengalami proses alih wahana berupa alih media dari yang semula berbentuk media cetak menjadi bentuk pementasan berupa dramatisasi puisi yang ditampilkan saat acara “Diskusi Resonansi Budaya Islam dalam Sastra dan Seni Rupa”. Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam mengalihwahanakan karya sastra adalah pendekatan parafratis yang salah satu prinsipnya adalah bahwa perubahan suatu karya sastra yang sebelumnya bersifat simbolik menjadi bentuk bahasa yang tidak lagi mengandung konotasi akan memudahkan orang lain dalam memahami makna suatu karya. Hal ini sejalan dengan pementasan dramatisasi puisi “Habis Tak Sudah” oleh Sakustik PBSI yang membantu memvisualisasikan puisi tipografi Danarto sehingga lebih mudah untuk dipahami maknanya karena sebelumnya hanya berbentuk puisi tipografi berisikan tulisan Allah yang berulang-ulang.
ADVERTISEMENT
Proses pemindahan pada jenis karya yang satu ke jenis karya yang lain tentu menyebabkan adanya perubahan baik yang sifatnya sebagai penambahan ataupun pengurangan. Sama halnya dengan pementasan dramatisasi puisi "Habis Tak Sudah" oleh Sakustik yang menambahkan unsur tokoh manusia dalam pementasannya sedangkan dalam puisi aslinya tidak terdapat unsur tokoh. Tokoh tersebut digambarkan sebagai sosok yang sedang mencari keberadaan Allah di setiap kegiatannya. Hal ini digambarkan dengan gerak tokoh yang selalu menuju suara ketika tokoh lainnya menyebutkan Allah. Selain itu, dalam pementasan ini juga digambarkan bahwa dalam setiap kegiatan sehari-hari, manusia selalu mengingat Allah. Hal ini digambarkan dengan gerak tokoh yang seperti sedang menyetir, menulis, dan sebagainya.
Melalui proses alih wahana tersebut makna atau pesan yang tersirat dari suatu karya menjadi lebih mudah dipahami oleh penikmat karya, seperti halnya yang dilakukan oleh tim Sakustik kepada peserta acara. Jika sebelumnya pembaca puisi “Habis Tak Sudah” hanya memahami bahwa puisi tersebut merupakan puisi tipografi, melalui proses alih wahana ini pembaca dapat memahami lebih dalam bahwa puisi ini ternyata menyiratkan pesan-pesan spiritualitas yang begitu menyentuh. Hal ini membuktikan bahwa alih wahana puisi tipografi ke dalam bentuk dramatisasi puisi ini membantu sejumlah penikmat karya menjadi lebih memahami makna dari puisi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Selain proses alih wahana yang dilakukan pada puisi “Habis Tak Sudah”, secara tidak langsung PKN PBSI juga berisikan sejumlah proses alih wahana pada karya-karya sastra yang lain. Hal ini dilakukan selama satu minggu penuh melalui pementasan-pementasan yang dilaksanakan pada serangkaian acara, baik dalam acara hiburan pada lokakarya maupun pada acara panggung apresiasi dan ekspresi yang tersedia di lobi FITK UIN Jakarta. Selama satu minggu penuh, panggung apresiasi dan ekspresi tersebut diisi oleh sejumlah mahasiswa dari program studi PBSI dan program studi luar PBSI yang mementaskan berbagai penampilan. Bentuk-bentuk penampilan tersebut pun beragam, seperti dramatisasi cerpen Umi Kalsum, dramatisasi pantun Ajip Rosidi, musikalisasi puisi “Hujan Bulan Juni”, monolog, stand up comedy, dan sejumlah penampilan menarik lainnya.
ADVERTISEMENT
Melalui pementasan-pementasan tersebut, proses alih wahana pada karya sastra memberikan sejumlah manfaat, baik bagi pelaku apresiasi dan ekspresi maupun bagi penikmat karya sastra itu sendiri. Selain seperti yang sudah dijelaskan bahwa proses alih wahana membantu menafsirkan makna suatu karya sastra, proses alih wahana juga menghadirkan sejumlah interpretasi baru atas karya-karya sastra serta melatih kreativitas mahasiswa khususnya pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam mengapresiasi karya sastra lebih jauh lagi. Lebih lanjut program Pekan Kebudayaan Nasional merupakan salah satu program yang harus selalu konsisten untuk dilaksanakan karena dengan adanya acara ini masyarakat di lingkungan kampus khususnya UIN Jakarta dapat mengenal sejumlah kebudayaan serta kesenian yang mungkin selama ini hanya berkembang di satu komunitas tertentu saja. Selain itu, program ini merupakan salah satu program yang tepat untuk melestarikan kebudayaan dan kesenian bahkan menciptakan sejumlah kreativitas baru pada kebudayaan dan kesenian tersebut.
Penampilan dramatisasi puisi "Habis Tak Sudah" oleh Sakustik PBSI